Berbisik ke Bumi Terdengar ke Langit

pixabay.com

Ideologi Ibu dan Baju yang Koyak (Irawan Sandhya Wiraatmaja) dalam Perspektif Tajali Ibnu Arabi*

 

bila aku berlayar lalu datang angin sakal

Tuhan yang ibu tunjukkan telah kukenal

Ibulah itu bidadari yang berselendang bianglala

sesekali datang padaku

menyuruhku menulis langit biru

dengan sajakku.

 

                                                                                                              -Ibu, D. Zawawi Imron

 

  1. Mukadimah

Apa fungsi antologi puisi—bersama atau tunggal—bagi masyarakat puisi? Bagi Sutardji Calzoum Bachri, setidak-tidaknya ia bisa menunjukkan tiga hal pada kita, yakni (1) capaian estetik dan tematik, (2) peralihan pengucapan, dan (3) kecenderungan kesusastraan secara umum serta tema-tema yang sedang diminati penyair pada periode-periode tertentu.[1] Demikian juga dengan buku puisi tunggal Ideologi Ibu dan Baju yang Koyak (IIBK) karya Irawan Sandhya Wiraatmaja (Irawan) ini.

Benar kata Kurniawan Junaedhie, bagi pembaca usia muda, nama Irawan akan terdengar sebagai nama baru dalam perpuisian Indonesia. Namun bagi pembaca sastra tahun 1970-an, Irawan bukanlah nama yang asing.[2] Kapan puisi Irawan pertama kali dimuat media? Tahun 1976 di Merdeka Minggu.[3] Selanjutnya di Horison dengan judul “Sajak Seekor Semut” sebagaimana catatan Ernst Ulrich Krazt dalam Bibliografi Karya Sastra Indonesia dalam Majalah: Drama, Prosa, Puisi. Catatan yang dilakukan Krazt menegaskan, bahwa kiprah Irawan dalam kepenyairan kita seangkatan dengan Korrie Layun Rampan, Fakhrunnas MA Jabbar, kakak-beradik M Massardi, Gus tf, Kurniawan Junaedhie, Mira Sato (Seno Gumira Ajidarma), Sutan Iwan Soekri Munaf, Heryus Saputro, dan deretan nama lain generasi 1980-an. [4]

Selepas itu, sejumlah puisi Irawan tersebar di majalah Zaman, Basis, Pandji Masjarakat, dan sejumlah koran ibu kota, seperti Kompas, Republika, Koran Tempo, Media Indonesia, dan beberapa surat kabar yang sudah almarhum. Dia menulis puisi sejak duduk di bangku SMA. Pamusuk Eneste (1990, 2001), Korrie Layun Rampan (2000), dan Ahmadun Y. Herfanda, dkk (2003) memasukkan namanya dalam leksikon sastra mereka. Bahkan, Korrie Layun Rampan, meski tidak jelas argumentasi yang mendasarinya, memasukkan namanya sebagai sastrawan Angkatan 2000.[5] Nama Irawan juga tercatat dalam Apa & Siapa Penyair Indonesia (YHP, 2017).

  1. Pertengkaran Kecil

Penulis mengenal nama Irawan Sandhya Wiraatmaja tahun 2017 saat menjadi sekretaris juri Sayembara Buku Puisi HPI 2017. Sempat kaget, ketika Giang karyanya yang diputuskan sebagai pemenang buku puisi terbaik. Selepas rapat dewan juri, kami mulai menghubungi para pemenang—termasuk lima buku pilihan—sekadar mengundang (tanpa memberi keputusan juri) agar hadir ke malam puncak acara anugerah HPI 2017. Saat itu, Penulis sempat “bertengkar” dengan Ariyani Isnamurti yang telah “salah menghubungi” orang. Orang yang ditelepon Ariyani bukanlah Irawan Sandhya Wiraatmaja, melainkan Mustari Irawan.

Penulis benar-benar penasaran dengan nama Irawan Sandhya Wiraatmaja dan Giang. Pada malam itu juga, pulang membawa Giang dan membacanya sampai tuntas. Akhirnya Penulis mengerti tiga hal, yaitu (1) kenapa Giang yang menang; (2) ternyata Irawan Sandhya Wiraatmaja dan Mustari Irawan adalah orang yang sama; dan (3) Penulis juga semakin yakin bahwa “proses kreatif kepenyairan tidak pernah berdusta pada puisi yang dihasilkan”. Semua capaian Irawan—sebagaimana yang diamini Remy Novaris DM dalam pengantar buku IIBK—menunjukkan konsistensi kerja kreatifnya selama ini, dan tidak ada alasan untuk menunda, apa pun kesibukannya.[6]

Konsistensi Irawan semakin jelas dengan terbitnya buku Ideologi Ibu dan Baju yang Koyak (2018). Buku puisi tunggal keempatnya yang berisi 100 puisi dan disusun menjadi empat bagian, yakni (I) Ideologi yang Menumbuh; (II) Perjalanan yang Menempuh; (III) Tubuh yang Mengoyak, dan (IV) Kerinduan yang Menguak. Dilihat dari titimangsanya, puisi-puisi dalam buku ini ditulis antara tahun 2017 dan 2018. Menurut Remy, puisi-puisi Irawan kali ini mengalami pergeseran secara konsep penulisan, dan gagasan yang diusung. Namun meski demikian, karakteristik puisi-puisi Irawan dengan “metafora yang kental”, “kesederhanaan ungkapan”, serta “padatnya jalinan napas antarpuisi” tetaplah sama.[7] Benarkah demikian?

  1. Ada Apa dengan Ibu?

Dalam sejarah perpuisian Indonesia, bisa dipastikan hampir semua penyair pernah menulis puisi tentang atau untuk ibunya. Ada apa dengan ibu? Ketika seorang anak menangis, yang dicari pertama kali adalah ibunya. Menurut Anna Freud, seorang anak tidak percaya pada siapa pun di dunia ini, kecuali ibunya. Jawaban Anna berdasar pada konsep Freud—ayahnya—t ntang “insting seksual” (eros) seorang anak pada ibunya. Kata “seksual” di sini adalah rasa nyaman dan aman, sebagai bentuk lain dari kecintaan. Di samping Freud, Anna juga mengacu pada Alfred Adler dengan konsep “insting mati” (thanatos)—yang belakangan juga diakui oleh Freud—bahwa seorang anak punya rasa ketergantungan yang kuat pada ibunya. Tanpa ibunya, seorang anak selalu merasa terancam dan ketakutan, seakan berada di ambang kematian.[8]

Ibu merupakan sosok yang paling dekat dengan kita sejak awal. Selain alasan “mulailah menulis puisi tentang yang paling dekat dengan kita” kata Sapardi Djoko Damono, menulis puisi—untuk dan tentang—ibu merupakan bentuk penghormatan sekaligus ekspresi kecintaan dan kerinduan padanya.

  1. Penyair Menulis Ibu

Siapa saja penyair Indonesia yang pernah menulis puisi tentang atau untuk ibunya? Sekadar contoh, misalnya Chairil Anwar melalui “Puisi Ibu”, memandang ibunya sebagai sosok yang kuat dan tidak berkeluh kesah dalam merawat dirinya. Wiji Thukul melalui “Sajak Ibu”, melihat ibu sebagai orang yang “sanggup mengubah sayur murah menjadi sedap”. Rendra melalui “Jangan Takut, Ibu”, menyebut ibunya sebagai tangan yang dicium serta “rahim dan susumu adalah persemaian harapan”. Taufiq Ismail melalui  “Dari Ibu Seorang Demonstran” memandang ibu sebagai doa, restu dan pemberi semangat dalam melawan tirani dan memperjuangkan keadilan.

Lain lagi dengan Gus Mus melalui “Ibu”, baginya ibu adalah “gua teduh” dan segalanya di dunia; kawah, gunung, mata air, telaga, bulan, matahari, laut dan langit. Emha Ainun Nadjib melalui “Bunda Air Mata” lebih melihat ibu dan Tuhan sebagai dua kutub penting yang saling berkaitan. Sementara itu, D. Zawawi Imron melalui “Ibu” menyebut ibunya sebagai “pahlawan” yakni “bidadari yang berselendang bianglala” dan “jika ada utang di dunia ini yang tidak akan pernah sanggup dibayar, adalah utang anak kepada ibunya”.[9]

Lantas bagaimana dengan Irawan melalui Ideologi Ibu dan Baju yang Koyak? Melalui kacamata tajali Ibnu Arabi[10].

 

  1. Ibnu Arabi dan Perempuan itu

 

Sebagian orang menyebut Ibnu Arabi sebagai As-Syekh al-Akbar (Guru Teragung), atau al-Muhyiddin (Penghidup Agama). Gelar tersebut diberikan atas sumbangsih besarnya pada dunia melalui ratusan kitabnya yang penting. Bahkan James Morris pernah menulis: “Sejarah pemikiran Islam setelah Ibnu Arabi (setidaknya hingga abad ke-18 dan saat persingguhan Islam dengan Barat modern) hanyalah serangkaian catatan kaki atas karyanya.”[11] Kitab-kitab karya Ibnu Arabi banyak mendapat respons luar biasa pada zaman dan setelahnya.

Ibnu Arabi (Muhammad bin Ali Ahmad bin Abdullah al-Tha’i al Hatimi) lahir di Murcia, Andalusia, Spanyol, 28 Juli 1240, dan wafat di Damaskus, Siria tahun 1240 M. Di puncak gunung Qasiyun, dia dikuburkan, dan ramai dikunjungi peziarah sampai hari ini. Setelah berusia 30 tahun, ia mulai mengembara ke berbagai wilayah Andalusia, dan wilayah Islam bagian Barat.[12]

Ajaran Ibnu Arabi yang paling fenomenal adalah wahdatul wujud[13] atau manunggaling kawula gusti dalam istilah Siti Jenar. Salah satu rangkaian pemikirannya terkait hal itu adalah konsepnya tentang “perempuan ilahiah”. Dia konsisten membahas perempuan dalam sejumlah kitabnya, seperti dalam Futûhat al-Makkiyah (Pencerahan-pencerahan Mekkah), Fusus al-Hikam (Mutiara Hikmah), dan lainnya. Bahkan, Ibnu Arabi menulis kitab khusus tentang perempuan berjudul Tarjuman al-Asywaq (Tafsir Kerinduan). Sebuah kitab yang berisi puisi-puisi cinta dan kerinduan terhadap para perempuan yang namanya disebutkan secara tersurat. Salah nama yang dia tulis adalah Sayyida Nizham.[14]

Berikut salah satu puisi untuknya yang diterjemahkan secara bebas:

Alangkah panjang rinduku

Kepada perempuan kecil penggubah prosa,

pembaca puisi, mimbar, dan bayan.

 

Dialah putri keturunan raja-raja Persia

Negeri megah dari Ashbihan

Putri Irak, putri guruku

Sementara aku

hanya pria biasa keturunan orang Yaman

 

Andai kalian lihat

kami saling menyuguhkan cawan cinta

Meski tanpa jemari

 

dan tahukah kalian, Tuan

Dua tubuh yang berbeda mampu bersatu

Cinta kamilah yang menuntun untuk bicara

Dengan manis dan indah, walau tanpa kata-kata

 

Niscaya kalian sadar meski tidak percaya

bahwa orang Yaman dan Irak ternyata bisa berpelukan[15]

Terbitnya buku Tarjuman al-Asywaq menuai badai kontraversi. Sejumlah pertanyaan muncul: Apakah Ibnu Arabi telah menjadi playboy, kafir, dan gila? Pengagum dan penolaknya beradu argumentasi tanpa henti. Tidak main-main, ratusan buku lahir sebagai respons, baik tafsir, kritik, atau pun caci maki. Begitu besar badai kontraversi, sampai Ibnu Arabi sendiri pun menulis buku baru Al Dzakhair wa al A’laq sebagai syarh (penjelasan) atau pembelaan atas bukunya tersebut. Namun Reynold A. Nicholson dalam The Tarjuman al Asywaq, A Collection of Mystical Odes, menyayangkan langkah Ibnu Arabi yang telah terpancing para pengkritiknya dengan melakukan pembelaan melalui bukunya tersebut. Padahal di “Hikmah Fardiyah fî Kalimat Muhammadiyah” dalam Fushus al-Hikam dia sendiri sudah menulis: “Fasyuhûduhu li al-haqqi fi al-mar-ati atammu wa akmalu”[16] (menjumpai Tuhan dalam diri seorang perempuan itu cara yang paling sempurna”.

  1. Perempuan Tajali

Kita lupakan soal itu, saat ini yang penting kita tanyakan adalah Ada apa dengan perempuan? Apa hubungan perempuan dengan Tuhan? Dalam konsep wahdatul wujud Ibnu Arabi, wujud Tuhan terbagi menjadi dua, yakni wujud sejati (al-Haqq), dan wujud manifestasi (tajalliat).[17] Meski demikian, wujud Tuhan tetaplah tunggal, sebab wujud manifestasi hakikatnya bersumber dari pancaran wujud sejati. Wujud sejati adalah Tuhan itu sendiri, sedangkan wujud manifestasi adalah wujud-Nya berupa alam raya.[18]

Ibnu Arabi menjelaskan konsep tajali tersebut menggunakan teori cermin. Wujud sejati adalah asli dan tunggal, wujud manifestasi adalah cermin yang menampung gambar-Nya. Sebagaimana kita berkaca, maka yang tampak di cermin hanyalah gambar semata. Wajah kita yang asli bukanlah gambar di cermin tersebut. Dengan demikian, alam raya hanyalah cermin bagi Tuhan. Salah satu dalil yang digunakan Ibnu Arabi adalah al-Baqarah ayat 115: “Dan kepunyaan Allahlah Timur dan Barat, maka ke manapun kamu menghadap, di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Mahaluas lagi Mahamengetahui”.

Ibnu Arabi menegaskan bahwa wujud manifestasi Tuhan di alam raya yang paling sempurna ada pada manusia, bukan pada gunung, hutan, lautan, dan lainnya. Lebih khusus lagi, Ibnu Arabi membaginya menjadi sepasang mata, mata kanan adalah Muhammad Rasulullah yang disebut insanul kamil, dan mata kirinya adalah perempuan. Kenapa perempuan? Karena perempuanlah yang paling “mewakili” keindahan (jamaliyah) dan sifat-Nya yang rahman dan rahim. Maka, pada diri Muhammad dan perempuanlah kita bisa menyaksikan “gambar Tuhan” secara sempurna.

  1. Ibu, Perempuan Utama

Bila “perempuan sebagai salah satu wujud manifestasi Tuhan yang paling sempurna”, maka ibulah yang menempati urutan pertama dan utama. Itulah kenapa Ibnu Arabi pada bagian akhir Fushus al-Hikam, “Fash Nabi Muhammad Saw.”, membahas perihal perempuan di sisi Muhammad, yaitu istri dan ibunya. Selain itu,  dalam sejumlah riwayat yang sahih, Muhammad sangat menghormati perempuan dan begitu menyayangi ibunya. Dia menangis terisak-isak setiap kali mengunjungi makam sang ibu karena kasih dan rindunya.[19]

Bagi Ibnu Arabi, siapa yang menghormati atau mencintai perempuan—apalagi ibu—berarti dia mencintai Tuhan. Itu artinya, perempuan bisa menjadi jalan untuk mendekat kepada Tuhan. Pada konteks inilah kita akan baca puisi-puisi Irawan dalam buku ini sebagai “tarekat kreatif”-nya mendekati Tuhan melalui sang ibu. Namun yang perlu dan penting digarisbawahi, ibu di sini bukanlah alat, tetapi tujuan itu sendiri. Tujuan yang juga menujukkan pada tujuan yang lain, yakni Tuhan. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan David Trueblood bahwa seniman—termasuk penyair—selalu melihat sesuatu bukan sebagai alat, melainkan tujuan.[20]

 

  1. Irawan, Ibu, dan Tuhan

 

Dalam buku ini, Irawan menggunakan tiga jenis kata ganti, seperti “aku”, “mu”, dan “nya”. Ada yang unik pada kata ganti yang dipakai Irawan dalam puisinya, kadang dia memakai “mu”, kadang “-mu”, dan “-Mu”. Barangkali Irawan sengaja memakai kata ganti “mu” secara berbeda untuk menunjukkan yang berbeda pula. Bila kita cermati, “mu” dipakai untuk ‘sesuatu’ yang bukan ibu dan Tuhan. Sementara itu, “-mu” dipakai khusus untuk ibu, dan “-Mu” khusus untuk Tuhan. Melalui cara penulisan tersebut, serta tanda pisah (-) sebelum kata ganti ibu dan Tuhan, Irawan seakan ingin menunjukkan pada kita bahwa ada ‘kesamaan’ dan ‘hubungan’ antara ibu dan Tuhan.

Membaca puisi-puisi Irawan yang menyuguhkan aroma berbeda pada tiap bagiannya, penulis sempat berpikir perihal ibu yang dimaksud Irawan. Apakah ibu dalam konteks buku ini adalah ibu biologis (kandung), ibu ideologis (guru, tokoh idola), ibu sosial (ibu angkat, ibu mertua), ibu geografis (ibu kota), ibu romantis (ibunya anak-anak), atau ibu kenangan (calon ibunya anak-anak yang gagal, alias mantan). Sudahlah, mari kita berpikir positif, bahwa ibu dalam puisi-puisi Irawan adalah ibu biologis, dan itu lebih aman kiranya.

 

  1. Cermin yang Melihat dan Mengikuti

 

Seperti yang telah disinggung sebelumnya bahwa Ibnu Arabi menjelaskan pancaran wujud sejati pada wujud manifestasi menggunakan teori cermin. Dalam buku ini, penulis menemukan sekitar 10 kata “cermin” yang dipakai Irawan dalam puisi yang berbeda, misalnya pada larik puisi:

  1. Dengan wajah pias memantul di depan cermin (“Georgia, Kau Cium Aku”);[21]
  2. Masih adakah gambar yang menjadi cermin bagi air mata yang menetes (“Sebuah Kartu Pos di Toko Souvenir Milan”);[22]
  3. Kesunyian kemudian menggeliat dan berkaca di cermin yang berkabut (“Penyair yang Kehilangan”);[23]
  4. Dan kopi hitam yang berat, sebuah cermin melihat (“Di Atas Meja Makan”);[24]
  5. Berpasang penyair itu mencapai puncak napas di depan cermin (“Penyair yang Menulis”);[25]
  6. Ia yang menghapus bayang-bayang dari sebuah cermin (“Ia yang Menghapus Bayang-Bayang”)[26];
  7. Kau duduk berhadapan di dalam cermin: antara diam dan masa silam (“Ada Suara di Ketinggian Langit”);[27]
  8. Tak berbagi jarak, cermin yang mengabur (Sebuah Rumah yang Dilupakan);[28]
  9. Aku tak bisa tidur lagi. Sebuah cermin selalu mengikut tubuh (“Insomnia pada Suatu Malam”);[29]
  10. Bayang yang sembunyi di dalam cermin, berkabut dan kusut (“Huruf yang Menjadi Isyarat”);[30]

 

Dari 10 puisi puisi di atas, ada dua puisi yang paling menarik maknanya terkait cermin. Dua cermin yang menjadi subjek dalam puisi Irawan. Pertama, di atas meja makan, sepotong roti yang pucat/ dan kopi hitam yang berat, sebuah cermin melihat/ orang berbondong-bondong mengalir mencari tubuhnya/ yang kehilangan air mata dan isak tangis, tak henti-hentinya.  (“Di Atas Meja Makan”). Bait ini mengabarkan pada kita peristiwa-peristiwa kecil di atas meja makan yang besar maknanya bagi si aku lirik. Kita bisa membayangkan bagaimana perasaan si aku lirik saat akan menyantap hidangan di meja makan, tiba-tiba teringat pada orang-orang lapar di luar sana. Orang-orang yang berjuang, bahkan melakukan apa saja demi sesuap nasi. Barangkali si aku lirik juga teringat ibu atau dirinya sendiri di masa silam yang sempat mengalami peristiwa yang sama. Ingatan tersebut tentu saja akan membawa si aku lirik pada satu kesadaran: mendoakan mereka, atau bersyukur atas hidupnya sekarang.

Kedua, aku tak bisa tidur lagi. Sebuah cermin selalu mengikut tubuh/ berputar-putar di atas ranjang. Memberikan gambar yang buram/ di atas langit-langit, di antara lampu dan cahayanya/ remang-remang. (“Insomnia pada Suatu Malam”). Bait yang mengabarkan suatu situasi di mana si aku lirik mengalami kondisi insomnia karena merasa sedang diikuti oleh bayangan, misalnya ibu. Bayangan yang bisa jadi hadir karena kerinduan si aku lirik pada ibu, atau mendadak terbangun dan tidak bisa tidur lagi setelah bermimpi bertemu sang ibu. Kondisi tersebut mengingatkan aku lirik pada Tuhan untuk mendoakan ibu atau pun berzikir sepanjang insomnianya.

  1. Simbol-Simbol Sufistik

Dalam literatur kesufian, masalah simbol menjadi aspek yang sangat signifikan karena sifatnya yang  khusus menyentuh persoalan-persoalan metafisik atau tradisi kerohanian. Pengalaman-pengalaman transendental seorang sufí—yang memang bersifat personal dan sulit dipahami oleh kalangan awam—membawa mereka pada pilihan bahasa simbolik sebagai bentuk pengucapannya. Itulah kenapa kaum sufi lebih banyak memilih puisi sebagai media komunikasi yang bersifat eksklusif dalam menguraikan risalah kesufiannya.[31]

Tujuan para sufi melakukan hal itu awalnya menyamarkan ajaran kesufian, misalnya saat melintas di jalan, bertemu dengan kawan atau muridnya. Hal itu sengaja dilakukan  untuk menghindari fitnah dan serangan kaum ortodoks atau ancaman rezim pada masa itu. Ibnu Arabi sendiri misalnya, waktu di Mesir pernah dikejar untuk dibunuh. Namun dia berhasil lolos dan kabur ke Arab dan Suriah. Kapan tradisi semacam itu kemudian dibawa ke dalam bahasa puisi? Ibnu Arabi adalah salah satu pelopornya yang paling berhasil mengawinkan simbol-simbol kesufian dengan puisi, baru kemudian Hafiz. Bahkan Abdul Hadi W.M. dalam Sastra Sufi menulis: “Tidak ada sufi setelah Ibnu Arabi yang tidak diilhami olehnya.”[32]

Hakikat simbol tidak semata-mata merujuk pada dirinya sendiri, melainkan merujuk pada sesuatu di luar dirinya, seperti alegori. Simbol kelihatan selalu sama, sekaligus berbeda dengan sesuatu yang disimbolkan.[33] Simbol dalam khazanah sastra sufi, terutama menyangkut doktrin cinta dan penyatuan sangat dominan diwarnai motif-motif yang berbau erotisme sebagaimana puisi-puisi Ibnu Arabi dalam Tarjuman al-Asywaq. Apabila dipahami secara harfiah berpotensi menyesatkan. Metafor-metafor semacam rukh (pipi; wajah), khal (tahi lalat), abru (alis), lab (bibir) atau khasum (mata) merupakan beberapa contoh simbol yang bernada erotis. Simbol-simbol semacam ini—beserta simbol lain seperti cahaya, bunga, laut, perahu, matahari, dan lainnya—sering kita jumpai pada puisi Hafizh, Sa’di, Sana’i, Rumi, dan Khayam.[34]

Dalam puisi-puisi Irawan di buku ini pun, banyak ditemukan simbol kesufian, seperti cahaya, kupu-kupu, rumah, burung, daun, pintu, lampu, perahu, matahari, bunga, langit, serta kata yang dekat konsep kesufian, semisal tafakur, zikir, fana, salam, mabuk, cium, cinta, sujud, rukuk, kekal, arif dan sebagainya. Apakah setiap puisi yang mengggunakan simbol atau kata-kata tersebut di atas bisa langsung disebut puisi sufistik? Tentu saja tidak. Begitu juga puisi-puisi Irawan dalam buku ini, tidak semua menyampaikan pesan sufistik. Namun keberadaan simbol-simbol tersebut menunjukkan bahwa Irawan sebagai penyair pada dasarnya punya kecenderungan sufistik.

Adakah puisi-puisi Irawan yang menunjukkan kecenderungan kuat sebagai puisi sufistik[35] dalam buku ini terkait sang ibu?

  1. Puisi-Puisi Sufistik Irawan

 

Membaca buku ini seperti mengikuti perjalanan batin Irawan, mulai  dari bagian Ideologi yang Menumbuh, Perjalanan yang Menempuh, Tubuh yang Mengoyak, sampai Kerinduan yang Menguak. Pada bagian terakhirlah bisa dibilang sebagai puncak perjalanannya, yakni “kerinduan (pada ibu) yang menguak (tabir ketuhanan)”. Hal ini sejalan dengan doktrin kesufian di mana seorang hamba kadang butuh perantara untuk sampai pada Khalik. Dengan kata lain, kita butuh wujud manifestasi untuk sampai pada wujud sejati. Berjalan atau melakukan perjalanan (salik) merupakan syarat mutlak yang harus ditempuh untuk mencapai-Nya. Perjalanan dari diri yang rendah menuju diri yang tinggi. Perjalanan yang bersifat vertikal, bukan horisontal. Perjalanan batin manusia menuju Tuhan bukanlah perjalanan seorang astronot menuju bulan, melainkan perjalanan hati menuju puncak batin sendiri.[36]

Pada bab Kerinduan yang Menguak sebagai bagian akhir buku ini, kita bisa hayati beberapa puisi sufistik Irawan, misalnya pada puisi “Nubuat Kerinduan”[37], “Takdir Daun”[38], “Taman Cahaya”[39], dan “Tafakur Waktu”[40]. Keempat puisi tersebut—disengaja atau tidak—mengembuskan napas puitik yang dekat dan berkaitan satu sama lain. Mari kita baca dan renungkan satu per satu puisi tersebut secara lengkap:

Nubuat Kerinduan

“Kau tulis aku di dedaunan sebagai

embun waktu yang bening bercahaya

Menetes di urat syaraf reranting

merasakan kesenyapan napas musim”

#

Pertemuan kita adalah antara cahaya dan gelap

Dalam cahaya ada lorong

yang mengalirkan air mata

Dalam gelap ada ruang

yang tak pernah berakhir dalam arah

Mencari jejak yang tak berbagi langkah

di gelisah tubuh senyap

Kita ada di kedalaman diam, menggigil

tapi nafas terus berzikir memanggil

#

Kita tak menghitung jarak, seberapa jauh denyut dan jantung

seberapa dekat nafas dan embus

Kita membaca kata, seberapa dalam makna yang tertulis

antara kalimat dan suara-suara yang mengiris

Kita tak berbagi jarak: Satu antara tiada dan cahaya.

Jakarta, 27 Agustus 2017

 

Irawan membuka puisi tersebut secara dialogis”: Kau tulis aku di dedaunan sebagai. Kemudian lenyaplah jarak antara “Kau” dan “Aku” menyatu menjadi “kita”: Pertemuan kita adalah antara cahaya dan gelap. Larik akhir puisi tersebut kian mempertegas penyatuan itu: Kita tak berbagi jarak: Satu antara tiada dan cahaya. Larik ini seperti mengisyaratkan “kita” yang tiada, lalu menyatu menjadi cahaya.

Setelah ditulis di dedaunan oleh si kau sebagai embun waktu, si aku lirik kemudian paham rahasia daun. Kenapa daun harus luruh, bahkan sebelum waktunya hingga dia menjadi koyak dan urat syarafnya terbuka, terdengar samar suara “menjadi gaung di denyut tubuh” dan “gemetar menatap bayang-bayang memintas gelap”. Itulah takdir (menjadi) daun:

 

Takdir Daun

mengapa daun-daun harus luruh? Dan kau masih setia menunggu

waktu mencatat gugurannya di musim yang telah dirindu

seseorang yang memetik waktu sebelum cuaca jadi senyap

dan basah di dinding kota di antara taman dan jalan cahaya

selembar daun yang koyak, urat syarafnya terbuka

kaukah yang membawa suara? Menjadi gaung di denyut tubuh

: siapa yang meluruhkan daun-daun sebelum kau terkesiap

dan gemetar menatap bayang-bayang memintas gelap.

Desember 2017

Di manakah daun itu luruh? Ternyata di taman cahaya, di antara bunga-bunga. Walau telah luruh, ia menolak menjadi kering, menjadi sampah. Daun yang luruh itu tidak putus asa, dia masih punya harapan yang kuat, dia masih punya doa yang khusyuk:

 

Taman Cahaya

 

Seperti semerbak bunga ingin aku masuk ke dalam harum cahaya-Mu

Mencium musim diam-diam ketika waktu bersemi di taman.

Tubuh yang lusuh, berat dalam jejak tertinggal dalam masa silam

Masihkah ada angin yang menghilir di kedalaman napas yang terus

Mengalir dalam rindu yang berdiam di antara rumah-rumah kenangan Bapak

Bertahun lama air mata membasah, disekap luka dan nyeri berbilang.

Oktober 2017

 

Di taman cahaya itulah, daun menunggu. Menunggu keinginannya itu dikehendaki. Dalam masa menunggu, ia gunakan untuk melakukan tafakur tentang waktu, dan mencoba menjadi waktu:

Tafakur Waktu

“yang harum kembalilah, kembali pada putik bunga

Biarkan tumbuh cahaya di dalam waktu-Nya

Sebagai ruang yang hening da kekal…”

Ialah kau yang meminta, burung-burung akan terbang mencari

Warna dan bentuk dari keluasan langit, awan-awan yang kelabu

Membayang bumi yang tengadah, menggapai kefanaan musim

Di  mana kita terus menggali dan melukai hutan-hutan yang meranggas

Kesenyapan sarang, rumah di mana berbaring tubuh mencari pintu

Untuk kembali menulis kitab diri yang rindu

Ada napas kesadaran yang muncul  di antara bayang-bayang

Yang bergerak  diam-diam: kelalaian dalam waktu yang lupa bersujud

Kita hanyalah yang tersisa dari uraian debu yang kotor dan lusuh

Terus menerus berair mata, seperti gerimis, di balik tubuh senja temaram.

“Yang terbang kembalilah, kembali pada kelepak burung-burung

Biarkan sampai cahaya di garis batas laut mata-Nya

Sebagai ombak yang gemuruh dan hanyut”

 

Ialah kau yang gelisah dalam hari-hari yang berjarak, antara masa silam

Dan jejak-jejak langkah, antara denyut jantung dan debar suara memanggil

Memandang wajah  dalam kaca yang retak dan belah, menggigil

Di mana kita terus diam berzikir membilang hitungan jemari malam

 

“yang diam kembalilah, kembali menjadi zarah yang tak berdaya”

Kita pun menjadi partikel-partikel kecil di dalam lorong tubuh, mengalir

Di antara jalan-jalan darah, urat syaraf dan nadi melepaskan diri

Dan kenyenyakan yang panjang sebagai sebuah perjalanan yang sunyi

Menghikmati waktu di dalam garis lurus kerinduan, jarak-Mu menghampir.

Januari 2018

Tafakkur merupakan salah satu konsep penting dalam dunia kesufian, yakni diam sejenak untuk merenungkan wujud manifestasi Tuhan, berpikir dan intropeksi diri. Tafakur menjadi penting dilakukan, karena bisa menjadi latihan memaksimalkan potensi “indra luar” maupun “indra dalam” pada diri manusia dalam menjalani hidup.[41] Dengan demikian, kita bisa menjadi pribadi yang saleh secara spiritual, saleh secara sosial, dan saleh secara intelektual.

Keempat puisi Irawan yang bertalian di atas tidak bisa lagi dikenali secara parsial antara si aku lirik, ibu, dan Tuhan. Ketiganya benar-benar berpilin secara sublim serupa segitiga sama kaki. Selain itu, secara maknawi, keempat puisi tersebut seperti menggambarkan perjalanan batin manusia dalam kesufian. Di mana dia lahir menjalani takdirnya yang telah tertulis di daun sidrah. Sungguh manusia tidak punya kekuataan apa-apa tanpa kehendak-Nya. Dia hanya bisa pasrah kepada-Nya dengan cara menyembah, berusaha, dan berharap ridah-Nya. Berharap ridha Tuhan, salah satunya melalui ridha ibu yang melahirkan[42]. Selebihnya, di masa-masa penantian itulah, manusia mencoba memberi arti pada hidupnya dengan cara bertafakur, berkarya, dan menulis kitab diri berupa catatan amalnya sendiri.

  1. Penutup

Kecintaan dan kerinduan Irawan yang diekspresikan melalui puisi pada ibunya adalah—juga—kecintaan dan kerinduannya pada Tuhan. Irawan seperti sedang bersujud, di mana ia “berbisik ke bumi (ibu), dan terdengar ke langit (Tuhan)”. Di dalam sujud itulah, waktu dan tempat yang paling dekat antara hamba dan kekasihnya.[43]

 

Sebagai penutup, mari bersama kita bertanya pada jiwa kita masing-masing:

Adakah orang yang selalu mendoakan kita setiap waktu tanpa diminta, sedangkan kita sendiri jarang mendokannya? Adakah orang yang setia memikirkan kita setiap saat, sedangkan kita sendiri sama sekali tidak pernah memikirkannya? Adakah orang yang tulus mencintai, menyayangi, dan merindukan kita selama hidupnya, sedangkan kita sendiri selalu lupa padanya bahkan mengabaikannya? Adakah orang yang sangat bahagia saat melihat kita bahagia, dan begitu sedih saat melihat kita sedih, sedangkan kita sendiri hanya sibuk memikirkan kepentingan diri kita sendiri? Adakah orang yang rela menahan lapar agar kita bisa makan, sedangkan kita sendiri bahkan lupa untuk sekadar mengucapkan terima kasih? Adakah orang yang senantiasa memaafkan setiap kesalahan kita tanpa diminta, sedangkan kita sendiri kadang membencinya karena kesalahan-kesasalahan kecil yang tidak dia sengaja?

Bekasi, 10-13 Oktober 2018.

 

 

 

Daftar Pustaka

Ad-Dakhill, Baihaqi , “Ibnu Arabi dan Mahaguru Perempuan”, Qureta, 21 Sep 2017

https://www.qureta.com/post/ibnu-arabi-dan-mahaguru-perempuan (diakses: 12 Oktober 2018, 14.25 WIB)

Abdurrahman, Aisyah, (1988), Ibunda Para Nabi, Solo: Pustaka Mantiq.

Ahmad, Kassim dan Shahnon Ahmad, (1987), Polemik Sastera Islam, Kuala Lumpur:

Dewan Bahasa dan Pustaka.

Arabi, Ibn, (1966), Tarjuman al Asywaq, Beirut:  Dar al Shadir.

Arberry, A.J., (1993), Pasang-Surut Aliran Tasawuf, Terj. Bambang Herawan Bandung:

Mizan.

Bachri, Sutardji Calzoum, (2007), “Perihal Bunga Rampai Puisi” dalam Isyarat,

Yogyakarta: Indonesiatera.

Hadi, Abdul W.M., (1987), Sastra Sufi, Jakarta: Pustaka Firdaus.

____, (2014), Hermeneutika Sastra Barat dan Timur, Jakarta: Sadra.

____, Abdul W.M., (1992), Kembali ke Akar Kembali ke Sumber: Sastra Transendental dan          

Kecenderungan Sufistik Kepengarangan di Indonesia (Ulumul Qur’an, Vol. III, No. 3, Th. 1992)

Kartanegara, Mulyadi, (2006), Gerbang Kearifan, Jakarta: Lentera Hati.

Krazt, Ernst Ulrich (1988), Bibliografi Karya Sastra Indonesia dalam Majalah: Drama,

Prosa, Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada Universty Press.

Mahayana, Maman S, (2018), “Paradoks Air Mata Topeng”, Makalah Diskusi buku Air

Mata Topeng, Sastra Reboan, 28 Februari 2018.

Solihin, M. & Rosihan Anwar, (2016), Kamus Tasawuf, Bandung: Rosdakarya.

Trisno, Gusti, Ajari Aku, Bu, Situbondo: FPPS

Trueblood, David, (1965), Filsafat Agama, terjemahan H.M. Rasjidi, Jakarta: Bulan

Bintang.

Wiraatmaja, Irawan Sandhya, (2017), Air Mata Topeng, Jakarta: KKK.

__________, (2018), Ideologi Ibu dan Baju yang Koyak, Jakarta: Teras Budaya.

[1] Sutardji Calzoum Bachri, “Perihal Bunga Rampai Puisi” dalam Isyarat, (Yogyakarta: Indonesiatera, 2007), 213.

[2] Kurniawan Junaedhie, Pengantar Penerbit dalam  Air Mata Topeng, (Jakarta: KKK, 2017), ix.

[3] Irawan Sandhya Wiraatmaja, Ideologi Ibu dan Baju yang Koyak, (Jakarta: Teras Budaya, 2018), 121.

[4] Ernst Ulrich Krazt, Bibliografi Karya Sastra Indonesia dalam Majalah: Drama, Prosa, Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada Universty Press, 1988, hlm. 558—559 dalam Maman S Mahayana, “Paradoks Air Mata Topeng”, Makalah Diskusi buku Air Mata Topeng, (Sastra Reboan, 28 Februari 2018), 1.

[5] Maman S Mahayana, “Paradoks Air Mata Topeng”, Makalah Diskusi buku Air Mata Topeng, (Sastra Reboan, 28 Februari 2018), 1.

[6] Pengantar Penerbit, Ideologi Ibu dan Baju yang Koyak, (Jakarta: Teras Budaya, 2018), iii.

[7] Pengantar Penerbit, Ideologi Ibu dan Baju yang Koyak, iii.

[8] Sofyan RH. Zaid, “Mencintai Ibu, Merindukan Tuhan” dalam Ajari Aku, Bu, Gusti Trisno (Situbondo: FPPS, 2015), iv.

[9] Sofyan RH. Zaid, “Mencintai Ibu, Merindukan Tuhan”,  v.

[10] Tajali menurut Ibnu Arabai adalah ‘penyinaran’, ‘penurunan’, dan ‘penanggalan hijab’. Bisa diperiksa dalam M. Solihin & Rosihan Anwar. Kamus Tasawuf, 2016, 205.

[11] Baihaqi Ad-Dakhill, “Ibnu Arabi dan Mahaguru Perempuan”, Qureta, 21 Sep 2017: https://www.qureta.com/post/ibnu-arabi-dan-mahaguru-perempuan (diakses: 12 Oktober 2018, 14.25 WIB)

[12] M. Solihin & Rosihan Anwar. Kamus Tasawuf, (Bandung: Rosdakarya, 2002), 81-82.

[13] Ibnu Arabai sendiri tidak pernah menggunakan istilah wahdatul wujud untuk menamai pemikirannya. Istilah ini telah ada sebelum Ibnu Arabi untuk corak pemikiran yang sejenis.

[14] Anak perawan gurunya sendiri, Syeikh Abu Syuja’.

[15] Ibn Arabi, Tarjuman al Asywaq, (Beirut:  Dar al Shadir, 1966), 85.

[16] Ibn Arabi, Tarjuman al Asywaq, 217.

[17] Mulyadi Kartanegara, Gerbang Kearifan, (Jakarta: Lentera Hati, 2006), 61.

[18] Alam raya di sini bermakna ‘segala sesuatu selain Allah”.

[19] Aisyah Abdurrahman, Ibunda Para Nabi, (Solo: Pustaka Mantiq, 1988), 197.

[20] David Trueblood, Filsafat Agama, terjemahan H.M. Rasjidi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1965), 68.

[21] Irawan Sandhya Wiraatmaja, Ideologi Ibu dan Baju yang Koyak, (Jakarta: Teras Budaya, 2018), 33.

[22] Irawan Sandhya Wiraatmaja, Ideologi Ibu dan Baju yang Koyak, 43.

[23] Irawan Sandhya Wiraatmaja, Ideologi Ibu dan Baju yang Koyak, 70.

[24] Irawan Sandhya Wiraatmaja, Ideologi Ibu dan Baju yang Koyak, 72.

[25] Irawan Sandhya Wiraatmaja, Ideologi Ibu dan Baju yang Koyak, 85.

[26] Irawan Sandhya Wiraatmaja, Ideologi Ibu dan Baju yang Koyak, 98..

[27] Irawan Sandhya Wiraatmaja, Ideologi Ibu dan Baju yang Koyak, 101.

[28] Irawan Sandhya Wiraatmaja, Ideologi Ibu dan Baju yang Koyak, 104.

[29] Irawan Sandhya Wiraatmaja, Ideologi Ibu dan Baju yang Koyak, 112.

[30] Irawan Sandhya Wiraatmaja, Ideologi Ibu dan Baju yang Koyak, 115..

[31] Kassim Ahmad dan Shahnon Ahmad, Polemik Sastera Islam (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1987), x.

[32] Abdul Hadi W.M., Sastra Sufi, ((Jakarta: Pustaka Firdaus, 1985), 291.

[33] Abdul Hadi W.M, Hermeneutika Sastra Barat dan Timur, (Jakarta: Sadra, 2014),138

[34] A.J. Arberry, Pasang-Surut Aliran Tasawuf, Terj. Bambang Herawan (Bandung: Mizan, 1993), 148-150.

[35] Puisi sufistik lahir dari puisi sufi, baik landasan teori, dan inspirasinya. Puisi sufistik bisa ditulis oleh siapa saja yang bukan sufi, bahkan oleh non-muslim. Inilah yang membedakan antara puisi sufi dan puisi sufistik.

[36] Abdul Hadi WM, Kembali ke Akar Kembali ke Sumber: Sastra Transendental dan Kecenderungan Sufistik Kepengarangan di Indonesia (Ulumul Qur’an, Vol. III, No. 3, Th. 1992), 21.

[37] Irawan Sandhya Wiraatmaja, Ideologi Ibu dan Baju yang Koyak, 83.

[38] Irawan Sandhya Wiraatmaja, Ideologi Ibu dan Baju yang Koyak, 84.

[39] Irawan Sandhya Wiraatmaja, Ideologi Ibu dan Baju yang Koyak, 87.

[40] Irawan Sandhya Wiraatmaja, Ideologi Ibu dan Baju yang Koyak, 95.

[41] M. Solihin & Rosihan Anwar. Kamus Tasawuf, 200.

[42] Berdasar pada hadis ”Ridha Allah terletak pada ridha kedua orang tua dan murka-Nya terletak pada murka keduanya.” (HR Ath Thabarani yang disahihkan oleh Al Hafidz As Suyuthi).

[43] Berdasarkan hadis: “Yang paling dekat antara seorang hamba dengan Tuhannya adalah ketika sujud, maka perbanyaklah doa ketika itu.” (HR. Muslim). Berdasarkan hadis ini pula kalimat umum ‘berbisik ke bumi terdengar di langit’ berasal sebagai pengertian sujud itu sendiri.

*Disampaikan pada Peluncuran Buku Ideologi Ibu dan Baju yang Koyak karya Irawan Sandhya Wiraatmaja, Dapur Sastra Jakarta di PDS H.B. Jassin, Jakarta, 13 Oktober 2018.

Sofyan RH. Zaid
Latest posts by Sofyan RH. Zaid (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!