Pembaca buku-buku mengenai biografi dan surat-surat Kartini mungkin terlalu terpikat pada wajah, busana, dan kata. Pembaca bakal memberi pujian sambil berimajinasi kelampauan melalui kata dan gambar. Pilihan agak berbeda bisa dilihat di buku berjudul RA Kartini susunan Tashadi, terbitan Depdikbud, 1985. Buku terbitan pemerintah sering berkemasan wagu, gagal merangsang orang untuk membaca halaman demi halaman. Buku telanjur terbit menggunakan dana pemerintah, kita tak usah terlalu menjadikan mubazir. Di halaman 208-209, dua foto disajikan ke pembaca. Foto kamar mandi dan bak mandi memuat keterangan: “Peninggalan bersejarah RA Kartini di Kabupaten Rembang.”
Penulis biografi sempat mengabarkan ke orang-orang bahwa Kartini mungkin memiliki tata cara mandi seperti orang modern berkiblat Barat. Bak itu mengandaikan Kartini mandi dengan cara berendam demi bersih, segar, dan wangi. Penulis biografi itu tak menambahi keterangan sabun mandi kegemaran Kartini. Mandi tanpa sabun tentu sulit mewangi. Kita malah jarang berpikiran perkara sabun mandi dalam keseharian Kartini. Surat-surat beragam tema telah melenakan pembaca dalam setiap peringatan Hari Kartini, tak memuat ajakan mengimajinasikan kaum perempuan mandi atau menggunakan sabun mandi pada akhir abad XIX.
Kartini berperistiwa mandi belum pernah menjadi cerita pendek, puisi, atau novel. Orang menulis kamar mandi atau sabun mandi pun jarang dalam arus kesusastraan di Indonesia. Kita masih beruntung menemukan dua pujangga tenar pernah mengunjungi kamar mandi. Di kamar mandi, mereka masih malu mengisahkan sabun mandi. Afrizal Malna dan Joko Pinurbo cuma sanggup menggubah puisi mengenai kamar mandi, belum bersabun mandi. Pada saat mengunjungi kamar mandi, mata mereka mungkin belum bergairah mengarah ke sabun mandi. Apa lelaki memang jarang berurusan atau terlalu merenungi sabun mandi di biografi keseharian?
Pada 1993, terbitlah puisi berjudul “Migrasi dari Kamar Mandi”, khas kebahasaan Afrizal Malna. Pujangga memilih berkepala tanpa rambut itu menulis: Tetapi mikropon meraihku,/ mengumumkan migrasi berbahaya, dari kamar mandi ke/ jalan-jalan tak terduga. Kamar mandi ada di kecamuk revolusi dan imajinasi darurat: mati atau hidup. Pujangga terlalu bermetafora kamar mandi. Empat larik di akhir puisi pantas disalin di kertas untuk ditempelkan di pintu kamar mandi bagian dalam bagi kaum intelektual berselera sastra: Migrasi telah kehilangan/ waktu kekasihku. Dan aku sibuk mencari lenganmu di/ situ, dari rotasi-rotasi yang hilang, dari sebuah puisi,/ yang mengirim kamar mandi ke dalam sejarah orang lain. Puisi bermutu meski sulit mencari orang berkenan mengingat sebagai puisi terampuh seantero Indonesia. Kamar mandi tiba-tiba ada peristiwa besar, tak melulu mengenai orang mandi, melamun, atau bersenandung. Sabun mandi tak ada di situ.
Pujangga kurus rajin merokok bernama Joko Pinurbo pun berpuisi kamar mandi, berlagak filosofis dan romantis. Pada 2000, ia menggubah puisi dijuduli “Di Sebuah Mandi”. Bait terakhir jadi pilihan, memberi lumuran imajinasi asmaranisme: Di sebuah mandi kuziarahi jejak cinta di senja tubuhmu./ Pulang dari tubuhmu, aku terlantar di simpang waktu. Joko Pinurbo telaten bercerita mandi dan kamar mandi. Pembaca “terpaksa” merenung (lagi) di hadapan puisi berjudul “Antar Aku ke Kamar Mandi”. Peristiwa dijadikan berkelimpahan makna. Joko Pinurbo (2001) menulis: Ia takut sendirian ke kamar mandi/ sebab jalan menuju kamar mandi sangat gelap dan sunyi./ “Jangan-jangan tubuhku nanti tak utuh lagi.”/ Maka Kuantar kau ziarah ke kamar mandi/ dengan tubuh tercantik yang masih kaumiliki. Puisi berhak menganggalkan kelaziman orang ke kamar mandi untuk membersihkan diri, kencing, dan berak. Kunjungan ke kamar mandi itu ziarah. Si pujangga bermaksud mengajarkan suci atau kudus bagi tubuh. Joko Pinurbo tampak bersimpang jalan dengan Afrizal Malna menuju kamar mandi.
Sejarah puisi berkamar mandi mungkin telat jadi santapan umat sastra di Indonesia. Dulu, kamar mandi lekas bercerita sabun mandi. Urusan sabun mandi sulit jadi puisi, sering melulu iklan. Sejarah iklan sabun mandi memilih perempuan menjadi tokoh ketimbang lelaki. Afrizal Malna dan Joko Pinurbo mustahil jadi tokoh idaman mengiklankan sabun mandi.
* * *
Perempuan terpilih bercerita sabun mandi pada masa 1930-an bernama Roekiah. Orang-orang mengingat sebagai bintang film. Sabun mandi telanjur milik orang-orang film ketimbang para penggubah puisi. Sabun mandi di iklan wajib bertokoh perempuan cantik. Godaan di iklan sabun mandi dimuat di Kadjawen, 25 April 1939. “Nji Roekiah, bintang film kita jang tjantik kata: Palmolive membikin koelit lebih lemes dan tjantik.” Sabun itu wangi. Perempuan rajin mandi menggunakan sabun wangi tentu semakin cantik dan beraroma wangi. Konon, iklan itu manjur membujuk orang-orang Indonesia bersabun mandi demi wangi dan cantik.
Pada masa berbeda, sabun mandi perlahan bermesraan dengan sastra. Iklan-iklan sabun mandi berupa puisi tampil di puluhan majalah masa 1950-an, termasuk di majalah sastra. Iklan pamer serial puisi romantis. Konon, puisi-puisi gagal seromantis puisi-puisi gubahan Rendra atau Sapardi Djoko Damono. Di majalah Kisah, iklan-puisi sabun mandi menantang pembaca agar berani bermandikan puisi mewangi. Mandilah dengan sabun Colibrita! Wangilah tubuh saat membaca sajian teks-teks sastra di majalah Kisah. Iklan mengabaikan kebiasaan para pengarang dan pembaca jarang mandi. Sekian pembaca mungkin memilih menggunakan duit untuk membeli buku atau majalah sastra ketimbang memanjakan tubuh dengan sabun wangi berimajinasi asmara.
Puisi berjudul “Sedih…” tersaji di Kisah edisi Juni 1955. Perempuan berwajah muram dengan rambut indah. Perempuan bersama pepohonan dan bebungaan. Di kejauhan, ada gunung menanggung rindu. Perempuan itu bersedih, belum segirang seperti “njiur melambai” mengacu ke pohon kelapa di belakang gambar perempuan. Sedih dianjurkan dirampungi dengan mandi. Pilihan sabun mandi bakal memusnahkan sedih, menjadikan perempuan semringah dan jelita.
Duduk sedih bermuram durdja
Menangis lara, melagu rindu,
Ditinggal kasih hilang merana
Kandas terhempas memilu kalbu.
Wahai djuita mengapa lara
Mengapa ‘nangis, sedih selalu?
Minta segera daja utama
Sang Colibrita pudjaan ratu!
Sabun berkhasiat mengubah raga dan perasaan. Sedih? Mandilah tiga kali sehari menggunakan sabun berslogan: “sabun wangi penawan hati”. Sejak puluhan tahun silam, sabun wajib wangi. Sabun membuat raga wangi, mengusir bau kecut dan apek. Wangi tak abadi? Sekian menit berlalu, wangi biasa pergi tanpa pamit. Iklan berupa puisi mengingatkan peristiwa mandi itu puitis atau dramatis. Mandi mendapat pemaknaan tambahan, mengimbuhi perintah dalam agama dan nalar kemodernan agar raga waras. Iklan tetap berimajinasi perempuan. Lelaki tiada di sabun mandi dan imajinasi mewangi.
Perempuan terlarang bermuram durdja ditampilkan dulu di majalah Kisah edisi Februari 1955. Bergiranglah pembaca, lelaki atau perempuan, melihat perempuan berada di telaga! Gambar itu seperti diturunkan dari dongeng masa lalu. Perempuan masih ada di zaman belum memiliki kamar mandi. Ia belum pernah mendapat ajaran agar mandi di kamar mandi, tak selalu meniru cerita-cerita di Jawa menokohkan perempuan lazim mandi di sungai, sendang, atau telaga. Gambar menuntut puitis! Puisi bergelimang asmara pun meminta pembaca terlena sepanjang hari. Puisi berjudul “Telaga Sunji”.
Bening, hening, kilau-kemilau
Telaga dewata ditimpa surja,
Baju lalu himbau-menghimbau
Membawa berita dari telaga:
“Wahai wanita kusuma putri
Tjantik rupawan pemudja asmara,
Sang Colibrita daja abadi
Harum semerbak sepandjang masa!”
Puisi bersaing dengan teks-teks sastra pilihan redaksi Kisah. Iklan jangan diremehkan sebagai bacaan kaum gandrungisme. Puisi itu memiliki halaman, dicetak apik dan memikat. Puisi memang bercorak lama tapi pembaca masih bisa membaca tanpa jebakan nostalgia imajinasi suguhan kaum pujangga masa 1920-an dan 1930-an. Puisi itu sisa-sisa pengaruh dari pengajaran dan pewartaan sastra masa lalu. Di majalah Kisah, puisi-puisi bercap Colibrita sering tersaji. Pengiklan tentu memberi ongkos ke penerbit majalah agar terus bisa terbit: memanjakan gairah bersastra saat Indonesia sedang mabuk berdemokrasi pada masa 1950-an.
Puisi-puisi gampang terbaca dan teringat lupa mencantumkan nama si pujangga. Warisan puisi-puisi masih mungkin termiliki tapi pembaca kesulitan bakal mendoakan jasa si pujangga akibat ketiadaan nama. Puisi-puisi gagal masuk buku antologi sastra garapan HB Jassin atau Ajip Rosidi. Kegagalan ditebus ingatan umat pembaca masa lalu: puisi-puisi sabun mandi memberi “selingan” atas perseteruan estetika dan politik sastra masa 1950-an. Sengketa sengit para pengarang memiliki halaman di sejarah sastra. Sabun mandi dan puisi itu sengaja ditaruh di luar halaman sejarah: sepi dan telantar.
* * *
Puisi dan sabun mandi sering bertokoh perempuan. Kapan lelaki diperkenankan ada di iklan sabun mandi atau ditampilkan sebagai tokoh utama? Pembaca bisa membuka majalah Kadjawen edisi 23 Mei 1941. Iklan sabun mandi masih menggoda, sebelum orang-orang berganti lakon ke masa pendudukan Jepang. Pada masa kehadiran militer Jepang, peristiwa mandi mungkin tak sampai ke pemanjaan diri memilih sabun-sabun mandi bermerek terkenal. Sabun mandi langka berbarengan kesulitan orang-orang mendapatkan beras dan busana.
Iklan dengan gambar menampilkan tokoh-tokoh beradab Jawa. Adab tampak di pengenaan busana. Lelaki berpenampilan necis bercorak Jawa teranggap “pangeran”. Ia itu lelaki idaman pada saat Indonesia masih berjulukan tanah jajahan. Lelaki berada di pesta (perjamuan) saat malam berbulan sabit. Suasana hangat dan berpamrih kemodernan. Iklan tak berpuisi, memuat kalimat-kalimat berkepastian: “Soenggoeh ada satoe kesenangan, djika kita berada dalam perdjamoean jang terpilih, dengan perasaan jang pasti, bahwa diri sendiri tida akan tertjela oleh lain-lain tetamoe.” Konon, sabun itu cocok bagi raga-raga di “negeri jang panas”. Sabun menghilangan bau keringat, tak memberi janji mewangi sepanjang hari. Sabun bermerek Lifebuoy sempat berbagi cerita ke pembaca mengenai perlindungan diri dari bau keringat. Sabun mandi tanpa puisi.
Puluhan tahun berlalu dari iklan-puisi dan kegandrungan orang memilih sabun mandi. Lelaki dan perempuan berhak fanatik pada sabun mandi bermisi wangi, asmaranisme, bersih, dan puitis. Sabun-sabun masa lalu sudah mengenalkan bintang film dan puisi, mengajak pembaca membuat ingatan terindah dan termegah. Alur ingatan agak berubah arah saat orang membaca puisi-puisi gubahan Afrizal Malna dan Joko Pinurbo. Mereka menulis puisi “berkeringat” dalam raihan imajinasi dan makna ke pembaca. Dua lelaki menggubah puisi agak melupakan sejenak perempuan-perempuan idaman bermandikan puisi mewangi. Begitu.
- Biang Keladi Novel Pop - 18 January 2023
- 100 Tahun Sitti Noerbaja; Langgeng dan Khatam - 30 November 2022
- Burung: Sejarah dan Bahasa - 2 November 2022