
Syukur yang melimpah harus kita gumamkan setiap saat. Itu karena belakangan ini, di tengah gempuran teknologi, semakin banyak aktivis literasi. Maka, ketika masih banyak orang yang illiterate, apalagi kalau tinggal di pusaran kota lengkap dengan gawainya, maaf-maaf saja kalau saya harus menyebutnya sebagai kaum yang amat pandir. Sekadar menyebut contoh, ada, misalnya, Nirwan Ahmad Arsuka yang sudah keliling Papua. Nirwan secara sadar memosisikan diri sebagai sel darah merah yang mencoba mengedarkan oksigen ke bagian-bagian tubuh. Ini adalah kesadaran yang menyejukkan.
Uniknya, menggiatkan literasi itu pun dilakukan dengan cara-cara yang inovatif. Tahun lalu, misalnya, ada konser musik yang menakjubkan. Yaitu, “Membaca Musik, Menyanyikan Buku”. Acara mewah (terutama dari segi isi) ini diselenggarakan Rajawali Indonesia Communication. Mereka bekerja sama dengan Kampung Buku Jogja, 12–14 Februari 2017 di Jogja Expo Center, Yogyakarta. Sungguh sangat menakjubkan melihat sebuah acara musik dengan buku di tangan. Ini adalah bentuk perayaan pada buku, perayaan pada akal sehat.
Pasalnya dengan ide, pembicaraan kita bukan lagi melulu emosi karena beberapa asumsi, tetapi menjadi diskusi berikut argumentasi-argumentasi yang kuat. Sekali lagi, syukur tiada henti harus kita muntahkan dari mulut-mulut kita. Betapa tidak, selain pegiat literasi, Kepala Pemerintahan negara ini, Jokowi, sudah mulai sering pamer membeli buku. Ini kampanye yang baik. Seorang presiden saja membeli (terutama membaca) buku, apalagi masyarakat? Ini masuk akal karena secara tak langsung, bagi kita, presiden (juga pejabat) adalah orang pintar.
Dihantui Semangat Membaca
Orang pintar saja masih baca buku, konon lagi kita? Maaf, saya tak hendak mengatakan, kita adalah orang bodoh. Tak ada orang yang terlahir bodoh (kecuali pandir). Kalaupun ada, mengutip Ayatollah Khomeini yang mengatakan, rombongan pertama masuk neraka adalah orang bodoh, maka Tuhan sebenarnya sedang menyiapkan kita masuk neraka. Apakah Tuhan sedang mempersiapkan kita menjadi penghuni neraka? Oh, tidak. Tuhan tidak sebejat itu. Tuhan tidak menciptakan neraka agar kita digiring ke sana. Tuhan justru menciptakan manusia dengan segenap kecerdasannya agar kita bisa ke sana.
Sayangnya, jalan menuju kebodohan tenyata lebih luas. Selain luas, jalannya juga menyenangkan. Cukup bermalas-malas tanpa usaha, maka kita akan sampai dengan sendirinya. Persis seperti kata Albert Einstein, perbedaan genius dengan bodoh adalah, genius punya batas, sementara bodoh tidak. Jalannya mulus dan banyak, tiada batas. Bahkan bukan sembarang jalan karena tanpa berusaha pun, kita akan sampai ke tempat kebodohan itu. Kini, di Sumatera Utara, meski masih sangat lelet dan gagap, kami dari Toba Writers Forum (TWF) pun sedang ikut menggairahkan gerakan literasi.
Beberapa sekolah menengah atas sudah dijalani dan kini masih akan dilanjutkan lagi ke beberapa sekolah lainnya, termasuk ke komunitas-mahasiswa (meski masih berlabel rencana). Hasilnya memang belum kelihatan. Sebab, gerakan literasi bukan gerakan makan cabai: di situ dimakan, di situ terasa pedasnya. Manusia yang dihadapi selain bebal, juga kadang bermental instan. Saya pernah menghadapinya (maksudnya: mendapatkannya) pada diskusi kecil bertajuk “Budaya Literasi Mahasiswa” di salah satu PTN terkemuka di Sumut.
Itu ketika saya bertanya: siapa yang mau tulisannya terbit di media apa saja? Semua tunjuk tangan. Saya tanya lagi: siapa yang setiap hari menyempatkan diri untuk membaca? Hampir tak ada yang tunjuk tangan. Ini merupakan kejanggalan luar biasa yang membuat saya benar-benar ragu. Mau menjadi penulis, tetapi tak mau membaca. Ini ibarat seseorang yang ingin menjadi petinju hebat, namun jangankan tak mau terkena pukulan, naik ring saja ogah. Untungnya, secara luar biasa, di ujung acara yang hampir lebih dua jam itu, tepat ketika episode untuk simulasi selama lima belas menit digulirkan, semua peserta menulis dengan semangat.
Tak ada yang berisik. Ketika tulisan-tulisan itu kemudian dikumpulkan, ternyata kata demi kata yang tersusun sudah mulai mengalir. Ini adalah potensi luar biasa. Tanpa (atau mungkin sebenarnya jarang) membaca saja, mereka sudah berhasil menuliskan artikel singkat yang mengalir, konon lagi kalau sudah rajin membaca? Ya, membaca memang merupakan hal sepele dan dapat dilakukan di tempat-tempat sepele pula.
Negara-negara di Eropa bahkan melakukannya dengan sangat sepele. Tahun 2015 silam, ketika saya dengan tim mengadakan pertunjukan dari kota ke kota di Jerman, lalu jalan-jalan dari negara ke negara di Eropa, saya melihat hal-hal sepele itu. Naik bus, membaca. Naik kereta api, membaca. Menunggu antrean, membaca. Di bandara, membaca. Duduk-duduk, membaca. Beberapa, sambil jalan pun membaca. Bahkan, ada remaja berpasangan (saya yakin, mereka itu pacaran), di tepi sungai, mereka juga tetap membaca.
Mereka benar-benar dihantui semangat membaca. Sementara kami dari Indonesia, jangankan membawa buku, kami malah membawa rokok sambil berjepret ria tiada henti. Dalam pemikiran saya, menyaksikan itu semua, rupa-rupanya inilah yang membuat mereka sibuk dengan diri sendiri, bukan dengan orang lain, seperti bangsa kita yang bebal ini. Betapa tidak, lihatlah, karena jarang membaca, kita sibuk membicarakan dan mengutuk orang lain tanpa memeriksa siapa kita sebenarnya. Percekcokan lantas cepat terjadi.
Tiada hari tanpa percekcokan, terutama di dunia maya karena memang begitulah pekerjaan kita: sibuk dengan orang lain lalu lupa dengan diri sendiri. Fakta ini sangat-sangat tragis. Teknologi yang harusnya membuat kita gampang mencari informasi sahih, justru membuat kita mencari informasi dangkal. Setelah ditemukan, tanpa membaca, informasi itu bahkan langsung dibagikan. Ternyata, teknologi tidak mengajarkan kita mencari ilmu, tetapi mengajarkan kita mencari serapah dan sampah.
Sepaham
Maka itu, meski berada pada urutan keempat pengguna Facebook terbanyak di dunia, tak berlebihan kalau disebut bahwa yang kita produksi hanyalah hoax. Hingga kemudian, ada oknum yang jeli melihat hobi menyebar hoax itu sebagai lumbung pendapatan. Konon, mereka mendapatkan fee sebanyak Rp25-35 juta per bulan hanya dari menyebar hoax. Ini tak terjadi kalau semangat literasi kita (bukan sekadar membaca judul, tetapi juga mencari kesahihan data/berita) tinggi.
Karena tingkat literasi kita rendah, di mana indeksnya menurut UNESCO hanya 0,001 (dari 1.000 orang hanya 1 yang membaca), kita hanya suka kulit dan tak suka isi. Kita melihat dari sampul, bukan dari bacaan; dari judul, bukan dari isi. Maka, tak mengejutkan hasil The World’s Most Literate Nations 2016, kita berada pada peringkat 60 dari 61 negara. Kita hanya unggul dari negara Botswana, negara terasing di Benua Afrika. Bahkan, menurut T. Agus Khaidir, satu-satunya “pencapaian internasional” Botswana yang dapat dicatat adalah menjadi tempat pengambilan gambar dua film awal serial The Gods Must be Crazy, film yang lekat dengan budaya nirteknologi.
Sungguh memalukan. Bagaimana tidak? Kita hanya berhasil mengungguli negara yang belum digempur teknologi. Padahal, kita sudah asyik dengan teknologi. Nah, atas dasar itulah saya pikir, kita harus ramai-ramai membelajarkan orang membaca. Publik figur, seperti artis, pejabat, pesohor, bisa memainkan perannya dengan “pamer” membaca buku di mana saja. Bila perlu, mereka harus membuat bahasa status di media sosial melalui analisis, renungan, ataupun cuplikan dari buku itu. Saya membayangkan, andai ini terjadi, rakyat kita akan doyan membaca.
Mereka akan sibuk dengan diri sendiri, bukan dengan orang lain. Bahkan, seperti termaktub dalam penelitian David McClelland, bahwa sejak abad ke-16, Inggris mendadak lebih maju dari Spanol adalah karena membaca. Padahal, kedua negara itu pada masa itu merupakan negara raksasa. Mengapa Inggris maju? Karena muatan bacaannya menyebabkan pembacanya terjangkiti penyakit “butuh berprestasi” (need for achievement). Tak mustahil hal serupa terjadi pada negara kita andai kita secara atraktif ikut membelajarkan masyarakat untuk membaca. Semoga dalam hal ini, kita sepaham dan dapat bekerja sama!
- Bangsa yang Konyol itu, ya, Kita! - 23 March 2022
- Surat: Dari Siapa, Bukan untuk Siapa! - 23 February 2022
- Bahasa Indonesia: Menuju Perjalanan Akhir? - 14 November 2019
Devi Yustika
Mantap mas👏
Prima
Menarik sekaligus miris mengetahui betapa pandirnya bangsa ini. Budaya informasi instan yang dikampanyekan oleh media sosial agaknya cukup sukses mempandirkan bangsa kita.