Bekal

@avifahve

Judul di atas menunjuk kepada segala sesuatu yang dibutuhkan seorang musafir di tanah rantau, di sebuah tempat yang menjadi tumpuan persinggahan pada suatu hari nanti. Terutama berkaitan dengan kebutuhan-kebutuhan primer yang tidak boleh tidak mesti dipersiapkan dengan saksama.

Dalam konteks kefanaan hidup di dunia ini, juga dalam kaitannya dengan keabadian akhirat yang sudah menanti, seluruh manusia yang telah mendapatkan jatah hidup, termasuk kita semua, tak lain adalah para musafir. Sedang menempuh perjalanan yang sesungguhnya dari centang perenang hidup yang penuh dengan senda gurau dan permainan, juga berbagai hal yang keji dan jorok, menuju padang luas kehidupan yang merupakan manifestasi dari kedua sifat Allah Ta’ala, yaitu jalaliyyah dan jamaliyyah yang disandangNya, surga dan neraka.

Di dalam Qur’an ada salah satu ayat yang secara khusus berbicara tentang bagaimana orang-orang beriman mengambil bekal (surat al-Baqarah ayat 197) di tengah padang kehidupan yang serba sementara ini untuk keberlangsungan kehidupan mereka di alam akhirat yang tidak bertepi. Bekal yang dimaksud tentu bukan uang, pakaian, obat-obatan, dan lain sebagainya yang menunjuk pada segala yang dibutuhkan di dunia ini. Akan tetapi ketulusan dalam mematuhi perintah-perintah dan menjauhi berbagai laranganNya yang dalam terminologi khotbah Jumat dikenal dengan istilah takwa.

Secara filosofis, takwa itu bermakna kesanggupan untuk senantiasa membentengi diri dari segala tindakan destruktif yang dampak getirnya hanya akan menikam diri sendiri. Bukan terutama menjaga diri dari segala sesuatu yang berbahaya dari luar, tapi dari segala jurus nafsu yang kotor dan menjerumuskan dari dalam. Juga dari taring-taring setan yang, sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw., mengalir seperti aliran darah dalam tubuh manusia.

Ketika ketakwaan itu sudah terbentuk secara solid di dalam diri seseorang, maka dapat dipastikan bahwa dia akan senantiasa menjadi produsen kebaikan demi kebaikan, kemuliaan demi kemuliaan, keluhuran demi keluhuran yang semakin lama akan semakin lezat rasanya secara spiritual. Dan di saat yang bersamaan dia menjadi semakin tidak tersentuh sekaligus tidak tertarik pada berbagai variasi keburukan.

Dan karena berbagai macam kemuliaan yang merupakan bekal itu secara hakiki tak lain adalah perbuatan-perbuatan Allah Ta’ala itu sendiri, maka secara esensial orang yang bertakwa tersebut sesungguhnya berbekal hadiratNya, bukan apa atau siapa pun yang lain. Inilah yang sangat mengagumkan: yang partikular itu berbekal Yang Universal, yang nisbi berbekal Yang Absolut, yang juz’i “menggendong” Yang Kulli.

Bagaimana mungkin orang yang bertakwa kehabisan bekal? Tidak mungkin. Karena akhirat tidaklah lebih luas dibandingkan hadiratNya. Moga kita termasuk di antara mereka yang bertakwa. Amin. Wallahu a’lamu bish-shawab.

Kuswaidi Syafiie
Latest posts by Kuswaidi Syafiie (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!