Dunia wadag ini merupakan himpunan dari sekian bentuk. Juga terjejali oleh sekian rupa dan warna. Jibunan atom dan partikel membentuk bongkahan-bongkahan benda. Bongkahan-bongkahan realitas. Sekian banyaknya dan menjelma alam semesta. Dengan susunan-susunan yang tertata rapi. Menjelma dekorasi-dekorasi raksasa dengan segenap keindahan dan centang-perenangnya. Mengagumkan sekaligus tak sepenuhnya bisa dipahami.
Semula segala bentuk, rupa, dan warna itu merupakan himpunan realitas yang alami. Dicetak oleh Tuhan semesta alam melalui sejumlah proses. Kun fayakun yang digunakan hadiratNya di sini tidak sekilat membalik telapak tangan. Tidak seperti tongkat Nabi Musa yang seketika berubah menjadi ular. Tapi menggeliat perlahan-lahan menuju jenjang-jenjang kesempurnaan untuk kemudian berangsur-angsur mengalami pemudaran, lalu menjadi berkurang dan pada akhirnya kalis.
Ada banyak entitas makhluk yang sampai saat ini tidak memiliki atribut dengan ditempeli nama atau sebutan. Terutama dari kalangan dunia tumbuhan atau pepohonan. Maklum, di samping entitas makhluk itu sangat berjibun, juga manusia yang bertugas memberikan nama pada seabrek entitas itu tidak sepenuhnya merasa urgen untuk tekun mengurusi perkara penamaan demi penamaan tersebut.
Dengan pengetahuan dan kecanggihan yang dimiliki manusia, banyak di antara benda-benda alami itu yang dijadikan bahan untuk memproduksi “makhluk-makhluk” yang baru dengan kegunaan dan fungsi yang bermacam-macam untuk kemajuan kehidupan secara lahiriah. Apalagi di zaman informasi dan teknologi yang sangat canggih seperti sekarang ini, “makhluk-makhluk” baru senantiasa diproduksi di berbagai bidang: di bidang otomotif, di bidang sandang dan pangan, di bidang sarana informasi, dan lain sebagainya.
Kebanyakan manusia jatuh cinta kepada berbagai bentuk “makhluk” itu. Baik yang masih alami maupun yang sudah merupakan hasil produksi oleh keterampilan dan kecanggihan umat manusia. Dapat dikatakan bahwa berbagai bentuk “makhluk” itu sukses menggoda selera manusia. Makin banyak “makhluk” yang diproduksi, makin banyak pula gambar-gambar kefanaan yang berjejal-jejal di dalam hati mereka.
Kegandrungan kepada makhluk-makhluk yang fana itu merupakan hal yang sangat korelatif dan rasional. Itulah kegandrungan yang muncul dari dimensi jasadi manusia yang sangat temporal. Yang fana jatuh cinta kepada yang fana pula. Itu yang disebut sebagai munasabah. Yakni, adanya kesinambungan “ontologis” antara subjek dengan objek. Itulah pula yang, dalam cakupannya yang luas, bisa juga disebut sebagai narsisme yang sangat murahan.
Sepanjang manusia semata berpihak kepada dimensi fisikalnya belaka, selama itu pula mereka sebenarnya terkungkung dan terpenjara di dalam kubangan kefanaan yang sangat muspra dan kelam. Tak ada aura spiritual dan cahaya transendental sama sekali di situ. Tak ada juga getar-getar keilahian yang cemerlang. Yang ada dan bahkan bertahta hanyalah himpitan dosa-dosa yang bacin dan berbagai hasrat yang pongah.
Itulah sebabnya kenapa dimensi fisikal itu mesti kita lampaui. Agar kita tidak semata tergugah dan tercengkeram oleh keinginan terhadap berbagai macam bentuk, rupa dan warna yang wadag. Di sini kita bisa memahami kenapa Nabi Muhammad Saw. yang merupakan tauladan teragung sepanjang sejarah kehidupan manusia pada suatu hari di dalam kehidupannya pernah berdoa: “Ya Allah, tolong perlihatkan kepada kami hakikat segala sesuatu.” Yakni, dimensi substansial yang jauh melampaui segala bentuk, warna, dan rupa lahiriah belaka. Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Syaikh Abu ‘Abdillah ar-Rudzbari - 20 September 2024
- Syaikh Abu ‘Abdillah at-Turughbadzi - 13 September 2024
- Mayyirah an-Nisaburi - 6 September 2024
RPCNILDO
Petani
Subuh menjelang
Langit mulai terang
Burung-burung mulai berterbangan
Dingin udara,cerahnya pemandangan
Ladang –ladang masih basah
Engkau petani profesi hakiki
Sudah menghidupi mulut mulut di negeri ini
Tapi hari ini lahanmu dibangun gedung-gedung tinggi
Pabrik-pabrik kokoh berdiri
Limbahnya membanjiri
Bangunan bergengsi tanda modernisasi kian memadati
Moderinisasi hanya untuk si kapitalisasi
Bukan untuk petani
Kalau bukan petani siapa lagi?
Yang akan memberi makan mulut-mulut kita ini?
Orang luar negeri?
Dengan makan-makanan ala spageti
Minuman kaleng dari luar negeri
Mulai gengsi makan makanan asal negeri sendiri
Makan daun ubi kau bilang sapi
Singkong rebus kau bilang tak bergizi
Sambal terasi kau bilang basi
Begitulah kebiasaan sehari-hari
Hingga suatu hari nanti kita lupa betapa mulianya profesi para tani