Balak Kosong

“Pekerjaan? Aku keberatan kalau kamu tanya soal pekerjaan. Bukannya tidak punya, tapi kupikir tidak menarik. Apa? Ya, baiklah kalau kamu memaksa, asal hubungan kita terus berjalan, ya.

Ok, begini, pernah aku kerja jadi asisten pengambil lintah di pijat alternatif. Itu hanya empat setengah bulan. Aku geli lihat lintah mengembung membawa darah kotor; mengisap darah dan penyakit. Hebat juga ya, mereka tidak ketularan penyakit. Atau aku saja yang tidak tahu. Habis itu, aku ikut pamanku, Jamrud, jadi tukang cukur. Dari sini nasibku membaik hingga bisa ketemu kamu. Tukang cukur itu enak. Dia mengambil sesuatu dari orang lain, tetapi dibayar. Karno, namanya, orang yang pertama minta aku bantu dia. Si Kumis mirip Rano Karno itu kerja di panti rehabilitasi untuk orang-orang yang kecanduan obat terlarang. Dia bilang: ‘Pot, ini kerjaan mulia. Bayangkan, orang-orang cuma bisa menghujat, tapi kamu ikut memperbaiki kemanusiaan itu sendiri.’ Kubilang: ‘Pidato yang bagus, Pak.’ Dia bilang: ‘Harusnya kamu tanya gajimu berapa?’ Kubilang: ‘Gajiku berapa, Pak?’ Dia bilang: ‘Satu juta. Lima ratus dibayar di dunia, sisanya di akhirat, sebagai amal.’ Lalu dia ngeluyur tanpa beban. Baiklah, tidak masalah. Lagi pula aku kerja cuma dari jam empat sore sampai sebelas malam. Sisanya aku masih bisa mencukur.

Bulan November, hari ke berapa aku lupa, aku jarang ngitung-ngitung hari, lagian buat apa. Kuingat, ada orang masuk. Dia ditempatkan di sel khusus, sebab tidak mau ngapangapain sebelum datang perintah Tuhan. Kuceritakan lagi, ya, tapi ini bukannya menggunjing orang lain, ini hanya menuruti permintaanmu. Namanya, Balak Kosong. Si Laksong, Balak Kosong ini, ogah ngapa-ngapain sebelum ada perintah Tuhan untuk berbuat apa. Laksong bahkan tidak mau berdiri sebelum jelas adanya ayat Tuhan tentang kewajiban manusia untuk berdiri agar menjadi seorang manusia utuh. Yang paling njengkelin, waktu sakau-sakaunya, dia mimpet hidungnya sendiri. ‘Hei, lepas, kamu bisa mampus!’ Laksong dengan selo: ‘Tunjukkan perintah Tuhan tentang kewajiban bernapas.’ Mulailah Laksong ini bikin pusing. Karno bilang dia mungkin korban ekstremis agama yang kemudian madat atau apalah. Mungkin, cuma dengan kerja setahun di tempat itu, aku sudah punya kitab suciku sendiri. Ayat-ayatnya tidak puitik, tidak pula jelimet. Sesederhana: ‘Wahai hamba-Ku, kuwajibkan kalian berkedip agar mata tidak kering, bernapas agar paru-paru bekerja, tertawa agar menunjukkan kebahagiaan dan gigi kalian tidak hanya terlihat ketika makan, tidur agar kalian bisa tahu artinya bangun, makan ketika lapar, buang air kecil agar air tidak menggenang dalam tubuhmu, jangan lupa berak agar tahimu tidak mengenai hati, karena di situlah Aku berada; (aku nggak suka bau tahi, –dalam hati).’ Anggaplah yang satu itu diambil dari ayat 20 surat 11, yang bisa dimaknai tanggal 20 bulan 11, hari pertama ketika aku memakai baju ala Yesus atau orang Arab buat meyakinkan Laksong bahwa itu turun dari Tuhan. Orang bakal menilai kitab itu berisi blakatakatruk—atau petunjuk untuk tersesat dalam bahasa Konoha. Tapi aku tahu betul bahwa, tiap ayat di dalamnya, pernah menggerakkan seseorang, mencegahnya dari spilis. Aku bangga. Aku bakal lebih senang kalau nanti bisa membuat Karno mencukur kumisnya atau membuat Janis menggesekkan pantatnya yang terbuka, tentu, dengan kekuatan ayat-ayatku, dalam tanda petik, ya. Eh, kamu kok seperti geli-geli gitu sih. O, kukira. Ya sudah, kulanjutkan tidak ini? Kopi? Ini sudah, eh, dari situ aku jadi berpikir bisa menggerakkan benda mati dengan ayat tertentu. Atau—astaga, aku mulai terobsesi untuk melakukannya padamu. Tidak semua orang gila—eh, maksudku, pecandu—seperti Laksong. Yang lain, misalnya Janis, Janda Manis. Kok kamu tertawa begitu? Tidak, aku tidak suka janda. Oh, dia betul-betul manis, dan konon, sst, masih gadis. Dia lebih suka masturbasi kalau sedang kumat. Itu, pernah, ya, seharian dia di kamar mandi, menguncinya dari dalam, membuat orang-orang kelabakan. Kita sih tidak terlalu masalah; dia mau masturbasi enam kali lima pangkat dua atau dalam kemiringan sinus 37 derajat lintang utara, tapi kalau sudah mengganggu jadwal berak orang lain, itu singa sekali. Tapi pasti dia tidak mengerti yang semacam kuda nil kita ini. Cuma aku di sana yang masih cukup mengerti perihal moral dan tanggung jawab dan Pendoman Penghayatan Pancasila. Yang lain di balik koin.

Saat Janis akhirnya keluar dari kamar mandi, jam 11 malam, sambil membetulkan celana treningnya yang longgar, aku sempat melihat pinggangnya yang mengajak menari semalaman. Harusnya suaminya sudah memerahkan seprai di malam pertama. Jadi aku tidak perlu membayangkan bahwa aku yang membuatnya menjerit. Ketimbang jarinya sendiri, aku yakin punyaku lebih tidak mengandung tulang dan tidak berkuku dan tidak mengandung cacing kremi. Dan aku bisa meladeninya seharian di kamar mandi. Tapi aku tidak sungguhan tahu. Imajinasiku ini kadang, maaf, bukannya sombong, kadang, em, terlalu hebat. Sampai membuatku minder sendiri. ‘Halah, Pot, babi ditiup kamu itu, punyamu pasti ekor babi yang kebalik juga. Kau masukkan ke lubang air mineral ini saja nih!’ Begitu kata Janis, dulu, saat aku bilang bahwa dia manis dan aku mau padanya. Kalau dia sudah bukan perawan, dia pasti tahu bahwa ukuran bukanlah segalanya. Hasratlah yang utama. Kau mungkin pernah lihat, di film-film, jagoan yang hampir mati saat berkelahi, bangun lagi, dan menang. Semacam itulah punyaku. Dulu, di tempat terapi lintah itu, aku sempat belajar juga cara mempertahankan stamina. Lintah-lintah itu kutaruh di sana, di punyaku. Dan hasilnya luar biasa. Aku betulan minder pada diriku sendiri. Aku seperti melihat tanduk kuda di dalam tubuhku atau semacam melihat tulang lain yang membuatku berpikir tentang kehidupan yang lain. Soal si sinting itu? Tentu saja. Ngomong-ngomong, apa ceritaku tentangnya membosankan?

Baiklah, kulanjutkan kalau tidak. Atau kamu punya janji? Itu ada pesan siapa masuk? Tidak, bukannya aku curiga. Ok, kalau begitu. Dengar, ada banyak hal yang harus kamu tahu tentang pekerjaanku. Hari-hari aku mengumpulkan mereka dalam apel sore—begitu mereka menyebutnya. Mereka dibagi ke dalam kelompok-kelompok untuk mempermudah koordinasi dan mengontrol pasien-pasien yang berbeda tingkat kesembuhannya. Mereka yang madat tingkat dewa akan diberi dosis tingkat hamba secara bertahap sampai pada akhirnya terbebas dari dosis itu sendiri. Kelompok yang sudah sembuh akan diminta membantu kelompok lain yang masih belum waras benar. Yang kuamati perilaku yang muncul di dalam diri mereka dipengaruhi oleh masa kecil yang mereka tanggung, itu pertama. Mereka yang kecilnya, atau lebih tepatnya kebahagiaannya adalah memancing maka mereka akan bicara memancing. Tetapi yang lebih dominan adalah masalah apa yang membuat mereka terjun memakai pengalihan lain—sesuatu yang, kupikir, mungkin juga kamu bepikir seperti itu, bahwa itu adalah hal aneh. Mengapa mereka tidak memilih agama sebagai jalan keluar dari masalah? Mengapa mereka memilih obat? Itu sulit dijawab tanpa melihat bagaimana kondisi yang mereka alami. Yang lari dan di dalam pelarian itu sejatinya si cerdas yang akan terus mengumbar: ‘Aksioma kesedihan di dalam diriku berbanding lurus dengan hukum Newton.’ Yang berlagu menyanyi: ‘Balonku ada di langit yang biru, hep, lalu ditangkap delman pada hari Minggu.’ Dari semua itu yang membuatku pilu; kegelisahan, seperti ikan-ikan yang kekurangan air. Seperti seorang ibu yang meminta anaknya yang meninggal dibangkitkan kembali. Aku benar-benar tidak ingin pergi dan berkata pada Karno: ‘Lebih baik aku memijat lintah daripada berada di tempat yang membuat hatiku pilu.’

Aku mencukur mereka pada hari Senin. Kadang, mereka tampil menjadi lebih bersahabat dari siapa pun yang kamu kenal. Dia menyapamu seakan kamu adalah kembar siamnya pada masa kecil. Kami memandunya beribadah pada akhir pekan, pada hari Jumat, dan mereka melakukannya dengan sepenuh hati. Meski urutannya kadang keliru. Mereka menggabung doa mau makan dengan doa mau buang hajat, atau doa sebelum tidur tertukar dengan doa meminta jodoh. ‘Bagaimana kalau kamu mengeluarkanku atau membelikanku sate keong?’ tanya si mantan pemadat ganja yang mengaku dirinya sudah baik-baik saja tanpa barang itu. ‘Tentu saja,’ kubilang, ‘tentu yang sate keong.’ Kalau soal mengeluarkan bukan urusanku. Aku, di sini, hanya membantu Karno. Namun, sebagaimana umumnya pembantu, aku lebih banyak bekerja daripada tuannya. Karena itu pula aku lebih banyak tahu dari Karno, termasuk bagaimana ia juga sebenarnya mulai tertular oleh kegilaan para pasien. Ia mulai menerapkan hal-hal gila untuk menyembuhkan kegilaan. Rumus matematikanya mentok pada minus kali minus menjadi plus. Orang-orang gila bertemu dengan cara-cara gila adalah kenormalan. Dari apa yang selama ini aku pelajari pada orang-orang yang diterapi, aku tahu bahwa kegilaan bukan virus. Ia energi yang bisa berganti-ganti bentuk, tanpa bisa dimusnahkan. Ia dapat berupa aktivitas menari tanpa musik, tertawa saat melihat duka orang lain, menangis karena digigit semut, meminum obat tanpa perlu sakit, mengenang apa yang tidak pernah terjadi, membersihkan dan mengelap piring baru, dan hal-hal lainnya yang lebih banyak terlihat dari gerakan daripada pikiran. Ah ya, aku hampir lupa menyebut sebab kedua bagaimana orang-orang dikirim ke sini. Selain masa kecil, kebanyakan dari mereka ke sini karena tidak kuat menerima ilmu. Ilmu pengetahuan ataupun ilmu-ilmu kebatinan. Otak mereka yang seharusnya mencerna ilmu itu malah menggunakan ilmu itu, apa yang harusnya dituntut malah menuntut mereka. Beberapa menjadi penjudi dan menemukan kegagalan karena rumus kemungkinan mereka tak pernah bisa jebol. Ada orang yang melihat apa pun dari segi geometri, mengukur luas, kedalaman, dan sisi-sisinya. Ada yang cerewet tentang bahasa, selalu menyunting perkataan orang dengan hukum gramatika. Ada yang selalu mengukur pantulan cermin, pada spion mobil atau motor, pada cermin kamar mandi, pada cermin bedak, dan segala yang memantulkan bayangan diukur kadar kecerminannya. Adapun yang tak kuat ilmu batin biasanya mengigau tentang apa yang mereka lihat. Bahwa mereka tak siap melihat makhluk-makhluk gaib yang mungkin muncul hanya dalam kepala mereka sendiri.

Tapi, tapi sebenarnya, mungkin kadang-kadang, aku percaya bahwa hantu itu memang ada. Jika kamu mulai bosan dengan cerita Laksong, Janis, atau makhluk berwujud manusia (lainnya), akan kukisahkan kepadamu tentang hantu-hantu yang bergentayangan di gedung ini.

Tidak akan kukisahkan hantu-hantu yang mainstream yang berjalan melayang, punya taring, belepotan darah, atau iseng-iseng menembus dirimu. Hantu di sini juga tidak cuma diam, mereka bergerak lewat lagu-lagu; merangkak, bergerak, menjilat ludah mereka sendiri. Mereka tahu betul kinematika dan dinamika, pengantar ekonomi makro, ilmu reproduksi, tapi mereka tidak punya moral. Dan kau tahu, moral adalah milik manusia. Jadi, seharusnya, kau tidak terkejut. Mereka hantu. Yang mendatangiku, dan memintaku menjadi waras. Padahal siapa yang gila? Hantu-hantu itu yang gila. Mereka hanya tidak bisa ngaca. Cermin tidak akan memantulkan wajah mereka. Atau cermin memang sengaja tidak ikut campur. Takut dengan hantu, atau takut dengan penjara. Atau cermin lelah menjadi cermin, seperti aku yang lelah terus bercerita. Sesungguhnya aku kangen, kangen sekali, untuk sekadar duduk dan tidak memikirkan apa-apa.

Ealah, kamu malah tidur. Hei, hei….”

(2017)

Wawan Esideika
Latest posts by Wawan Esideika (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!