Judul: Bahagia Mengerjakan Hal Sia-sia
Penulis: Prima Sulistya
Penerbit: Buku Mojok
Tebal: x + 205 halaman
Sebagai pembaca yang selalu merasa haus akan bacaan-bacaan bagus, saya begitu bungah ketika buku-buku ciamik beterbitan. Sama bungahnya dengan seorang perempuan yang pertama kali melihat bunga-bunga di taman sederhananya bermekaran. Ada banyak penerbit menerbitkan buku-buku bagus tahun ini. Tapi, tak banyak yang menerbitkan buku esai seperti yang dilakukan Buku Mojok. Sepanjang tahun ini, penerbit bermarkas di Jogja itu telah menerbitkan sejumlah buku kumpulan esai yang sangat berharga, antara lain Hidup Begitu Indah dan Hanya Itu yang Kita punya (Dea Anugrah), Muslimah yang Diperdebatkan (Kalis Mardiasih), dan Bahagia Mengerjakan Hal Sia-sia (Prima Sulistya).
Buku pertama dan kedua sudah cetak ulang berkali-kali dan banyak diperbincangkan; sedangkan buku yang disebut terakhir masih jarang saya dapati ulasannya. Padahal, Bahagia Mengerjakan Hal Sia-sia, buku perdana perempuan kelahiran Pontianak yang sepintas berparas mirip Liliana Natsir, tak kalah menarik. Lihat saja judulnya. Mengerjakan hal sia-sia kok bahagia.
Barangkali kau boleh tak setuju atau heran dengan judul yang lumayan memancing rasa penasaran tersebut. Tapi sebaiknya, kau percaya saja kalau ada yang bilang membaca Bahagia Mengerjakan Hal Sia-sia bisa bikin bahagia. Saya menamatkan buku itu dalam waktu beberapa jam, berbahagia ketika membacanya, dan merasa mesti bercerita alasan saya senang membacanya.
Pertama, buku ini ditulis oleh seorang editor cukup berpengalaman yang juga pernah menjadi redaktur situs sekelas Mojok.co. Setidaknya itu menjadi jaminan buku ini akan bersih atau sedikitnya terminimalisasi dari kesalahan-kesalahan penulisan yang mendasar. Sejumlah typo memang masih saya temui dalam buku ini, tetapi secara umum sangatlah memuaskan. Lagi pula, tidak ada buku yang sempurna, bukan?
Buku ini terbagi dalam tiga bab besar: “Pada Mulanya Hanya Peduli Bahasa”, “Kenang-Kenangan dan Rahasia”, dan “Kekuasaan dan yang Tak Bisa Ia Kalahkan”.
Bab pertama berisi 10 tulisan seputar permasalahan bahasa dan yang berhubungan dengan itu. Isi seluruh tulisan dalam bab ini akan langsung mengingatkan pada kolom-kolom bahasa di media besar semacam Kompas, Majalah Tempo, dan Pikiran Rakyat. Namun, yang menjadi pembeda besar adalah cara penyajian, yang sangat menghibur tanpa harus kehilangan substansinya.
Pada tulisan pembuka “Selip Lidah: Mengundang Tawa, Memancing Marabahaya”, misalnya. Kandungan humornya begitu ruah. Sampai-sampai saya pikir ini adalah buku humor yang mengandung pelajaran berbahasa atau buku pelajaran berbahasa yang mengandung humor. Semacam itulah.
Simak cuplikan ini:
“Alkisah, saya dan teman-teman kuliah sedang berkumpul di warung kopi sampai Hanis, salah seorang peserta yang datang belakangan, tiba. Perempuan satu ini agak berbeda dari kami, cenderung punya energi yang meletup-letup, juga agak berisik seperti dingdong baru diisi koin. Dengan kepercayaan diri tinggi, ia membagi kabar kepada kami.
Hanis : Cyin, udah tahu belum Gigabyte film barunya Leonardo DiCaprio?
Teman 1: *hening*
Teman 2: *berpikir*
Teman 3: *makan*
Saya : *hening berpikir sambil makan*
Rasanya ada yang aneh. Itu masa-masa ketika saya rutin memantau film Hollywood terbaru, dan memang benar bahwa Uda Leo ini ada keluarkan film terbaru. Namun, rasa-rasanya judulnya adalah….
Saya : Nis, bukannya judulnya Great Gatsby?” (hlm. 4)
Pada bab awal ini, esai paling provokatif adalah “Bikin KBBI Adalah Pekerjaan Paling Sia-sia”; yang bikin pintar mengedit “Mengedit Surat Viral Gubernur Kalimantan Utara”; dan paling membuat bertanya-tanya “Warna Telur Asin Itu Biru atau Hijau Sih?”.
Dalam buku ini, Prima banyak menuliskan pernak-pernik pengalamannya selama menjadi penulis, editor, dan penyelia bahasa. Oleh sebab itu, secara tidak langsung buku ini bisa juga menjadi semacam buku panduan menulis. Dan saya kira itu satu poin plus lagi untuknya.
Kedua, sebagaimana sempat saya sitir di atas, buku ini sangat menghibur kendati penulisnya mengaku tak pandai melucu. Di antara sebabnya barangkali karena penulis pernah mendaku sebagai pemimpin redaksi sebuah situs online yang notabene dikenal dengan tulisan-tulisannya yang satire dan penuh humor.
Namun, tak semua tulisan dalam buku ini mengandung kelucuan. Ada memang yang bikin ngakak setengah mati semisal “’Kerja di Mana?’ dan Cara-Cara Menjawabnya” dan “Kisah-Kisah Mohammad Hatta yang Membuat Kita Tertawa”. Tapi, ada pula yang menggetarkan hati semisal “Kenang-kenangan Transmigrasi” dan “Pramoedya Ananta Toer Tak Bisa Dikalahkan”. Tak ketinggalan beberapa esai yang menyelipkan nilai-nilai keberagaman dan toleransi seperti dalam “Menyaksikan Imlek dari Dalam Keluarga Tionghoa” dan “NU dan Muhammadiyyah Itu Apa?”.
Ketiga, bahasa yang ringan dan luwes. Ini mungkin klise, bahwa kelebihan buku mesti dilihat dari seberapa gampang dimengertinya isi buku tersebut. Namun, saya perlu menekankannya di sini karena memang begitulah yang saya rasakan. Buku ini membahas tentang cadar, Yesus Kristus, pertunjukan kekuasaan, dan hari-hari terakhir seorang terpidana hukuman mati. Kendati demikian, tak menjadikan buku ini harus dibaca dengan kening mengerut atau sedikit-sedikit buka kamus untuk mencari arti kata-kata yang sulit. Ia ditulis dengan bahasa yang umum-umum saja, dengan cara yang biasa-biasa saja, tapi justru di situlah letak keunggulannya.
Saya membaca buku ini sambil tiduran, duduk, buka media sosial, dan tetap merasa asyik-asyik saja. Ini memang jenis buku yang bisa dibaca kapan dan di mana saja.
Prima mengatakan mengenai tulisan-tulisannya: “Tulisan diri sendiri adalah hal terakhir yang ingin saya baca di dunia. Selesai menulis selalu menghadirkan sensasi jijik dan muak dan ingin berhenti menulis saja selamanya.” (hlm. 198)
Saya rasa itu berlebihan, tak lebih dari rasa frustrasi seorang penulis yang selalu ingin membuahkan tulisan dalam bentuk yang paling baik. Bagaimanapun, saya harus akui, saya bahagia membaca Bahagia Mengerjakan Hal Sia-sia. Begitu. (*)
- Pembalasan Seorang Pegawai Toko Sembako - 11 November 2022
- Kemarahan Ayman - 24 June 2022
- Perjalanan, Kenangan, dan Tugas Seorang Seniman - 16 May 2020