Saat membaca ulang “Kiat Menulis Asyik dari Pengalaman Remeh Temeh Agus Mulyadi” yang dimuat di Basabasi hampir setahun silam (10 Mei 2017), kepingan memori yang baru berusia sebelas hari tiba-tiba menyambangi pikiran. Bagaimana kalau saya turut berbagi trik dan tips yang saya dapat dari kelas menulis? Tentang pengalaman berkendara bersama Ibu Suri Dee Lestari, lebih tepatnya.
Menumpang Argo Parahyangan pada permulaan April, pagi-pagi sekali saya tiba di gedung serupa tabung bertingkat delapan. Dalam ruang berlogo merah dengan tanda pagar di sisi kanannya, terselenggara acara bertajuk Creative Writing I0I. Berkat kerjasama Storial, Nulisbuku, Giordano, dan Path akhirnya para pemenang lomba cerpen #AllisWell bertemu salah satu penulis perempuan produktif di Indonesia—Ibu Suri Dee Lestari.
Yang menarik yakni alih-alih menjabarkan “menulis kreatif itu bagaimana”, Dee justru berbaik hati untuk menceritakan proses “Bagaimana Saya Menulis”. Poin-poin yang dibahas olehnya terkait menemukan jangkar cerita, riset (berkelanjutan), mengembangkan kemudian memetakan dan menimbang isi cerita, menghitung deadline, menulis draf pertama, fermentasi, hingga penyuntingan.
Tahun 2018 merupakan tahun ketujuh belas Dee menjadi penulis profesional, terhitung sejak buku pertamanya terbit dan beliau mulai mendapatkan reputasi sekaligus penghidupan dari menulis. Dee bercerita lebih jauh, mungkin saat TK dirinya adalah seorang pengkhayal. Beliau baru bisa tidur kalau mengkhayal dulu, semacam punya ritual untuk membiarkan pikirannya bebas berkelana.
Mulanya Dee berasumsi itu semata-mata karena ia anak yang susah tidur. Tetapi ternyata, hal demikian menjadi sebuah kebiasaan dan pengamatan bahwa barangkali dirinya memang senang mengkhayal. Berlanjut sewaktu SD, beliau seringkali membual pada adiknya dengan menceritakan hal-hal yang tidak ada dan sang adik amat percaya.
Dee bersyukur menemukan menulis—kegiatan yang dirasa tepat untuk menyalurkan hobi sebagai pengkhayal—karena kalau tidak dirinya hanya akan menjadi tukang bual profesional. Lantas sekitar usia 9 tahun, beliau berangan suatu hari akan menemukan tulisannya dijual di toko buku. Hari itu juga Dee mendatangi toko kelontong, membeli sebuah buku tulis bersampul artis yang hits pada masanya, lalu menuliskan cerita sampai puluhan lembar tersebut penuh. Hal demikian beliau anggap latihan untuk punya sebuah buku, kelak.
Walau berkarier menjadi penyanyi dan sebagainya, hobi menulis tidak pernah lepas dari seorang Dee Lestari. Terbukti beliau telah melahirkan sebelas buku best seller yang mengagumkan. Sebut saja serial Supernova yang terdiri dari Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh; Akar; Petir; Partikel; Gelombang; dan Inteligensi Embun Pagi. Lalu kumpulan prosa dan puisi Filosofi Kopi, kumpulan cerita Rectoverso dan Madre, novel Perahu Kertas, dan yang paling baru ialah Aroma Karsa.
Ide dan Jodoh
Dee mengibaratkan ide serupa makhluk abstrak yang punya satu tujuan menjadi konkret, membutuhkan struktur, dan mencari komitmen. Beliau yakin “kita dicari oleh ide”. Kriteria sosok yang disukai ide yakni pemerhati yang jeli, pengamat yang peka, pekerja yang gigih dan tekun, partner tepat waktu yang tidak ingkar janji sekaligus bertanggung jawab—mirip pencarian jodoh, bukan?
Kalkulator Cerita
Berisi target tanggal rampung draf pertama, target hari kerja per minggu, target jam kerja per hari, dan target jumlah kata per hari. Bagi orang-orang sok sibuk yang kesulitan mengatur waktu seperti saya, menulis rutin adalah kegiatan yang terbilang sulit dilakukan. Karena itulah dengan adanya target-target tertentu, kita akan terbiasa atau sedikitnya mungkin terpaksa mendisiplinkan diri.
Riset Tepat Guna
Yang diperlukan bukan hanya fakta, melainkan data pancaindra. Kejelian Dee dalam mengerahkan kemampuan akan hal itu tercermin saat praktik menulis berlangsung. Pada bentang proyektor terpampang potret lelaki berbusana putih yang tengah menggenggam perempuan pirang bertopi. Sebagian besar peserta menyepakati langit yang ditunjukkan adalah sunset, lalu beliau berujar bisa jadi itu sunrise.
Perkara lain serupa pepohonan di kejauhan serta perahu usang di tepi pantai dapat dengan cerdas Dee libatkan dalam cerita, sementara bagi orang umumnya hal itu justru luput dari penglihatan. Tak lupa Dee juga mengingatkan agar cermat memisahkan hasil riset dalam cerita: apa yang diketahui penulis, karakter, dan pembaca semestinya tidaklah sama.
Sentuhan Profesional
Rapi (minim typo), berwawasan PUEBI, menghadirkan pembuka cerita yang kuat—omong-omong menurutnya, seks dan nyawa adalah dua dari segelintir topik yang ampuh menggugah minat pembaca—serta piawai mengatur tata letak yang nyaman. Konon, empat kemampuan ini menyiratkan di kelas mana seorang penulis berada.
Memahami Kendaraan
Sesi ini adalah bagian paling favorit bagi saya. Ditingkahi penyampaiannya yang asyik, saya serasa dibawa berkendara oleh Ibu Suri Dee Lestari. Deret perumpamaan yang beliau tuturkan:
Dialog adalah pedal gas.
Deskripsi adalah rem.
Narasi adalah rem sekaligus mesin waktu.
Tanda baca adalah klakson.
Kata sifat adalah aksesori, gunakan secukupnya.
Kata sifat predikatif adalah lampu jauh, hindari kecuali benar-benar dibutuhkan.
PoV adalah persneling, setiap jenis memiliki kesulitan dan keuntungan tersendiri.
Plot adalah yang terjadi di luar kendaraan (eksternal) dan cerita adalah yang terjadi di dalam kendaraan (internal)
Lihai Gunakan Kata
Setiap kata adalah peluru yang jangan disia-siakan. Kenali kapan memberondong, kapan menembak tepat jitu. Semakin presisi target tembak, semakin telak dampaknya. Memperbanyak kosakata sama dengan memperbanyak amunisi.
Menguasai Swasunting
Beberapa langkah usai menulis ialah beri waktu “fermentasi” sebelum menyunting, KBBI is your best friend, rampingkan kalimat semaksimal mungkin, ceritakan ulang karya secara lisan, siapkan para pembaca pertama dan kuesioner, dan tak terlewat kill your darlings—sesuka apa pun dengan tulisan yang diguratkan, kalau keberadaannya tidak memberi pengaruh penting lebih baik hilangkan.
Berkomitmen kepada Ide
Tamat adalah target dan membaca adalah nutrisi. Selain rutin menciptakan ritual menulis, sering mencoba juga dapat meningkatkan jam terbang. Jangan takut jelek, tetapi takutlah jika tidak selesai.
Kaizen Writing
Mencapai pemungkas, Dee mengenalkan sesuatu yang berasal dari negeri sakura. Beliau menanamkan keyakinan agar terus belajar dan tidak cepat puas, bersedia damai dengan ketidaksempurnaan, mau membuat tantangan baru pada setiap karya, menulis hingga menemukan suara sendiri, pula gali hingga menjadi seni.
Jujur, saya amat menyukai analogi-analogi yang Dee berikan terhadap segala sesuatu. Sederhana, namun berkesan. Pun, kutipan-kutipan darinya yang saya cantumkan di bawah ini:
“Riset adalah alasan paling seksi untuk menunda menulis.”
“Fiksi yang berhasil akan terasa seperti nonfiksi. Sebaliknya,
nonfiksi yang berhasil akan terasa seperti fiksi.”
“Satu TAMAT akan membawa kita ke banyak awal yang baru.”
“Tulislah buku yang ingin kita baca. Jadilah penulis yang layak kita kagumi.”
Nb: Karena laman ini terbatas, bagi teman-teman pembaca yang memerlukan catatan lengkap Kelas Menulis Dee Lestari silakan hubungi penulis melalui surel: deyanggibhi97@gmail.com.
Sumber foto: Dok. Penulis dan Instagram Dee Lestari
- Rekam Ingatan: Bandung Readers Festival - 18 September 2019
- Berkendara Bersama Ibu Suri Dee Lestari - 25 April 2018