Bertekun di Sastra

Menikmati huruf-huruf

merasuk dalam hatiku

bergumul dengan ratu kesayangan

yang selalu kudambakan.

(Ramadhan KH, Buku, 1996)

Lakon korupsi di Indonesia belum tamat. Orang-orang sering mengartikan korupsi menggunakan undang-undang dan patokan moral. Korupsi merajalela. Jumlah koruptor di Indonesia semakin bertambah bukti misi berkorupsi seperti kepastian bagi orang-orang memiliki kuasa dan jabatan. Di mata Sindhunata, koruptor itu celeng. Di novel berjudul Menyusu Celeng (2019), Sindhunata menganggap orang serakah itu celeng bakal merusak dan menghancurkan Indonesia. Celeng di lakon korupsi Indonesia malah mewabah. Celeng cepat beranak-pinak!

Pada masa lalu, kita mengingat korupsi adalah novel. Orang-orang mungkin mengingat novel berjudul Korupsi gubahan Pramoedya Ananta Toer. Novel itu memang menguak bobrok mentalitas koruptor. Kini, kita ingin mengingat (lagi) novel garapan Ramadhan KH (1927-2006) berjudul Ladang Perminus. Novel penting bercerita korupsi tanpa kita melupa sekian novel sudah dipersembahakan Ramadhan KH: Rojan Revolusi (1969), Kemelut Hidup (1976), dan Keluarga Permana (1978). Ia pengarang prosa tapi pernah mengejutkan pembaca di Indonesia dengan buku puisi berjudul Priangan Si Djelita pada masa 1950-an.

Novel berjudul Ladang Perminus (1990) dianggap sastra kontekstual. Pengarang berani membuka aib korupsi di Indonesia masa Orde Baru. Novel mungkin gampang “diinjak” penguasa gara-gara ada sajian aib di pengelolaan negara, terutama di Perminus (Perusahaan Minyak Nusantara). Novel penting tapi mulai jarang terbaca lagi saat korupsi terus marak di Indonesia. Pada 2019, kita sudah kehilangan kaget jika ada pejabat atau elite politik ditangkap KPK. Kita menganggap hukuman penjara bagi para koruptor tak cukup. Hukuman berat ingin diberikan tapi belum dimungkinkan oleh undang-undang. Ramadhan KH pernah menguak aib Orde Baru meski dikenang pula sebagai pembuat buku bertokoh utama Soeharto. Ia menulis puisi, cerita pendek, dan novel. Ia pun mengerjakan buku-buku (auto)biografi.

Ramadhan KH di buku persembahan untuk Dennys Lombard  berjudul Panggung Sejarah (1999) memberi secuil kenangan saat dipilih mengerjakan buku mengenai Soeharto, penguasa besar di masa Orde Baru. Ia mengenang bahwa penunjukkan sebagai penulis untuk Soeharto gara-gara buku berjudul Kuantar ke Gerbang (1981) dirasa memikat. Semula, Ramadhan KH sudah membuat buku mengharukan bertokoh Inggit Garnasih dan Soekarno. Buku berjudul Kuantar ke Gerbang itu jadi bukti Ramadhan KH otoritatif di penulisan (auto)biografi para tokoh besar.

Ramadhan KH merasa berat dan ingin menolak pekerjaan bertokoh utama Soeharto. Ia mengenang pertemuan dan percakapan singkat bersama Soeharto: “Sambil mengisap cerutu, Presiden ngobrol ke sana ke mari dengan fokus bagaimana nanti menuliskan pengalaman hidup Pak Harto itu. Sementara itu saya masih berharapan, barangkali saja saya bisa mundur dari keharusan ini. Sebab, bagaimanapun rasa takut menyelip di hati. Jangan-jangan nanti saya membuat kekeliruan. Dan tudingan bisa terjadi. Malahan tidak mustahil, saya ditangkap tak tentu salahnya.” Episode tegang berakhir dengan penerbitan buku berjudul Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya (1989), disusun oleh G Dwipayana dan Ramadhan KH. Buku itu fenomenal bagi pembaca ingin mengenali Soeharto, setelah membaca buku garapan OG Roeder. Pada masa setelah keruntuhan rezim Orde Baru (1998), buku itu berharga mahal di pasar buku bekas dan langka.

Pada suatu masa, Ramadhan KH berkaitan dengan penguasa dan berani melempar cerita menguak korupsi dengan novel berjudul Ladang Perminus. Ia ada di babak sejarah tapi agak terlupa oleh para pemerhati politik dan korupsi di Indonesia abad XXI. Kita mendingan mengenang Ramadhan Kartahadimadja adalah sastrawan. Ia dilahirkan di Bandung, 16 Maret 1927, memilih menempuhi jalan kata. Ia mengabdi sebagai penulis dan memberi persembahan buku-buku bermutu.

Ia memiliki gairah menulis dengan pengembaraan ke pelbagai negeri. Istri Ramadhan KH adalah diplomat. Ramadhan turut mengikuti penempatan istri di pelbagai negara. Selama di Paris, istri tercinta pernah memberi sindiran berhumor pada Ramadhan KH. Sindiran atas “kemacetan” menulis puisi. Selama puluhan tahun, Ramadhan KH cuma menerbitkan buku puisi berjudul Priangan Si Djelita (1957). Ramadhan KH bingung memberi jawaban. Ia dalam buku berjudul Rantau dan Renungan (1992) mengenang masa indah di Prancis, 1974-1978: “Tahun-tahun itu menggugah saya untuk menimba sebanyak mungkin pengalaman hidup di tempat yang kesohor sebagai pusat kebudayaan Eropa… Toh, saya berhasil di tahun-tahun itu dengan buku berbentuk prosa, Kemelut Hidup dan Keluarga Permana. Itu balasan saya kepada Tines (istri) yang berolok-olok.” Di negeri asing, Ramadhan KH malah bergairah menulis berlatar Indonesia, tak tergoda bercerita manusia Indonesia berkelana atau berlatar Eropa.

Ia tak ingin bersombong pernah bepergian dan hidup di Eropa dengan mengerjakan novel berselera atau bergelimang nuansa Eropa. Ia terus saja “melihat” ke Indonesia. Urusan ia memuja dan terpengaruh sastra di Eropa dibuktikan melalui penerjemahan buku sastra Eropa. Pembaca di Indonesia beruntung mendapat hasil terjemahan Ramadhan KH untuk buku-buku gubahan Federico Garcia Lorca: Rumah Bernarda Alba (1957), Yerma (1959), dan Romansa Kaum Gitana (1976). Buku puisi Romansa Kaum Gitana menjadi acuan bagi pembaca puisi di Indonesia untuk pembuktian keterpengaruhan para pujangga tenar Indonesia atas kerja estetika Lorca.

Pada masa bocah dan remaja, gairah bersastra Ramadhan KH dipengaruhi oleh kakak, Aoh K Hadimadja. Di buku berjudul Ramadhan KH: Tiga Seperempat Abad (2002) susunan Ajip Rosidi, Ahmad Rivai, dan Hawe Setiawan, kita membaca: “Aohlah yang turut menumbuhkan minat Ramadhan pada sastra. Lewat kakaknya ini, Ramadhan muda mulai membaca majalah kebudayaan yang suka memuat sastra, terutama puisi. Lambat laun ia pun tergerak untuk menggubah sajak. Dikirimkannya sajak-sajak gubahannya sendiri ke redaksi koran Tjahaja yang terbit di Bandung pada masa pendudukan Jepang. Sajak-sajak itu dimuat di halaman koran tersebut. Maka menguatlah minatnya untuk jadi pengarang.” Sejak itu ia selalu beruntung menempuhi jalan sastra, meraih pelbagai penghargaan sastra, sejak masa 1950-an. Gairah sebagai pengarang ditambahi dengan kerja jurnalistik dan penulisan (auto)biografi para tokoh tenar.

Rosihan Anwar (2002) memiliki hubungan erat dengan Ramadhan KH sejak masa 1950-an. Pengarang dan jurnalis itu memuji Ramadhan KH turut mengawali misi mengenalkan sastra Indonesia ke pembaca di Eropa. Kerja itu dilakukan saat Ramadhan KH menemani istri menjalankan tugas di pelbagai negara. Ikhtiar mengenalkan sastra Indonesia itu belum semarak sekarang dengan kemunculan para pengarang tenar Indonesia dan penerjemahan sekian buku ke pelbagai bahasa asing. Semua itu dipengaruhi oleh acara-acara akbar: Frankfurt Book Fair dan London Book Fair. Ramadhan KH memilih cara lain.

 Peran Ramadhan KH dalam mengenalkan sastra Eropa ke pembaca di Indonesia pun semakin terbukti dengan kerja bareng Bertold Damshauser untuk penerjemahan sastra Jerman. Buku hasil terjemahan itu terbit di Indonesia berjudul Kau Datang Padaku: Antologi Puisi Jerman Abad ke-20 (Balai Pustaka, 1994). Di Indonesia, Bertold Damshauser mulai kondang dengan esai-esai kebahasaan, kritik sastra, dan penerjemahan sastra. Dulu, ia mengakui: “Suatu jembatan antara Jerman dan Indonesia telah berhasil dibangun, suatu jembatan berbentuk puisi. Tak mungkin saya kerjakan, kalau tidak ada seorang Ramadhan KH!” Ramadhan KH bertekun di sastra dengan kesantunan dan keseriusan. Ia pantas dikenang meski sekian buku tak lagi cetak ulang, pengecualian Kuantar ke Gerbang. Sekian buku mendapat penghargaan sastra bakal sia-sia jika tak ada kemauan menerbitkan lagi agar selalu mendapatkan pembaca di abad XXI. Begitu.

Bandung Mawardi
Latest posts by Bandung Mawardi (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!