
Seiris bibir kambing teronggok bisu dalam rubung lalat-lalat besar di pojok keranjang bambu. Bibir itu bukan dari sembarang kambing, tapi dari kambing jantan hitam berekor putih; kambing langka yang tak banyak orang tahu pada khasiat bibirnya.
Ki Landu menjelaskan dengan susah payah kepada Marti, istrinya—suaranya berat, napasnya tersengal-sengal dengan dada kembang kempis beriring batuk kering yang teramat panjang. Tapi istrinya tak hirau. Ia meludah sembari memalingkan wajah, sebelum akhirnya membuang bibir kambing itu ke aliran sungai di belakang rumahnya.
“Bibir untuk kompoy1 nanti di acara molang are2nya kenapa kaubuang? Bibir itu langka. Bibir yang bermanfaat untuk acara selamatan,” tangis Ki Landu pecah, meraung-raung. Meloncat-loncat seperti anak kecil di dekat sungai yang arusnya besar berbuih putih. Kedua matanya menyisir arah arus hingga ke ujung, tapi sia-sia. Bibir itu sudah lenyap di antara juntai daun-daun pandan.
#
“Kau tolol, kau singa, kau tak becus,” bibir Arin selalu nyerocos bagai banjir bandang yang tak bisa dibendung. Ia kerap mengumpat dan marah-marah di mana pun, dan kepada siapa pun. Kebiasaan buruk yang keluar dari bibirnya itu membuat banyak orang resah dan menuntut Marti, neneknya agar tegas memberi pelajaran kepada Arin atas kelancangan bibirnya itu.
Marti hanya menangis dengan isak dalam yang berantai dari waktu ke waktu sambil mengelus dada. Dirinya bukan tidak menasihati Arin, bahkan sudah lebih dari itu; ia sudah berkali-kali datang ke kiai dan dukun minta tolong agar bibir Arin tidak selalu berulah, tapi semuanya sia-sia.
“Nenek jangan tolol, jangan goblok, tak usah seperti macan, anjing, serigala, dan buaya. Tak usah hiraukan omongan orang-orang, lupakan bibirku ini,” ucap Arin nyerocos, sebagaimana biasa—saat bicara, ibarat sepeda ontel yang kehilangan rem saat turunan.
#
Kebiasaan buruk bibir Arin kini menyebar hampir sekampung. Teman-teman Arin banyak yang cerewet dan bicaranya nyerocos tak keruan kepada siapa pun tanpa bersikap sopan. Teman Arin yang dulunya pendiam pun seperti kerasukan jin berubah jadi perempuan yang doyan ngomel.
Banyak orang tua teman-teman Arin datang dan minta pertanggungjawaban kepada Marti atas perubahan sikap anaknya yang tak bisa mengerem bibirnya untuk tak banyak bicara. Mereka bilang kebiasaan baru anaknya itu karena tertular kebiasaan buruk Arin. Para orang tua itu tanpa sadar juga mulai tak bisa mengatur bibirnya di depan Marti. Mereka bicara panjang lebar, nyerocos tanpa jeda, keras, dan membentak sambil menunjuk-nunjuk muka Marti yang diam menunduk, menyembunyikan kedua matanya yang berurai butiran bening.
Dada Marti semakin sesak, bibir Arin belum bisa ia atasi, kini ada bibir lain yang tak kalah nyerocosnya dari bibir Arin.
#
Hari itu dada Marti serasa pecah. Orang-orang semakin banyak yang membenci dirinya lantaran masih tak bisa mengatasi bibir Arin yang tetap hobi nyerocos kepada siapa pun dan kapan pun.
“Bibir cucumu menular ke bibir anakku.”
“Gara-gara bibir cucumu, bibir anakku jadi rusak.”
“Kau lebih buruk dari cucumu. Ketidakmampuanmu mengatasi penyakit bibir cucumu, membuat penyakit itu menyebar ke bibir banyak gadis di kampung ini.”
Kata-kata itu selalu terngiang di telinga Marti, kadang menjelma pisau tajam yang terus-menerus mengiris dadanya. Untuk sedikit mengurangi rasa sedihnya, Marti duduk di tepi sungai yang ada di belakang rumahnya.
#
Pagi itu sisa gerimis menyisakan butiran-butiran halus dan silau di punggung daunan. Angin sedikit lembap bertiup lirih menyapu permukaan air yang tenang di tepian. Sedang kedua mata Marti mengikuti laju arus hingga ke arah hilir. Di sekitar juntai daun-daun pandan ia kemudian teringat dengan seiris bibir kambing yang dulu ia buang.
“Aku pernah membuang seiris bibir kambing di sungai ini belasan tahun silam ketika Arin masih bayi, tepat sehari sebelum ritual molang are-nya dilaksanakan.”
Spontan Marti berdiri dengan jantung berdebar.
“Sedianya bibir itu hendak digunakan untuk selamatan Arin oleh almarhum suamiku, tapi aku menolak dan membuangnya ke sungai ini,” gumamnya sambil melinangkan air mata. Ia jadi teringat respons suaminya ketika tahu seiris bibir kambing itu dibuang—ia menangis sambil melompat-lompat, dan sejak itulah ia jatuh sakit hingga akhirnya meninggal.
Marti beranjak ke hilir, lalu turun ke tepi sungai, air merendam kaki sampai bagian bawah pahanya. Ia singkap juntaian daun-daun pandan, berharap seiris bibir itu masih tersangkut di sana meski ia sadar sangatlah mustahil, ia lakukan itu hanya karena bias rasa bingung yang tak terperi.
Pada akhirnya ia memutuskan untuk menemui para tetua kampung guna menanyakan jenis kambing yang bibirnya punya khasiat mengobati bibir manusia yang suka nyerocos. Ia rela jalan kaki melintasi medan jalan setapak yang sudah banyak berselimut semak dan rumput liar, sebagian menanjak, berbatu, dan berduri. Rasa lelah, lelehan peluh, dan napas yang terengah-engah baginya lebih nikmat daripada harus mendengar ocehan bibir Arin dan bibir orang tua teman Arin yang terus minta pertanggungjawaban.
Marti butuh waktu sekitar lima hari untuk menemui tetua kampung satu per satu. Yang membuat Marti sedih, tak satu pun dari mereka yang tahu perihal ritual selamatan dari seiris bibir kambing itu—sebagian malah menyebut selamatan bibir kambing tak pernah dilakukan di kampung itu dan menyebut apa yang dilakukan suami Marti dulu hanyalah ilusi belaka.
Setelah tetua kampung tak ada yang tahu perihal itu, Marti memberanikan diri melakukan ritual tapa dengan tidur di dekat kuburan suaminya sendirian, berharap suaminya datang dalam mimpi dan memberikan petunjuk tentang jenis kambing yang bibirnya berkhasiat sebagaimana yang ia berikan kepada Marti dulu kala sebelum akhirnya Marti membuangnya ke sungai.
Berbulan-bulan lamanya ia tidur di kuburan itu, tapi tak pernah berhasil mendapatkan wangsit. Sementara rumahnya hampir setiap waktu didatangi orang-orang karena dianggap sebagai sumber penyakit bibir nyerocos yang melanda bibir banyak gadis. Parahnya, kini Arin sering dipukul ibu-ibu karena selalu nyerocos ketika ibu-ibu itu datang ke rumahnya minta pertanggungjawaban. Bahkan sebagian mereka mulai minta kepala desa agar memindahkan Arin dan Marti ke luar desa demi tak menularkan kebiasaan nyerocosnya ke bibir gadis yang lain.
#
Dengan meminta bantuan dua tetangganya, akhirnya suatu pagi Marti selesai menyembelih seekor kambing yang dibeli susah payah dengan menjual sepetak tanah satu-satunya. Kambing itu berwarna putih dan hitam di bagian kepala dan leher. Marti memilih kambing itu hanya berdasar perkiraan saja yang menurutnya sama dengan kambing yang dulu pernah dikatakan suaminya. Itu jalan satu-satunya yang bisa ia lakukan setelah tak ada jawaban dari tetua kampung dan tak ada wangsit dari suaminya meski bermalam-malam tidur di dekat pusaranya.
Saat seiris bibir kambing yang masih berdarah itu ditaruh pada selembar daun pisang beralas piring tua, mata Marti pelan-pelan tampak cerah, wajahnya juga mulai berbinar.
“Tidak apa-apa sepetak tanah satu-satunya itu harus terjual, demi bibir ini dan demi keselamatan bibir Arin,” getar bibir tuanya pelan, bersamaan dengan dua jari tangannya yang mengelus bibir kambing itu perlahan.
Daging kambing itu kemudian dibagi-bagikan kepada tetangganya. Ia sendiri hanya mengambil bagian bibirnya saja, dimasak, lalu disedekahkan bersama sepiring nasi kepada seorang yatim di sebelah rumahnya.
Beberapa hari setelahnya, hati Marti terasa tenang. Keceriaan terus terpatri di antara keriput wajah yang kerap dijuntai helai-helai uban dari celah kerudungnya. Ibu-ibu yang sering mendatanginya juga mulai tak ada setelah mereka tahu Marti telah melakukan ritual selamatan bibir kambing. Hingga belasan hari Marti tetap bersabar meski bibir Arin tetap saja nyerocos; memotong, menimpali, dan menukas lawan bicara dengan nada yang keras dan bertele-tele.
Setelah sebulan, Marti baru merasa jika bibir kambing itu sama sekali tak berguna karena mungkin bukan bibir dari jenis kambing yang dikatakan suaminya dulu. Arin semakin nyerocos, anak-anak tetangganya juga semakin banyak yang berbicara seperti Arin. Kini setiap waktu kampung itu dipenuhi keriuhan suara nyerocos dari bibir para gadis, persis ciap ribut anak-anak ayam yang ditinggal induknya. Ibu-ibu kembali mendemo Marti dengan bibir yang nyerocos juga. Kepala desa pun mulai datang dan pembicaraannya mengarah ke proses pemindahan Marti dan Arin ke luar desa.
Dada Marti terasa sangat sakit, ia kerap termenung di sungai belakang rumahnya sambil berangan untuk menceburkan diri demi mencari bibir kambing yang dibuangnya dahulu kala ke alam entah.
“Ya, aku harus mengambilnya lagi.” Giginya bergemeretak di antara tetesan air matanya.
#
Sore yang dijilam cahaya kuning wortel hanya memperdengarkan bunyi ricik air mengalir dan kecius angin yang menyisir dedaunan saat Marti memutuskan untuk menceburkan diri ke sungai. Setelah memastikan sekitar tak ada orang, ia lantas memejam mata beberapa menit di atas sebongkah batu sambil mengambil aba-aba dengan kedua kaki menjinjit.
“Ini bibir kambing jantan hitam berekor putih, Nek. Menurut kabar, bibir kambing jenis ini bisa dijadikan bahan selamatan, biar bibir tetangga tidak selalu nyerocos kepada Nenek.” Tiba-tiba Arin datang memegang lengan Marti dari belakang. Ia membawa seiris bibir dalam bungkus daun pisang. Perlahan Marti membuka mata dan menoleh seraya membalikkan tubuhnya hingga berhadap-hadapan dengan Arin.
“Di mana kau tahu perihal itu?”
“Nenek tak usah bertanya, yang penting bibir-bibir tetangga kita bisa diam, tidak nyerocos seperti bibirku. Nenek pokoknya harus ……..” Bibir Arin terus nyerocos.
Marti gemetar menerima bibir kambing itu, dilihatnya dengan mata nanar, diraba perlahan antara percaya dan tidak, sebentar ia bandingkan bibir kambing itu dengan bibir Arin yang masih terus nyerocos. Marti tak ingin bibir kambing itu hilang lagi sebelum acara selamatan. Dipegangnya dengan erat, seolah dirinya tengah menyelamatkan bibir Arin dari segala kutukan.
Gapura, 2022
- Cucu (Bahasa Madura)
- Ritual selamatan bayi, biasanya dibacakan selawat oleh para undangan.
- Puisi A. Warits Rovi - 2 July 2024
- Bibir dan Bibir - 5 August 2022
- Pulang ke Kampung Asing - 23 July 2021
Usdhof
Joss… Sae… lanjooot