Bangsa yang Konyol itu, ya, Kita!

Ariel Heryanto pernah menulis artikel berjudul “Buku”. Di tanah air, banyak lomba membuat lagu, film, tulisan fiksi dan nonfiksi. Akan tetapi, berapa banyak pelatihan jangka panjang dari Sabang hingga Merauke yang menyiapkan lulusan dengan kualitas di berbagai lomba itu? Begitulah Ariel Heryanto mengkritik bangsa ini. Ada dua hal yang menurut saya menjadi sasaran kritiknya. Pertama, mengapa komunitas dari para pemenang itu tak direkrut untuk dilatih sebagai api pembakar literasi di tanah air?

Kedua, mengapa negara hanya menjaring para pemenang dan tak mampu membentuk generasi lain untuk setidak-tidaknya mempunyai kualifikasi yang sama dengan para pemenang? Terkait sasaran kritik kedua, yaitu proses, kita memang masih cenderung lemah. Buku belum menjadi kebutuhan. Di sekolah, pengertian buku malah didangkalkan sebatas buku pelajaran dan latihan soal ujian. Setiap hari, anak didik akhirnya bergelut dengan buku yang miskin bacaan dan dialektika. Tentang inilah yang pernah saya bawakan sebagai pemakalah dari Badan Bahasa.

Pasalnya, sebagai guru pengampu bahasa Indonesia, saya merasa ada kekeliruan dari kurikulum kita. Kekeliruan itu, misalnya, adalah karena anak justru dijauhkan dari bacaan demi bacaan. Kekeliruan ini tentu harus digugat dan diperbaiki. Bagaimanapun, muatan bahasa Indonesia sangat berpengaruh dalam membudayakan literasi. Semakin berpengaruh karena kurikulum kita tak ramah dengan literasi, apalagi perbukuan. Ada perpustakaan di sekolah, tetapi tak ada jam kunjung khusus. Pun, isi buku di perpustakaan hanya buku pelajaran dari dana BOS.

Akan Miskin Imajinasi

Padahal, sejarah dunia sudah membuktikan bahwa peradaban muncul bukan karena buku-buku pelajaran. Buku terbaik adalah buku yang bisa menghidupkan imajinasi. Jika hanya berisi soal-soal, buku seperti itu cenderung kaku dan beku. Saya tak sedang mengatakan bahwa buku pelajaran tidak penting. Tetapi, saya sangat berkeyakinan bahwa jika siswa hanya dihadapkan ke buku pelajaran, siswa akan miskin imajinasi. Maka, terjadilah kejenuhan membaca. Muncullah generasi yang dalam istilah Anindita S. Thayf: membaca tanpa membaca (Kompas, 3/11/’21).

Sebabnya, membaca dibuat menjadi mekanis dengan satu tujuan dangkal: memenuhi tugas sekolah. Pada posisi demikian, jelaslah buku tak bisa mengantar Sang Anak bermain dengan imajinasinya selain ke halaman paling akhir. Padahal, membaca itu meletupkan imajinasi. Tujuan terbaik dari membaca pun tidak sebatas mendapat informasi agar menjadi pintar. Jika hanya supaya pintar, belum tentu penulis lebih pintar daripada pembaca. Dalam hal ini, membaca berarti harus bisa merangsang pikiran-pikiran lain untuk bekerja atau dalam bahasa Nietzsche disebut “pikiran asing diam-diam memanjat dinding”.

Ringkasnya, harus ada kasmaran berliterasi yang dimulai dari sekolah. Kita sudah harus malu bahwa bangsa kita selalu berada di peringkat papan bawah dalam bidang literasi. Padahal, kemajuan sebuah bangsa ditentukan oleh bacaan. Tiada bangsa yang maju tanpa bacaan. David McClelland sudah membuktikannya melalui penelitian dengan mengumpulkan 1.300 cerita
anak-anak dari banyak negara dari era 1925 dan 1950. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa cerita anak-anak yang mengandung nilai achievement yang tinggi akan selalu diikuti dengan pertumbuhan yang tinggi pula dalam kurun waktu 25 tahun kemudian.

Persoalannya, buku pelajaran cenderung kurang memuat nilai achievement yang tinggi. Karena itu, perlu pasokan buku baru ke ruang-ruang pendidikan. Buku itu kelak menjadi bacaan wajib agar tak menjadi benda mati di perpustakaan. Dalam hal ini, harus ada guru khusus untuk membimbing siswa ke perpustakaan dengan serius. Sebab, selama ini, perpustakaan di sekolah belumlah bernyawa. Padahal, dalam studi Connecticut State University (CCSU), meski berada pada peringkat 60 dari 61 negara, pada variabel fasilitas perpustakaan, kita justru berada pada peringkat 36.

Tiru Orang Sukses

Kita mengalahkan Singapura (59), Selandia Baru (39), Korea Selatan (42), Belgia (46), bahkan Jerman (47). Sayang, pada variabel lain, yaitu di sistem pendidikan, kita anjlok di papan terbawah. Hal ini semakin membuktikan bahwa sistem pendidikan berperan besar dalam jebloknya peringkat literasi kita. Artinya, memperbaiki budaya literasi harus dimulai dari dunia pendidikan dengan salah satunya mendekatkan buku pada siswa serta memodifikasi muatan materi pelajaran pada bidang studi bahasa Indonesia sebagai garda terdepan literasi.

Fakta kontemporer ini, dikutip dari Agus Fitrianto, budaya membaca siswa kita (SMA) sangat rendah: nol judul buku setiap tahunnya (Kompas, 10 Agustus 2021). Bandingkan dengan budaya membaca siswa sederajat di negara maju: Jerman (32), Belanda (30), Rusia (12), dan Jepang (15), Singapura dan Malaysia (6). Buku belum dimaknai sebagai pelecut kemajuan. Padahal, boleh dikatakan sebuah negara maju selalu diawali dengan budaya literasi yang tekun. Karena itu, mendesak kiranya pemahaman ulang atas buku dan kegiatan literasi di sekolah.

Ada nasihat untuk menjadi orang sukses: tirulah cara hidup orang sukses. Turunannya adalah bahwa jika ingin maju, tirulah cara hidup negara maju. Cara hidup negara maju adalah membaca dengan tekun karena mereka paham bahwa membaca bukan untuk menambah kepintaran saja, melainkan untuk merangsang pikiran. Lagi pula, penulis tak selalu lebih pintar daripada pembaca bukan? Karena itulah, mengutip kembali Ariel Heryanto, cukup sering bahwa ternyata ulasan buku justru jauh lebih baik daripada buku itu sendiri.

Dalam lajur berpikir demikian, kiranya kegiatan mengulas buku perlu digerakkan dan menjadi kegiatan rutin di sekolah. Hal ini untuk mengasah nalar, kreativitas, terutama semangat dan motivasi siswa. Saya punya pengalaman unik terkait itu. Ketika masih menjadi tutor di bimbel, seorang siswa mengeluhkan kepada saya bahwa di Italia dan Jerman, pelajaran bahasa dibuat sangat menarik minat mereka. Kebetulan, siswa itu tergabung dalam kelompok pertukaran pelajar pada saat itu. Menjadi sangat berbeda di negara kita dengan pelajaran bahasa yang terkesan kaku dan beku.

Sebabnya, buku pelajaran bahasa kita sangat miskin dengan teks, apalagi yang bernuansa sastra. Dampak terjauhnya tentu saja adalah tidak adanya kasmaran belajar bahasa Indonesia di ruang-ruang kelas. Di samping itu, kualitas guru pengampu bahasa Indonesia pun masih kurang memadai dan kurang minat untuk membaca. Sebagai bukti yang cukup sering dikutip, dalam esainya yang terangkum di Guru Gokil Murid Unyu, J. Sumardinata, misalnya, mengisahkan fakta yang sangat gawat: dari ribuan guru bahasa Indonesia, tak sampai 0,5% yang pernah membaca tetralogi Pramoedya Ananta Toer.

Sertifikat Digital

Mereka bahkan tidak mengenali buah pemikiran Ki Hadjar Dewantara, apalagi Paulo Freire. Senada dengan itu, menurut penelitian Anita Lie (Kompas 5/03/2019), hampir separuh sampel guru bahasa Indonesia tak bisa menulis 3 paragraf esai. Bahkan, masih ada guru yang tak mengerti apa itu “paragraf”. Sampai di titik ini, rasanya kita sudah sadar bahwa banyak hal yang harus dipersepsi ulang dalam menggalakkan budaya baca, terutama dari bidang studi bahasa Indonesia. Yang pasti kita harus sadar bahwa membaca dan mengulas buku itu teramat penting.

Persoalannya, saya sebenarnya ragu akan komitmen bangsa ini untuk literasi. Ragu sekali. Atlet selalu diganjar miliaran rupiah. Namanya mulia. Begitu juga dengan atlet level lokal. Lalu, bagaimana dengan para pemenang olimpiade kita? Mereka diabaikan. Hadiah lombanya minim. Termasuk, misalnya, lomba FL2SN yang resmi dilakukan di seluruh Indonesia. Pada akhirnya, program ini hanya ecek-ecek. Juara seprovinsi, apalagi sekabupaten tak diberi hadiah. Siswa pemenang merasa tak dihargai oleh sekolah, apalagi oleh pemerintah.

Lalu, untuk apa berlomba-lomba jika hadiah sebagai penghargaan tidak ada? Jadi, semua ini ecek-ecek. Saya sepakat dengan Ariel Heryanto. Saya melihat dengan mata kepala sendiri juara 2 FL2SN se-Provinsi Sumatera Utara dari kampung kami tidak diberi hadiah oleh siapa pun, oleh pemerintah, oleh sekolah, apalagi oleh panitia. Padahal, judul lomba adalah tingkat nasional dan diselenggarakan pemerintah pusat pula. Sebagai hasil, siswa-siswa tersebut merungut karena kerja kerasnya berbulan-bulan hanya dengan sertifikat digital. Jadi, judul tulisan ini tidak salah, bukan?

Hahahaha.

Riduan Situmorang
Latest posts by Riduan Situmorang (see all)

Comments

  1. Hakim Reply

    Mantap sekali dan setuju bang

  2. Ibnu sya'nah Reply

    Ingat pas waktu sd, yang lomba saya latihannya berminggu-minggu. Eh ternyata, yang dapat pialanya sekolah. Hehe. Kesalnya minta ampun.

  3. Rian Reply

    Mewakili isi pikiran sy. Terimakasih bang

  4. halub Reply

    Yakin tulisan gak ada lawan. Tapi bang ngedapetin tetralogi bukunnya pramoedya ananta noer di mana?

  5. Nazz Reply

    betul sekali bang, mungkin lemahnya literasi banga ini juga karena budaya baca dan haus ilmu yang belum tertanam. Sekolah rasanya hanya memaksa para siswa menguasai dan pintar di berbagai bidang ilmu, bukan memantik potensi dalam diri mereka.

  6. Nadia Maisya Putri Reply

    Saya juga setuju bang. Di sekolah memang sudah ada penggalakan budaya membaca. Tetapi bacaannya berupa buku non-fiksi. Seandainya buku fiksi juga dibolehkan, pasti banyak yang minat baca. Cara pandang guru terhadap buku fiksi juga berpengaruh. Kebanyakan guru menganggap buku fiksi seperti novel itu hanya tentang percintaan. Padahal banyak loh buku fiksi itu genrenya bukan hanya cinta-cinta an aja. Makanya mungkin karena pandangan ini, buku fiksi ngk dimasukin ke literasi wajib sekolah. Saya ingat tuh celetukan teman saya ” Andai buku novel masuk literasi wajib sekolah, mungkin aku udah menang tuh” ( akhir semester ada pemenang juara literasi terbanyak yang tentunya itu buku non fiksi).

  7. Samsul Reply

    Alhamdulillah kami tadi sudah bahas ini kami mengambil kesimpulan bahwa bangsa ini tidak konyol, tapi yang bikin konya adalah pemangku kekuasaan

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!