Bagaimana H. Rosihan Anwar menulis dalam air, ketika bayang-bayang kenangan dan peristiwa bercampur-aduk dengan tinta-darah di setiap langkah rekam jejak perjalanan hidupnya? Fenomena kehidupan macam apa itu, ketika otobiografi serupa kamar-mandi yang setiap waktu mesti membersihkan tubuh bangsanya ini?
H. Rosihan Anwar (10 Mei 1922–14 April 2011) adalah tokoh pers, sejarawan, sastrawan, dan budayawan Indonesia. Rosihan merupakan seorang yang produktif dalam hal tulis-menulis. Ia pernah dicalonkan sebagai Anggota Konstitusi mewakili Partai Sosialis Indonesia. Rosihan merupakan anak keempat dari sepuluh bersaudara, pasangan Anwar Maharaja Sutan dan Siti Safiah. Ayahnya adalah seorang demang di Padang, pantai barat Sumatra. Dia menyelesaikan sekolah rakyat (HIS) dan SMP (MULO) di Padang. Kemudian ia melanjutkan pendidikannya ke AMS -A di Yogyakarta (sekarang SMA Negeri 1 Yogyakarta). Dari sana, Rosihan mengikuti berbagai pelatihan di dalam maupun luar negeri, termasuk di Universitas Yale dan School of Journalism di Universitas Columbia, New York City, Amerika Serikat.
Ada bayang-bayang kenangan dan peristiwa ketika Rosihan Anwar menulis-catat-tinggalkan perjalanan hidupnya sendiri, menjadi buku, berharap mungkin agar tak sampai seperti seseorang yang menulis dalam air: kosong tanpa kata-kata, gelombang rumitnya mencari makna, dan berujung kehampaan yang nyata-terasa. Itulah mengapa, Rosihan Anwar memperjelas, bahwa ia tidak menulis dalam air! Sungguh, air-tinta-darahlah media yang dipakai sebagai alat tulis dalam mencatat buku kenangan dan peristiwa bayang-bayang dalam otobiografinya (Menulis dalam Air; Di sini Sekarang Esok Hilang,Penerbit Sinar Harapan, Jakarta 1983).
Peta keajaiban hidup Rosihan Anwar dimulai ketika namanya dirumuskan sebagai arti “berlipat ganda cahaya”, yang ceritanya disusun semi-tragikomedi, amburadul, dan menggemaskan, bagaimana hubungan perang antara Turki dan Yunani dengan jalan kehidupan Rosihan Anwar sendiri. Hubungan yang diawali kejadian antara hidup dan mati Ayahnya melawan perampok, dan sebab kebiasaan ayahnya membaca cerita-cerita perang bersejarah, di mana ia membaca tentang perjuangan Kemal Mustafa Pasha yang melancarkan serangan terhadap tentara Yunani di Smyrna, salah seorang jenderal di bawah komando Kemal ialah Rozehan Pasha, yang lalu menjadikan Rosihan Anwar kelak menjadi tokoh seperti makna cerita dari kenangan dan peristiwa pembelajaran masa silam tersebut. “Berilah anak saya nama Rozehan. Dia akan bernama Rozehan Anwar.”
Dilanjut bagaimana arus fenomena Hindia-Belanda dan rekaman Partai Komunis Indonesia bersama partai-partai lainnya dalam membangun Indonesia. Ada Taman Siswa, ada Sekolah Raja, dan timbulnya roman Siti Nurbaya gubahan Marah Rusli. Ada juga Tan Malaka yang menyamar sebagai kusir bendi mengunjungi Rustam Effendi. Ada lagi cerita Minangkabau yang erat hubungannya dengan keturunan Jawa. Dan kesemuanya itu, Pa Gaek yang bernama Raden Mohammad Joesoef-lah yang bercerita asal-muasalnya. Lalu apa hubungannya dengan Rosihan Anwar, dan menulis dalam air?
Benar atau tidaknya, sadar atau tidak sadar, tepat atau tidak tepat, sepembacaan saya Pa Gaek atau bernama Raden Mohammad Joesoef-lah yang pertama menginspirasi Rosihan Anwar bagaimana cara berkisah atau apa yang dinamakan orang-orang dalam kursus menulis dan mengarang. Lalu, menyangkut itu semua, apa hubungannya pula dengan catatan saya ini? Tidak! Saya tak akan bicara bahwa saya ingin seperti Rosihan Anwar atau ingin mengejar perjalanan pembelajarannya, tidak. Saya hanya ingin mengulas apa dan bagaimana pembacaan saya terhadap otobiografi Rosihan Anwar, itu saja. Sungguh, hanya ingin mengulaskembangkan apa pembacaan saya terhadap judul Menulis dalam Air, itu saja.
Membentuk Makna Kehidupan
Ajaran dan pembentukan hidup bagi Rosihan sama saja seperti bermain-main dengan ombak di pesisir pantai, antara kesiapan dan kematangan mesti berbarengan menahan gemuruh gejolak dalam diri, siapkah menerjang ombak lautan maha-luas dan sudah matangkah konsep menerjangnya. Walaupun kegagalan ada di samping perjuangannya, ia percaya bahwa ada sesobek mawar kertas yang berisi catatan bisa membuahkan pembelajaran menjadi sebuah bacaan yang tak menentu nilainya, apakah baik atau buruknya bagi masa depan kelak.
Ada seorang sarjana Australia yang melakukan penelitian di Indonesia bertanya kepada Rosihan: “Coba sebutkan judul-judul sepuluh buku yang pernah Anda baca dan menimbulkan kesan yang dalam pada Anda?”. Apakah jawaban Rosihan mengenai pertanyaan itu? Tidak ada jawaban. Ya, ia hanya mengangkat bahu dan bergumam di dalam hatinya sendiri, “Lha, wong membaca dulu tanpa aturan kok.”.
Namun jauh sebelum itu, sebenarnya Rosihan Anwar sejak remaja sudah membaca buku-buku Karl May yang memperkenalkan tokoh Winnetou dan dunia orang Indian di Amerika. Buku-buku lembut gubahan Courths Mahler. Cerita-cerita detektif ulung Bulldog Drummond. Kisah petualangan oleh Jack London. Buku pengarang Inggris Charles Dickens seperti David Copperfield dan A. Christmas Carrol. Namun jika menyangkut novel, ia sendiri menjawab, bahwa novel gubahan Ruby Aires-lah dengan judul dalam bahasa Belanda Papieren Rozen (Mawar Kertas). Uh! Dan masih banyak yang lainnya.
Rosihan Anwar juga menerangkan bahwa ia membaca karya terkenal Sir James Frazer The Golden Bough, suatu uraian antropologi yang tidak palang tanggung alotnya. Dan menurutnya, tidak semua bacaan itu dapat dipahami lebih dalam. Kadang-kadang bacaannya bersifat erratic, sangat tidak menentu. Semua itu ibarat ikan cumi-cumi atau oktopus, semua itu mau tak mau akan dipagut dan diisapnya. Paham atau tidak sebuah bacaan, itu lain soal. Maka dapatlah dimengerti jalannya, orang macam apa yang kemudian timbul akibat bacaan tidak menentu tersebut. Tiada metode, tiada sistem, uraian Rosihan Anwar muda.
Dengan begitu dapat dikatakan, bahwa proses pembacaan seseorang akan membentuk makna kehidupan seseorang itu juga. Begitu pula dengan jalan hidup Rosihan Anwar, yang membentuk makna kehidupannya dengan berantakannya buku-buku yang ia baca, membuahkan catatan-pemikiran yang disirami bacaan-bacaan yang tak menentu itu. Bagi Rosihan, menulis ialah menulis. Sederhana saja. Ibarat orang yang sudah tahu naik sepeda, tiba-tiba ditanya bagaimana mulanya dia menggenjot sepeda, gerak-gerak apa yang diperlukan, bagaimana melakukannya. Jikalau seseorang itu menulis seperti di pinggir pantai, esok menghilang oleh gelombang, setidaknya ada usaha mencatat fenomena zaman.
Rosihan banyak sekali menghasilkan catatan, sebagai contoh salah-satunya berjudul bagaimana mempelajari bahasa Indonesia dan gayanya, menceritakan Chairil Anwar dan Binatang Jalang-nya, bagaimana seorang gadis Belanda masuk kamp internal Jepang dan soal nasionalisme, bagaimana sampai menjadi orang sosialis dan cara komunis mencapai tujuannya, bahkan ke ranah pemerkosaan terhadap demokrasi dan akar rohani demokrasi modern, dan perang penting dalam tiga dimensi tambahan yang dimiliki manusia. Begitulah menurutnya menulis ialah menulis, komposisi satu kesatuan yang utuh. Dengan sedikit modal itulah, mungkin, menurut hemat saya Rosihan Anwar membentuk makna hidup dan berjalan di dunia sastra, pers, dan sekelumit budaya-sejarah Indonesia.
Pengalaman dan Pengharapan
Sebagai tokoh pers, sastrawan, budaya-sejarah, Rosihan pada akhirnya mau tak mau haruslah meninggalkan pengalamannya menjadi pembelajaran, juga harus mengembangkan nilai-nilai harapan untuk kelanjutan bangsa yang bernama Indonesia. Buku Menulis dalam Air-lah yang menjadi salah-satu peninggalan pengalamannya.
Kedudukan pers dalam sorotan perpecahan merupakan pengalaman yang timbul-tenggelam dialami Rosihan Anwar. Dari koran di zaman revolusi fisik bersenjata, partai-partai berkuasa dan jejak pendiri surat kabar, peta bumi politik sekarang, bukan Don Kisotisme dan bukan pula menyerah diri, dan muncul manusia dan alam persatuan bangsa. Pengalaman semacam deretan frasa-kalimat itulah yang menjadi pengalaman pembelajaran dari Rosihan untuk anak-cucunya dewasa ini. Keterkaitan fenomena masa lalu dan keberlangsungan kemajuan hari ini mungkinkah bisa dimengerti, atau tidak sama sekali.
Jika pengalaman semacam memoar semacam itu kita lihat sebagai bangkai kenangan-peristiwa lama yang nyeri hidup kembali, mungkin lain soal. Tetapi jika pengalaman memoar semacam itu kita lihat sebagai bingkai kenangan-peristiwa pembuka pembelajaran rahasia lampau, mungkin lain cerita. Maka apakah kita sebagai mata-mata pencari bangkai atau mata-mata pencari bingkai fenomena memaknai pengalaman dan pengharapan sejarah-budaya Indonesia kita sendiri. Sebagaimana ungkapan Rosihan Anwar yang berbunyi: “Apakah pengalaman dan pengharapan dari sejarah dapat diartikan orang-orang sebagai perolehan kesempatan naik ke pentas tampil di muka lampu sorotan sejarah dan memainkan peranan penting di situ? Apakah orang-orang itu dapat menentukan pemimpin politik yang mencatat sejarah dan bangsanya? Ataukah orang-orang penemu, peramu, pemakna dari sejarah itu akan menjelma pemimpin rohani yang penuh karisma membimbing rakyatnya? Semua itu benar-benar gelap bagi saya.”
Pengalaman dan pengharapan yang saya temukan dalam pembacaan otobiografi Rosihan Anwar (Menulis dalam Air) amat sangat rumit ditangkap basah, sebagaimana saya membaca kedalaman danau yang keruh, kadang-kadang memang terlihat seperti membaca arus sungai di atas jembatan. Karena saya bukan Rosihan Anwar. Heuheu. Berbeda dengan catatannya, Rosihan Anwar mengerti dan menyadari satu hal dalam pengalaman dan pengharapan memaknai menulis dalam air. Rosihan menutup catatannya, begini: “Saya kira kunci bagi masalah saya dan kita semua adalah grace atau keanggunan, keapikan. Dalam sebuah kamus, grace berarti kemudahan dan penghalusan gerak, perbuatan atau pernyataan. Saya menginginkan grow with grace, tumbuh dengan keanggunan. Grace juga mengandung rasa bersyukur, berterima kasih. Dan saya ingin tumbuh menjadi tua dengan rasa syukur kepada Tuhan.” Setelah saya membaca otobiografi Rosihan Anwar (Menulis dalam Air), setelah saya mencatat pembacaan saya menyangkut apa dan bagaimana menulis dalam air, saya masuk ke dalam diri Rosihan Anwar: di bayang-bayang kenangan dan peristiwanya, di pertengahan pikiran dan perasaannya. Lalu, keluar dan merebah di kover bukunya. Hanya itu saja. ***
- Bayang-Bayang Kenangan dan Peristiwa; Pembacaan atas Otobiografi H. Rosihan Anwar - 3 August 2022
- Kebudayaan Klik! - 15 June 2022