Belajar Menjadi Penyair dari T.S. Eliot

T.S. Eliot dalam bukunya The Use of Poetry and the Use of Criticism memperlihatkan sebuah ketegasan atas karya-karya yang telah dia hasilkan. Penggambaran atas bagaimana puisi hadir dan diterima sebagai bentuk ruang atas pikiran dan perasaan.

Baginya, seorang penyair mesti melakukan penyerahan diri secara terus-menerus untuk sesuatu yang lebih berharga. Kemajuan seorang seniman ada pada pengorbanan diri yang tiada henti. Bahkan pada titik tertentu, Eliot menjelaskan bahwa penyair harus “mendistorsi” bahasa demi menghasilkan makna, bahkan jika alam ini saling terbentuk melalui pola koherensi, maka sebagian besar tugas penyair ada pada penggunaan bahasa yang lebih tepat dalam memberikan definisi alternatif tentang realitas.

Di awal abad kedua puluh, karya-karya T.S. Eliot bagi sebagian pembaca dilekatkan dengan modernism dalam puisi. Bersama dua penulis lainnya, yaitu Ezra Pound, T.E. Hulme, mereka menjadi penulis penting dalam melahirkan beberapa karya yang dikaitkan dengan puisi modern.

Pada Eliot, kita bisa melihat karya-karyanya seperti “The Love Song of J.Alfred Prufrock (1915)”, “The Waste Land (1922)”, dan “Four Quartets (1943)”. Puncaknya ada pada “The Waste Land”, karya yang berisikan 434 baris menandai tahun 1922 sebagai pencapaian tertinggi atas puisi modern.

Pada proses untuk melihat keberadaan puisi-puisi modern, kritikus Amerika, Harold Bloom menghadirkan ungkapan ‘the anxiety of influence.’ Baginya proses kreatif puisi menghadirkan pengaruh yang timbul dari kecemasan atas karya pendahulunya, dorongan tersebut membuat penyair mencoba melakukan upaya untuk melepaskan diri dengan membuat langkah mencari kebebasan. sejarah puisi Barat sejak Renaisans adalah sejarah ‘karikatur kecemasan dan penyelamatan diri, distorsi, revisionisme yang sesat dan disengaja, yang tanpanya puisi modern tidak akan pernah ada’

Baik Eliot, Pound dan Hulme mengakui hal tersebut dalam sejumlah tanggapan atas karya yang mereka hasilkan. Pernyataan paling terang dapat kita baca dalam buku kumpulan esai T.S. Eliot yang berjudul The Sacred Wood (1920), di salah satu esai yang berjudul “Tradition and the Individual Talent”, melalui esainya Eliot menjelaskan bahwa: “Kita akan sering menemukan bukan hanya yang terbaik, melainkan bagian paling individual dari karya (seorang penyair) yang mungkin adalah bagian di mana yang telah tiada, para pendahulunya, menegaskan keabadian mereka dengan penuh semangat. Dan yang saya maksud bukanlah masa remaja yang mudah dipengaruhi, akan tetapi masa kedewasaan yang penuh.”

Lalu bagaimana untuk mengenal atau memasuki puisi modern yang digagas pada masa itu? Salah satu jejak penting dapat kita temukan dalam sebuah tulisan T.E. Hulme yang berjudul “A Lecture on Modern Poetry” di tahun 1908. Hulme menjelaskan bahwa periode aktivitas puitis yang intens tidak disebabkan oleh perubahan sosial atau politik, tetapi oleh penemuan bentuk syair baru yang dapat mengekspresikan zaman.

“Free verse” menurut Hulme, sangat cocok untuk ekspresi kehidupan modern dan sensibilitas modern. Hulme juga membedakan antara ‘puisi lama’, yang ditulis dalam bentuk epik atau balada yang teratur secara metrik dan berkaitan dengan aksi heroik, dan puisi modern yang ‘secara pasti dan akhirnya menjadi introspeksi dan berurusan dengan ekspresi serta komunikasi dalam fase tertentu yang ada di pikiran penyair.’

Di akhir tulisannya, Hulme menegaskan puisi modern sebagai bentuk sajak bebas yang penuh dengan poetic image. Puisi modern akan memperlihatkan sejumlah gambaran puitis (poetic image) yang disusun sedemikian rupa guna menyampaikan intensitas pengalaman penyair kepada pembaca secepat mungkin. Menurut Hulme, puisi adalah ‘bahasa langsung’ karena ‘menangkap pikiran kita sepanjang waktu dengan gambaran yang ada.’

Konsep inilah yang kemudian berkembang, hingga melahirkan berbagai eksperimen dalam ritme yang dikaitkan dengan sajak bebas. Semangat yang diusung pada masa itu memperlihatkan perlawanan atas kebebasan menyampaikan pesan secara lebih ekspresif dan tidak terbebani dengan tuntutan moral atau nilai-nilai kepahlawanan yang tampak pada puisi lama.

Pada akhirnya, catatan perjalanan T.S. Eliot dan sejumlah rekannya dalam memahami dan mengembangkan puisi di masanya akan tetap menjadi bagian penting bagi penyair masa kini. Setiap masa tentu berpeluang menawarkan hal-hal baru dan menggembirakan, namun dari para pendahulu, seperti halnya yang disampaikan Eliot pada banyak kesempatan, akan menjadi ruang belajar yang sangat baik bagi seorang penyair. Sampai seorang penyair mampu memberikan rekam atas kondisi zamannya melalui daya ungkap yang khas.

Akan tetapi, perlu dipahami jika tidak semua dari orang-orang yang mengaku penyair atau mereka yang ingin menjadi penyair, menemukan dirinya yang khas atau karyanya yang penuh ekspresi sebagai respons atas zamannya. Menjadi penyair barangkali tampak seperti sebuah pertarungan yang kemungkinan berpeluang menyediakan kekalahan dibandingkan dengan kemenangan itu sendiri. Namun, bukankah hidup seperti itu yang menyenangkan?

Wawan Kurniawan
Latest posts by Wawan Kurniawan (see all)

Comments

  1. rani Reply

    T.S Elliot, aku akan cari tau karya-karya setelah ini. Sebab aku setuju dengan pemikirannya kalau tulisan adalah gambaran dari perasaan. Jujur, aku bukan pencinta puisi, tapi untuk kondisi saat ini cara cerdas mengungkapkan keresahan memang harus menggunakan sajak dan gaya bahasa… nice

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!