Belajar Gila pada Fast and Furious 7

Fast and Furious 7 cars

Ke manalah gerangan kaum cerdik pandai sampai tak ada yang terketuk nuraninya untuk menuliskan hikmah di balik gebleknya antrean tiket Fast and Furious 7 (FF7). Dolanlah sesekali ke mall, Bung, jangan bertapa melulu, agar kau mengerti untuk apa kosmopolitanisme sampai diajarkan di bangku-bangku kuliah global issues.

Dom (Vin Diesel), Brian (Paul Walker), dan Roman (Tyrese Gibson); siapalah orang-orang biadab ini yang begitu sukses membuat kita rela antre di bawah panas atau hujan, bayar calo berkali lipat, lalu masuk ruang theater, untuk kemudian sibuk nyosmed di dalam kayak para penonton asosial yang sakit jiwa?

Sejak dirilis tahun 2001, secara ide, tak ada yang jegek di film FF, ya termasuk FF7 ini. Plotnya gitu aja. Twist-nya biasa aja. Hanya berkisah tentang sekelompok bromance, dengan berderet mobil mehong, lalu balapan, berbumbu kegilaan dan kekerasan yang edgy. Jelas ndak ada apa-apanya di hadapan kesetiaan Cinta menunggu Rangga atau kisah haru Srintil dan Rasus yang amat emosional mengkeret di kedalaman jiwa kita. Apalagi kisah Dek Safitri.

Baiklah, kata beliaunya, ndak baik menjelek-jelekkan melulu. Kita akui saja, “kekuatan” FF7 yang menonjol adalah karakter. Ya, karakter tokoh. Saya sampai kebelet mengatakan bahwa Dom, Brian, dan Roman hanyalah butiran debu yang tak tahu arah jalan pulang bila tidak digoreng oleh ciamiknya karakter FF. Sebaliknya, FF ndak bakal beda jauh sama Roda-roda Gila bila tidak dirusuhi “karakter manusia” para begundal macam Dom, Brian, dan Roman.

Anda bisa merasakan bagaimana rempeyeknya hati Dom kala menapaktilasi sosok Letty (Michelle Rodriguez). Orang yang paling disayangi tak lagi ada di sisimu dengan seasli-aslinya karena hilang ingatan. Bayangkan, Bung! Ini jelas perkasa menyedot emosi semua orang karena menyentuh fitrah paling purba setiap kita. Dan, Dom yang berotot, bad boy, jenius nian membawakan karakter sedih tanpa air mata itu. “Semua orang ingin mendapatkan petualangan, tetapi yang abadi adalah keluarga,” kata Dom.

Lalu FF7 “diuntungkan” lagi dengan kematian Paul Walker di akhir 2013 yang sejak FF1 sukses membawakan karakter jagat balap nan ugal-ugalan. Kepergian Walker menisbatkan hari pilu sedunia. Bukan bapak air mata sedunia. Dan lagi-lagi, ini berkah totalitas karakter Brian yang bad boy tapi tetap “manusia”.

Wajar kala diwartakan bahwa FF7 akan menjadi film terakhir Walker, seluruh dunia menunggunya dengan mata berkaca-kaca. Langit pun gerimis! Hati kita dirubung pilu dan bahagia; pilu karena ini akan menjadi momen terakhir melihat Walker hidup dan bahagia karena masih ada kesempatan untuk melihat mata tajamnya yang bengal.

Di luar itu, tentu saja tak boleh dinafikan peran teknis super ciamik yang dipikul sutradara James Wan yang menjadikan kamera bukan sekadar alat rekam gambar ala episteme jadul, tapi ikut jumpalitan untuk menghadirkan atmosfer gila nan mewah kala mobil-mobil beterbangan dari perut pesawat atau berlompatan dari satu tower ke tower lainnya. Begitu juga kiprah sinematografer Stephen F. Windon dan Marc Spicer yang natural banget “menghidupkan kembali” Walker dengan teknik montage CGI (Computer Generated Images) Weta Digital. Matanya pakai mata saudara kandung Walker (Caleb dan Cody) untuk mendapat karakter sorot yang Brian banget, dan pieces lainnya pakai punya aktor John Brotherton yang mirip banget sama Walker.

Gila banget, dah!

Bahwa ide ceritanya biasa saja, untuk tidak dikatakan wagu karena Dom kok selo bener untuk begitu sibuk mencari “Mata Tuhan” yang entah untuk apa, plus nggak mati-mati sedemikian superhero-nya, sudahlah maafkan saja. Kalau kita terus mengulik kekurangan orang, manalah sanggup kita meraih hikmah. Tanyalah sama situs-situs kompor itu.

Karenanya, mari ambil hikmah FF7 dengan ngutil konsep kegilaan Michel Foucault. Dalam buku Madness and Civilization, Foucault yang homoseks itu berpesan: “Peradaban dibangun dengan kegilaan.”

Lho lho lho, piye to, Dek Safitri, kok kudu gila dulu untuk beradab? Berarti hanya orang gila yang beradab, gitu?

Begini, Bung.

Kita tahu, segala jenis rezim itu menindas. Rezim buku, rezim kecantikan, apalagi rezim politik. Celakanya, ya memang rezim-rezim inilah pemangku peradaban-peradaban.

Lihat, deh, rezim episteme yang mengatakan bahwa buku atau media yang baik ialah yang menggunakan tutur kata yang etik. Meski dusta. Yang misuh, satire, sarkas, sontak dinista bejat. Ini rezim peradabannya. Apakah benar tutur kata lembut selalu memuat pesan etik pula? Debatable. Wong kata Kant yang namanya etika itu, ya, sekalipun universal, ya, tetaplah lokal. Bahkan personal. Apa yang saya tulis hajingan, kan ya belum tentu dihuni koruptor, tapi justru bisa sangat asyik. Iya, to?

Lalu perhatikan betapa dalam setiap pentas peradaban, pastilah muncul gerakan penyimpangan atau patahan terhadap rezim peradaban. Foucault menyebutnya “diskontinuitas”. Angkringan, misal, mendiskontinuitas rezim restoran. Menyendiri, misal, mendiskontinuitas rezim berpasangan. Dan seterusnya.

FF pun begitu. Di tahun 2001, tidak ada film balapan dan begundal yang dikemas dengan gaya bromance yang kasar tapi manusia. Ia mematahkan rezim episteme film masa itu. Dan untuk menggagas diskontinuitas, jelas diperlukan kecerdasan, keberanian, dan ketangguhan. Tegasnya, kegilaan!

Maka, orang kreatif ya haruslah “orang gila”. Menjadi orang gila ya memang akan mendapat tentangan dan alienasi (haduh, diksi Marxis ini) dari rezim. Tapi jika ia cerdas, gigih, berani, dan solid gilanya, niscaya ia akan menyempal, menonjol, lalu menjelma peradaban baru.

FF telah mengajarkan cara gila itu. FF7 menjadi puncak peradaban Universal Picture, yang dalam pekan perdana berhasil meraup Rp. 4,9 triliun. Kegilaan yang mereka rintis sejak 2001 sukses dipertajam, digilakan lagi, sehingga murah hati mempersembahkan peradaban dolar.

Maka, pesan moral dari FF7 di sini ialah jadilah gila dulu, maka kau akan sukses. Dengan gila, kau akan mendapat pasangan. Berkat gila, kau akan dikenal. Dan karena gila, kau akan beradab!

So, bila kini Anda misal merasa sulit mendapat pasangan, itu tanda Anda kurang gila! Menjadi gila adalah solusi paling jitu untuk mendapat pasangan.

Tetapi, maaf, bila Anda berencana menggila setelah membaca celoteh ini, saya telah mendahului. Sebab, saya menuliskan hikmah ini justru sebelum nonton film FF7!

Maaf, ya, Dek Safitri, kali ini saya bohong. Dikit. Iya, Dek, saya mah memang begitu orangnya.

Sumber gambar: hdwallpapersonly.com

Edi AH Iyubenu

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!