Sebongkah asteroid meluncur deras menuju Bumi.
Camar-camar putih menyundul langit. Turis perempuan duduk sendirian di tepi laut. Tanah retak, rumput setengah mati sela pagar berduri. Anak-anak putus sekolah mengecoh-ngecoh nasib, berlagak jadi Messi. Pengarang muda mereguk sarsaparilla dan merasa janggal, mengapa minuman dari akar sassafras itu membikinnya berkeringat. Mata layu seorang lelaki tua berjanggut dengan sabar menatap mata pancing, sesekali mendongak ke langit, apakah hujan bakal turun sebelum bulan Juni?
Debu-debu beterbangan. Lelaki berseragam menenteng senjata laras panjang. Debur laut menggelegak seperti medan pertempuran. Gerombolan ikan mengorbankan diri, dicatuk burung-burung untuk rezeki anaknya. Gedung Putih menunggu bisikan, kapan lagi laskar-laskar bidikannya bakal membangkang, ketika Negeri Tirai Bambu menunggu bisikan, kapan lagi laskar-laskar pembangkang bakal berkuasa.
Asteroid meluncur, tujuh ratus ribu kilometer menuju Bumi. Batu sebesar Pulau Simping melaju kencang melebihi mobil-mobil balap Formula Satu. Begitu lantam, begitu ketat, mencelat terombang-ambing dari orbit.
Batu kerikil bukan lawan sepucuk bedil. Azlan melesat dari kejaran polisi, terbirit-birit meraih markah perbatasan. Pamannya gugur. Kakak temannya gugur. Perempuan bule asing gugur, dilindas buldoser. Abu-abu awan mengelir wajah-wajah kelabu.
Lelaki tua berjanggut betah berlama-lama di atas sampan kayu. Udara terasa basah. Angin danau Walchen menyiulkan hening. Perempuan yang duduk sendirian di tepi laut terlihat khusyuk membaca novel tentang lelaki tua kesepian yang terobsesi menangkap ikan. Tak begitu banyak orang hidup dengan banyak obsesi, kecuali pernah ia kenal seorang lelaki dengan banyak kata-kata dan banyak lemparan molotov. Sedang apakah dia sekarang?
Asteroid meluncur, lima ratus tujuh puluh ribu kilometer menuju Bumi.
Krisis moneter lebih membuat panik bursa efek New York ketimbang asteroid. Telah sering diberitakan, batu-batu angkasa itu ejakulasi dini bahkan sebelum mampu menyenggol atmosfer. Jika batu sebesar VW lolos, jet-jet tempur sisa Perang Teluk siap mencegat. Layaknya kaum pedagang percaya tangan-tangan gaib tak kasat matalah yang menentukan harga, orang banyak yakin, dunia ini masih akan dijaga kekuatan mahadaya.
Namun siapa yang akan menjaga Azlan? Siapa yang sudi menjaga cangkang kota ringkih, dan menyedihkan ini?
Pengarang muda menyambar jaket. Ikat kepala hitam; panji perlawanan. Ia muak dengan kata-kata; kata-kata milik kelas menengah hipster; penceramah; politikus rasywah. Hari ini orang-orang berkabung lagi. Air mata bertumpahan. Seorang ibu mengangkat wajah anak lelaki satu-satunya penyokong keluarga dalam satu bingkai besar.
“Kau dan aku, kita terlahir untuk mati!” Lana Del Rey menjelma di antara kerudung-kerudung hitam.
Gerombolan bocah bermain bola—plastik pecah berisi biji-biji kurma. Gerimis hanya menumpang lewat. Di langit, gugusan asap berakrobat mirip meteor meski siapa pun tahu, itu bukanlah gugusan meteor. Desingan suara itu jual beli pelor. Azlan melirik jauh ke tanah seberang. Ke manakah sang gadis Samaria penyuka Iris Faqqua?
Ia datang bersama ayahnya tempo lalu. Ayah Azlan memanggilnya Amr. “Selamat datang, Amr,” katanya dalam bahasa Arab. Amr pun membalas dalam bahasa Arab. Azlan mencuri-curi pandang di balik pintu. Gadis itu menenteng bungkusan berisi baju. Rambut cerahnya dikuncir dua. Bibirnya selalu terlihat melengkung. Matanya jernih bagai telaga. Amr menurunkan banyak barang dari mobilnya. Ayah Azlan memanggil Azlan keluar untuk membantu. Ada bungkusan roti, baju-baju dan laptop bekas layak pakai, mainan, serta buku-buku. Semuanya hadiah orang Israel!
“Halo, namaku Hannah,” gadis itu bicara Arab. Ragu-ragu Azlan menerima tangannya, bersalaman.
“Kamu bisa bahasa Arab?”
“Teman-temanku di sekolah ada orang Arab. Ayahku orang Arab.”
Ibunya berbahasa Yiddi. Azlan mengira perbatasan telah membedakan hanya dua golongan: orang-orang Hamas di tanahnya, dan orang-orang sejenis IDF, atau Lehava atau Kach atau Kahanis atau siapa pun mereka yang hendak mengenyahkan orang-orang Arab dari tanah yang dirampas.
“Mmm, apakah muka teman-teman Arabmu sama denganku?”
Gadis itu tertawa, renyah sekali. Tawanya menular pada Azlan, pada semua orang di dalam rumah. Terdapat dua virus menular di dunia ini: tawa dan kegilaan.
Virus tak waras Himmler dan Eichmann di kamp Auschwitz, merongrong isi kepala Malka sebagai Sonderkommando—Yahudi yang bertugas menggiring sesama ribuan Yahudi ke kamar oven. Ia membakar mayat, mengumpulkan sisa gigi emas dan rambut wanita, dan membuang abu pembakaran ke sungai. Sebelumnya, serdadu SS ketika itu berhasil menangkapnya saat sembunyi di ruang bawah tanah. Ia tak bisa lupa pada satu wajah, lelaki bengis dengan bekas luka di cuping telinga.
“Kalau tak ingin berakhir jadi abu, jadilah Sonderkommando,” lelaki itu mendengus.
Malka pun menulis kisahnya secara diam-diam pada malam sepi. Manuskrip 13 halaman, dimasukkan dalam termos yang ditutup plastik di dalam kantong kulit, lalu dikubur di sekitar lokasi pembakaran. Tiga puluh tahun kemudian, seorang peneliti berhasil menggali dan menemukan manuskripnya—yang bersaksi perihal kesintingan manusia.
Asteroid meluncur, tiga ratus sepuluh ribu kilometer menuju Bumi.
Kali itu ia merasai gundah mata lelakinya. Mata yang tiada pernah gentar pada poporan senjata dan gas air mata. Mata yang pertama kali ia pandang di jalanan Umm al-Fahm, di antara bentrokan pendukung ultra kanan, polisi lokal, pemuda-pemuda Intifadah. Sepasang mata puitis yang paling benci menangis.
“Apa kamu pernah melihat-Nya di tanah ini? Di negeri para nabi?”
“Aku melihat surga di matamu.”
“Bagaimana dengan keluargamu?”
“Aku tetap Gavriella-mu, Amr ….”
Mereka lantas menikah, larut bersama dalam pesta, ketika gerombolan orang-orang berkippah merangsek, menggelar protes di luar, di jalanan, di depan kedai-kedai kopi, sedang kelompok lainnya mendukung Amr-Gavriella.
“Tak ada kawin campur! Tak ada Arab! Tak ada kawin campur! Tak ada Arab!”
Seseorang melempar botol. Kepala seseorang bocor. Kerumunan baku hantam.
Asteroid meluncur, seratus lima belas ribu kilometer menuju Bumi.
Desingan suara itu kian mendekat. Azlan dan bocah-bocah lain merunduk ke tanah. Hamas melontarkan rudal-rudal hanya untuk ditangkis Kubah Besi demi harga diri. Tetapi siapa yang bakal menangkis bom-bom Zionis? Sesuatu kemudian melesat, menimbulkan bunyi debum yang keras. Tanah bergetar hebat. Debu-debu berhamburan. Bocah-bocah itu berteriak saling memanggil hingga tak terdengar lagi suara Azlan.
“Apa cita-citamu Azlan?” Bayangan Hannah memanggilnya di keremangan.
“Menjadi bunga Iris, atau merpati pembawa ranting zaitun.”
Asteroid meluncur, delapan puluh ribu kilometer menuju Bumi.
Amr keluar dari toko elektronik. Pekan depan ia ke Gaza. Satu unit televisi dipesan untuk sahabatnya. Anak Raheem tak harus menumpang lagi menonton pertandingan sepak bola ke tetangga, pikirnya. Amr hendak masuk ke mobilnya, ketika sebuah bus sekolah tiba-tiba mendekat, berpapasan lewat lalu meledak. Kaca-kaca toko pecah. Asap hitam membubung di langit.
Asteroid meluncur, dua puluh ribu kilometer menuju Bumi.
Sudah lewat petang, lelaki tua berjanggut meminggirkan sampan. Kicau burung-burung liar berganti cicit kelelawar. Hujan tak jadi turun. Menaiki VW pikap‘80, tangan dan bahunya masih cukup tangguh di belakang kemudi. Tak ada ikan yang sesungguhnya ia tangkap kecuali waktu. Si lelaki tua hanya ingin menjerat, lalu menghanyutkan waktu. Sebelum usai masa tugas, ia telah menyingkir ke selatan, ke pinggiran, di sebuah rumah istirahat yang dijadikan lahan ternak di Sindelsdorf. Istrinya telah lama minggat beserta kedua anaknya, pascaperang. Matanya melirik spion, masih terasa berdenyut sesuatu di sekitar luka cuping telinganya. Bertahun-tahun kumat. Kronis. Luka yang kerap membisikkan suara garib: membujuknya menembak kepala.
Asteroid meluncur, tiga ribu kilometer menuju Bumi.
Camar-camar putih menyundul langit. Seorang perempuan duduk sendirian di tepi laut. Lelaki Polandia baru tiba di Sindelsdorf. Pemukim Tepi Barat ditusuk seorang berwajah badui di rumahnya. Pemuda-pemuda Lehava turun ke jalan. Pohon-pohon zaitun ditebangi. Lelaki Polandia melangkah menyusuri jalan setapak yang hanya terlihat pepohonan hijau, bukit-bukit, keloneng sapi yang merumput. Ia tatap lagi secarik kertas yang digenggam. Pandangannya menuding ke sebuah rumah yang sebagian dindingnya terbuat dari kayu, berlantai dua.
Ia mengetuk pintu. Sekian lama menunggu, seorang lelaki tua berjanggut akhirnya membuka pintu.
“Ya? Anda mencari seseorang?”
“Ada salam dari Malka.” Lelaki Polandia mengeluarkan sesuatu dari balik punggung.
Lelaki tua berjanggut terperanjat. Suara-suara garib di telinganya mendadak lenyap!
Selamanya.
Asteroid meluncur, seribu kilometer menuju Bumi.
Perempuan itu masih menatap laut, seperti menatap anak gadisnya sendiri—rambut cerahnya berkuncir dua, bibirnya selalu terlihat melengkung, matanya jernih bagai telaga—yang gugur bersama penumpang bus lainnya; bersama pemilik sepasang mata puitis yang paling benci menangis.
Asteroid meluncur, begitu lantam, begitu ketat, begitu dahsyat menuju ….
Bojongsoang, Oktober 2021
- Asteroid - 3 December 2021
- Matinya Sang Primadona - 13 August 2021
- Mengapa Tuhan Menciptakan Monster? - 5 February 2021
Ganz
Keren sekali, diksi yang dipilih menghilangkan kantuk. Meskipun sepertinya pembaca awam kurang paham tentang alurnya
Pramudya Utari
Selamat! Mas Den. Keren sekali. Tema dan settingnya juga.