Berselimut Allah

pinterest.com

Dalam paradigma sufisme yang diembuskan oleh Syaikh Tajuddin as-Sakandari (wafat di Kairo, Mesir, pada 1309 M) disiarkan bahwa segala sesuatu yang selain Allah Ta’ala itu murni tidak ada secara hakiki. Dalam konteks ini, ketiadaan itu identik dengan kegelapan, sementara keberadaan merupakan nama lain dari cahaya. Berarti Allah Ta’ala itu adalah cahaya, sedang apa yang disebut sebagai yang lain mutlak merupakan kegelapan.

Akan tetapi menjadi sangat jelas bagi kita di dalam kehidupan ini bahwa makhluk-makhluk dengan seabrek keanekaragaman yang disandangnya di dunia ini merupakan tumpukan realitas yang tidak bisa dibantah dan tidak mungkin dinafikan oleh siapa pun. Ini nyata. Tidak bisa “ditiadakan” begitu saja. Pernyataan bahwa hanya Allah Ta’ala semata yang ada, sementara yang lain tidak ada, perlu didedahkan secara rasional.

Sebagai himpunan realitas, segala sesuatu itu pada mulanya memang tidak ada. Mereka ada hanya sebagai gambaran-gambaran yang bersemayam secara rapi di dalam Allah Ta’ala. Semacam konsepsi tentang ide di dalam ruang lingkup filsafat Plato (427-347 SM). Andaikan tak tersentuh oleh kehendak kehadiranNya, sampai kapan pun gambaran-gambaran itu akan tetap meringkuk hanya sebagai “lukisan-lukisan abstrak” yang tidak akan pernah kunjung beranjak menjadi kenyataan demi kenyataan.

Ketika Allah Ta’ala yang memiliki kehendak mutlak menginginkan terealisasinya gambaran-gambaran itu, Dia menyemprongkan an-Nur yang merupakan salah satu namaNya terhadap seabrek gambaran tersebut. Dan yang pertama kali meluncur dari pertapaannya tak lain adalah nur Muhammad atau yang juga dikenal dengan sebutan al-haqiqah al-muhammadiyyah yang merupakan cikal-bakal bagi seluruh anasir semesta yang lain.

Rumusannya berarti begini: realitas adalah sama dengan gambaran yang ditambah sekaligus dicampur dengan an-Nur. Tentu saja dalam konteks ini yang disebut sebagai realitas itu tidaklah sama persis dengan segala sesuatu yang empiris yang bisa dijamah dengan potensi indrawi sebagaimana yang ditengarai oleh para ahli fisika. Tidak demikian. Malaikat, jin, Lawh Mahfuzh, Kursi, Qalam, ‘Arsy, Sidrah al-Muntaha, Mustawa, ar-Rafraf al-A’la dan lain sebagainya, dalam konteks paradigma dan pemahaman ini semua nama atau sebutan tersebut termasuk dalam kategori realitas.

Jelas sudah sekarang bagi kita bahwa seluruh makhluk yang bertebaran di semesta alam raya ini sepenuhnya bernuansa dan berasa Allah. Pasti. Tidak mungkin tidak. Karena tidak ada sebutir atom pun yang tidak berasal-usul dan tidak bernisbat kepada Allah Ta’ala. Ada stempel keilahian pada segala sesuatu yang tak mungkin bisa dihapus oleh siapa pun. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa seluruh alam raya ini sepenuhnya merupakan miniatur dari kehadiranNya sendiri.

Berarti apa yang disebut sebagai yang selain kehadiranNya itu tidak betul-betul ada. Juga tidak akan pernah ada sebagai sesuatu yang otonom atau mandiri. Sampai kapan pun. Keberadaannya, secara hakiki, tak lain merupakan keberadaan Allah Ta’ala jua. Sebagaimana keberadaan ombak atau gelombang yang sejatinya merupakan action dari eksistensi samudra. Keberadaan ombak atau gelombang itu adalah keberadaan samudra itu sendiri. Bukan representasi dari sesuatu yang lain.

Karena itu, kita dapat memastikan dengan mutlak bahwa di mana-mana ada makhluk, maka di situlah pasti ada kehadiran dari asal-usul makhluk itu sendiri yang tidak lain adalah Tuhan semesta alam. Tidak mungkin tidak. Karena tidak mungkin ada satu pun makhluk yang bisa eksis sebagai realitas tanpa disangga oleh wujud kehadiranNya.

Maka, sejatinya seluruh makhluk dari dulu hingga kapan pun tetaplah hanya sekadar himpunan dari gambaran-gambaran yang tidak pernah beranjak menjadi betul-betul sebagai jibunan realitas. Allahlah yang sungguh-sungguh real. Allahlah yang sebenar-benar kenyataan. Karena itu, menjadi tidak bisa terelakkan bahwa ketika kita memandang ke depan, yang kita saksikan dan rasakan hanya Allah Ta’ala belaka. Demikian juga ketika kita memandang ke belakang, ke samping kanan, dan ke samping kiri. Bahkan di saat kita memandang diri sendiri, yang kita temukan bukanlah siapa-siapa selain kehadiranNya jua. “Kita” sungguh berselimut Allah. Wallahu a’lamu bish-shawab.

Kuswaidi Syafiie
Latest posts by Kuswaidi Syafiie (see all)

Comments

  1. Junaidi Khab Reply

    Saya ingin komen, tapi tidak jadi, saya khawatir jadi bulan-bulanan opini pembaca atas ketidaktahuan saya.
    Yang jelas, Tuhan itu ada.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!