Bejo dan Bukunya

best-man-books1-1024x5991 (1)
cdn1.drprem.com

Bejo, sebut saja begitu, lelaki usia tanggung dan berkacamata. Ke mana pun Bejo pergi hampir bisa dipastikan sebuah buku selalu ada bersamanya. Sekilas kita paham—walau dalam tataran paling vulgar—bahwa Bejo bukan seseorang yang buta aksara. Membaca buku seolah-olah menjadi tugas hidup dan kesehariannya. Istilah kerèn yang mungkin mewakili: Bejo adalah “kutu buku”. Apalagi, bukan sembarang buku yang dibaca Bejo. Saya sering melihat ia membaca buku-buku filsafat, biografi tokoh-tokoh masyhur, atau buku-buku lain dengan materi “berat” yang tidak semua orang bisa mengaksesnya. Saya jadi bertanya, apakah Bejo benar seorang yang punya agenda menjadi intelektual, filsuf, ilmuwan, atau manusia pandai sejenisnya?

Saya tidak tertarik mencampuri urusan masa depan Bejo. Saya hanya tertarik pada buku—benda yang selalu dibawa Bejo itu. Terkait dengan material culture, buku bukan sekadar objek empiris yang bisa dilihat dan disentuh. Buku juga dilibatkan dalam kehidupan sosial (social life) karena punya peran dalam proses representasi sosial dan simbolisasi. Buku sebagai institusi tanda, memiliki makna penting dan menentukan dalam tindakan sosial suatu individu. Akan tetapi, sebagai institusi tanda pula, buku cenderung polisemis dan problematis (lihat Tilley, 1994). Berbagai makna serta nilai bisa terpancar dari sebuah buku. Mungkin inilah implikasi-(dia)logis yang harus diterima objek seperti buku tatkala harus bersinggungan dengan kemampuan manusia untuk memaknai dan menilai apa pun yang ditemuinya untuk kemudian dilibatkan dalam kehidupan sosialnya. Walhasil, objek tersebut juga memiliki kehidupan sosial yang tidak bisa lepas dari aspek manusia yang mendayagunakannya.

Tulisan sederhana ini akan membahas secara ringkas permasalahan semacam itu. Tentu, fokusnya adalah buku dan kehidupan sosialnya. Perlu saya tambahkan, tulisan ini sebenarnya juga laporan investigasi kecil-kecilan yang saya lakukan terhadap sikap dan tindakan Bejo akhir-akhir ini. Saya sendiri heran, kenapa dia sering terlihat merepotkan diri dengan buku?

Visualitas Buku

Sebagai langkah awal, perlu diketahui pengertian buku secara umum. Kita mungkin sepakat bahwa buku—secara tradisional—merupakan sekumpulan lembaran kertas dengan tulisan cetak, gambar atau ilustrasi yang dijilid di satu sisi, lengkap dengan cover atau sampulnya (lihat Wikipedia, 2014). Dengan pengertian semacam itu, perlu dibedakan lagi antara buku dengan naskah tulisan tangan (manuscript) dari masa pra-teknologi cetak, maupun dengan e-book (electronic book) dari era digital seperti sekarang. Pembedaan ini penting lantaran buku menjadi penanda atas suatu zaman yang di dalamnya terjadi perubahan-perubahan signifikan dalam peradaban manusia. Buku, kalau boleh dikatakan, menjadi puncak dari proses teknologisasi medium bahasa.

Sebelum medium tulisan diciptakan, manusia berkomunikasi menggunakan medium audial atau bunyi yang dibentuk melalui kerja sama antar-organ ucap manusia, kemudian disampaikan dan diterima oleh pendengaran lawan bicara. Proses komunikasi bahasa dengan medium audial mensyaratkan kehadiran subjek penutur. Sang penutur dan lawan bicaranya harus berada dalam kesatuan ruang dan waktu, tidak terpisah. Posisi penutur sangat menentukan karena dialah pemegang otoritas makna dalam komunikasi semacam ini.

Ketika mobilitas manusia semakin tinggi, diperlukan medium yang mampu membawa bahasa bertahan dalam perubahan ruang dan waktu. Medium audial lantas digantikan medium visual, yakni berupa tulisan. Melalui medium ini, kehadiran subjek penutur tidak lagi menjadi syarat mutlak dalam proses komunikasi karena tulisan—secara konvensional—sudah dianggap mewakili pesan yang disampaikan subjek. Subjek hadir secara metafisik. Pada tahap ini, residu kelisanan masih tertinggal dalam tulisan. Jaminan kebenaran, tetap, ada di subjek penutur. Tulisan ibarat “penanda sekunder” (secondary signifier) bagi bahasa lisan. Bahasa belum terlepas dari dominasi kelisanan, dominasi medium audial. Kecenderungan semacam ini tampak dalam tradisi manuskrip. Seorang pemuka spiritual adalah pemegang kuasa tafsir atas teks dalam manuskrip liturgis. Atau dalam praktik mabasan di Bali, pembaca atau pelantun teks manuskrip lontar haruslah anggota kelompok sosial yang paham betul tradisi sastra.

Setelah seni cetak diperkenalkan Johann Guttenberg pada abad XV, perubahan revolusioner terjadi. Elizabeth Einstein (1979), sebagaimana dikutip Ong (2002), menyebutkan bahwa melalui tradisi cetak bisa membuat Renaisans Italia meluas dan menjadi Renaisans Eropa yang permanen, gerakan Reformasi Gereja dan reorientasi praktik religius Katolik, pelayaran bangsa Eropa menjelajahi penjuru bumi (konon Columbus berhasrat menjelajahi bumi lantaran terinspirasi oleh catatan perjalanan Marco Polo yang telah dicetak dan dibukukan), punya imbas dalam perkembangan kapitalisme, sains, hingga sastra modern. Tradisi cetak membawa perubahan dalam kehidupan sosial dan intelektual.

Dengan hadirnya tradisi cetak, dominasi medium bahasa audial mulai tergeser oleh yang visual (Ong, 2002: 117). Posisi subjek penutur sebagai pemegang otoritas makna sepenuhnya digantikan oleh subjek pembaca. Tradisi manuskrip yang unicum digantikan tradisi buku yang bisa diproduksi secara massal, mudah didistribusikan, menjangkau khalayak, bahkan memasuki ruang-ruang individual—ruang paling privat. Ketika otoritas subjek penutur dimakzulkan, divergensi makna dimungkinkan. Maka, kehadiran buku berbanding lurus dengan munculnya generasi intelektual analitis. Selain gagasan subjek bisa terdistribusi secara massal, melampaui ruang dan waktu, subjek pembaca buku diberi peluang untuk merespons dan menganalisisnya juga tanpa batasan ruang dan waktu karena bahasa telah dibekukan.

Konsekuensi atas aspek visualitas yang dominan tidak hanya terletak pada medium bahasa verbal untuk menyiratkan gagasan subjek penutur/penulis. Sebuah buku, dengan segala visualitasnya, menjadi objek atas keberagaman praktik penandaan dan pemaknaan. Di satu sisi, praktik itu masih berpusat pada substansi buku dengan medium bahasa visualnya (mungkin seperti praktik membaca buku secara harafiah dan pada umumnya). Namun di sisi lain, yang jadi sasaran adalah buku sebagai objek visual tersendiri, yang sering dicerabut dari ihwal substansinya. Artinya, yang dilibatkan dalam praktik adalah “citra” buku, gambaran tentang buku. Atau dalam konsep Jean Baudrillard (1983), buku telah memasuki tahap “hiperrealitas”—realitas yang (di)hadir(kan) bukan lagi realitas yang orisinal, namun terus dipersuasikan hingga menjadi sebuah “kebenaran”. Kita akan temukan contoh-contohnya setelah ini.

Dari Buku ke Imagologi

            Apa yang kita dapatkan dari “citra” buku? Bukankah lebih penting substansi buku itu? Kendati sebatas “citra”, bukan berarti tanpa fungsi strategis. Jargon-jargon seperti “buku jendela ilmu”, “banyak baca banyak tahu”, “membaca: cara pintar untuk pintar”, sesungguhnya tidak pernah menghadirkan realitas buku tetapi hanya citranya yang dibungkus dalam selubung pemaknaan yang sangat general dan deterministik. Status intelektualitas seseorang ditentukan oleh kuantitas interaksinya dengan buku, dan itu menjadi mitos yang terus direproduksi dan dipersuasikan secara intens sehingga tampak sebagai kebenaran yang tidak perlu dipertanyakan, apalagi dibantah.

Seorang pakar dalam sesi wawancara televisi, misalnya, ketika disorot kamera perlu membelakangi rak penuh buku. Untuk mempertegas keintelektualan serta kepeloporannya dalam mentransmisi ilmu pengetahuan Barat di tanah Sunda abad XIX, Kartawinata (1846-1906)—putra hoofd panghoeloe dari Limbangan, Hadji Moehamad Moesa (1822-1886)—memerlukan diri untuk memperlihatkan sebuah buku tebal. Itu bisa kita lihat dalam salah satu fotonya yang pernah menjadi koleksi Bagian Dokumentasi Sejarah Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (KITLV) dan kemudian direproduksi untuk sampul buku Mikihiro Moriyama versi bahasa Indonesia, Semangat Baru: Kolonialisme, Budaya Cetak dan Kesusastraan Sunda Abad ke-19 (2005). Tanpa “citra” buku, Kartawinata mungkin hanya terlihat seperti kaum mènak pada umumnya, bukan seorang mènak intelektual. “Citra” buku memberi nuansa lain pada ketokohan seseorang.

Budi Darma (1991) pernah menyindir kondisi semacam itu. Oleh karena hanya “citra” buku yang dibesar-besarkan, maka menurutnya kalau ingin dianggap intelektual cukup berfoto dengan latar belakang rak yang penuh berisi buku, kemudian ditambah dengan memasang tampang yang serius. Dalam situasi kasus yang demikian, buku-buku yang dilibatkan memang riil, materiil, nyata sebagai buku. Akan tetapi, untuk momen dan praktik pemotretan tersebut, buku tidak didayagunakan sebagaimana fungsi asalinya. Buku-buku tertutup dan ditempatkan berjajar sepanjang celah rak. Kalaupun buku itu dibuka dan seseorang berpose membaca buku, juga tidak berarti sebaliknya. Sama saja. Citra bukulah yang sengaja dipancarkan karena praktik pengambilan gambar jelas tidak bebas nilai. Ada intensi yang tersembunyi di balik gambar fotografis yang dihasilkan kemudian. Citra buku terlepas dari realitasnya.

Contoh menarik lainnya adalah foto wisuda. Selain dengan toga, latar foto yang menampilkan rak perpustakaan nan penuh dengan buku, seakan kian memperlengkap status kesarjanaan si objek foto, sang wisudawan. Padahal kita mafhum, latar foto itu hanya berupa gambar. Buku-buku yang ada di belakang wisudawan itu, jelas hanya gambar, hanya citra! Citra buku-buku itu seolah-olah punya “kuasa” untuk menggiring opini publik. Sangat jarang foto wisuda ditempatkan di ruang tidur, melainkan dipampang di ruang tamu. Foto itu menjadi simbol kesuksesan—orang tua yang berhasil menyekolahkan anaknya hingga jenjang pendidikan tinggi, dan anak muda yang berhasil memasuki kelas sosial baru. Tentu citra buku dilibatkan di dalamnya.

            Pendayagunaan citra buku dalam contoh-contoh di atas merupakan bagian dari proyek imagologi. Imagologi, istilah yang pertama kali dipakai Milan Kundera dalam novelnya Immortality, merupakan citra publik seseorang yang dibuat dan dikonstruksikan secara artifisial melampaui realitas diri sesungguhnya. Imagologi adalah pseudo-reality, hiperrealitas. Seorang imagolog, arsitek citra, menurut Taylor dan Saarinen (1994), ialah pembuat celah antara realitas dan citra. Ia membuat realitas jadi terbuka, sering kali tanpa penjelasan dan simpulan yang pasti. Namun lewat proses itulah seorang imagolog bisa mengotak-atik, mengubah-suaikan dan merilis citra hiperrealistik sebagai wacana publik. Seorang imagolog sangat lihai bermain-main dengan sisi enigmatik dari suatu realitas. Ia juga memegang kuasa tafsir untuk mengkonstruksi citra, memancing opini publik secara persuasif dengan menjadikan citra sebagai komoditas yang bisa dipertukarkan. Para kapitalis media, mungkin contoh yang tepat untuk itu.

            Tapi, apa Bejo juga seorang imagolog? Mungkin saja. Setidaknya Bejo telah bertindak sebagai imagolog bagi dirinya sendiri.

Modus Diferensiasi

Mungkin perlu juga dibicarakan modus, cara, strategi seseorang dalam membangun nilai diri dengan melibatkan citra buku. Modus yang diterpakan mengarah kepada diferensiasi suatu individu terhadap lingkungannya, tentu dalam arti positif. Diferensiasi merupakan proses membangun identitas—juga citra publik—berdasarkan perbedaan produk, gaya, dan gaya hidup (Piliang, 2005). Konsepnya mungkin sama dengan konsep distinction dari Pierre Bourdieu (1984). Pilihan estetis seseorang menentukan pembagian kelas atau kelompok sosial dalam masyarakat. Selera (taste) menjadi pembeda. Seseorang dari kelas sosial yang lebih tinggi, misalnya, akan lebih menyukai bentuk seni yang halus dan filosofis berbeda dengan kelas sosial di bawahnya yang lebih memilih bentuk seni yang apa adanya, kasar, namun menghibur.

Bejo membangun nilai personalnya dalam kerangka silogisme: a) semua orang pandai membaca buku, b) Bejo selalu membaca buku, c) maka Bejo adalah orang pandai. Bejo memanfaatkan betul premis-premis yang mungkin telanjur dimitoskan oleh masyarakatnya. Konstruksi nilai sosial suatu individu mendorong individu tersebut untuk masuk ke wilayah anggapan umum, common sense, dengan berbagai penyesuaian, sarana, atau apa pun, guna memperoleh citra sosial yang positif. Citra buku adalah sarananya.

Hal penting lain yang juga harus dilibatkan adalah brand atau merek—yang di sini dipakai secara analogis. Brand menentukan nilai komoditas dalam budaya konsumerisme. Relasi antara brand dan komoditas tidak bersifat esensial melainkan mitos. Brand bagi sebuah buku terletak pada aspek paratekstual, lebih khusus anasir-anasir yang ditempatkan pada bagian sampul, terutama judul, pengarang dan jenis buku. Dari judul, pengarang dan jenis buku saja, sering kali, pembaca bisa membangun tafsir awal bagi teks secara keseluruhan, kendati mereka belum pernah membacanya, tapi hanya berdasar informasi seperti ringkasan atau narasi-narasi umum tentang buku. Aspek brand pada dasarnya juga citra. Jadi, yang kemudian terjadi adalah pelipatgandaan citra buku.

Berkaitan dengan citra buku, nilai sosial individu mungkin dirumuskan seperti berikut.

nilai sosial individu = (brand x citra buku) + 1

Individu secara personal diwakili dengan angka 1 (mungkin ini terlalu semena-mena). Nilai brand harus bernilai lebih dari 1 serta tidak boleh 0 atau kurang (negatif). Bila hanya bernilai 1 artinya tidak akan ada perubahan pada citra buku. Implikasinya pergeseran nilai sosial individu juga tidak terlalu signifikan karena hanya berselisih 1. Bila bernilai 0, seorang individu akan menjadi konyol, seperti tidak pernah melakukan apa pun. Nilai negatif atau kurang dari 0, pasti seolah membuat individu jauh lebih rendah dari kenyataan dirinya. Bahkan sangsi sosial akan jatuh kepadanya. Misalnya, brand pornografi bagi masyarakat dengan kecenderungan moralis punya nilai negatif yang bisa mengundang sangsi sosial bagi individu penggunanya. Tapi buku-buku filsafat Barat yang selalu dibaca Bejo akhir-akhir ini, bagi orang-orang di lingkungan Bejo, punya nilai yang lebih dari 1. Itu terlihat jelas sekali.

            Dari sini, saya mulai mengerti alasan Bejo membawa buku-buku filsafat ke mana-mana. Untuk memperkuat dugaan, saya memerlukan berbagai informasi lainnya. Informasi yang saya terima dari kawan dekat Bejo menyebut bahwa Bejo sedang gandrung kepada Susi, mahasiswi baru di kampusnya. Kabarnya, salah satu kriteria pria ideal bagi Susi adalah pandai dan sangat gemar membaca, kutu buku. Jadi, segala tindakan Bejo yang melibatkan buku adalah ongkos sosial yang harus dibayarnya. Bejo harus selalu (terlihat) akrab dengan buku. Terlebih bila sedang ada Susi. Padahal, biasanya, Bejo lebih memilih bermain game-online atau mendengarkan musik ketimbang suntuk membaca buku.

Nah!

Abimardha Kurniawan
Latest posts by Abimardha Kurniawan (see all)

Comments

  1. d4mN Reply

    ahak ahak ahak

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!