Kita akan bicara baik-baik.
Aku tahu kita sudah lama bersama. Setidaknya dalam apa yang bisa kuingat dan apa yang bisa kuketahui. Tapi selama itu kita belum pernah bicara dengan cara seperti ini. Maksudku bicara jujur secara sengaja satu sama lain; berhadapan saling menghargai.
Kenapa baru sekarang? Mungkin kamu akan tanya begitu.
Lalu, kenapa tidak saat aku tahu bahwa kamu ada, saat menyentuh pertama, saat pemotongan pertama, saat lihat rontokannya di ruang cukur, saat di depan cermin tiap hari, saat muncul iklan sampo, atau saat muncul iklan cukur ketiak?
Aku tidak tahu. Mungkin karena aku masih terlalu gengsi, sombong, belum cukup umur, atau belum cukup gila untuk melakukan semua ini. Tidak, tidak, aku hanya bercanda. Mungkin juga karena aku belum beri kamu nama.
Beberapa tahun yang jauh, Hermann Hesse bicara dengan kompor dan dia menggoda kompor itu dengan nama Benjamin Franklin. Alkemis bicara dengan angin di padang pasir, lalu iseng memberi nama pada Sang Maut. Nabi memberi nama benda-benda miliknya.
Beberapa orang bijak dari Dinasti Ming bicara dengan potongan kuku mereka yang kemudian diberi nama sebagai ucapan terima kasih, sekaligus belasungkawa di Hari Raya Potong Kuku. Seorang rahib mengajarkan memberi nama pada kertas doa sebelum diselipkan ke celah Dinding Ratapan. Suhu Agung mengajari di tarekat Mason Bebas agar mengenali nama cawan ketukan. Orang Jawa memberi nama panggilan pada hewan ternaknya, bahkan memberi nama khusus pada si menjijikkan tikus rumah dengan Den Bagus; pada si sangar harimau dengan Mbah atau Kakek. Mereka juga memberi nama kesayangan pada sejumlah jin dan hantu yang karib dalam keseharian.
Tapi aku belum pernah memberimu nama selain istilah yang sama disematkan orang lain padamu.
Malahan baru kali ini mengajak kamu ngobrol. Itu pun gara-gara rentetan benturan momen. Pertama, di Jum’at Suci aku baru baca artikel Julien Morris edisi bahasa Inggris. Dia pemikir atavisme. Kolomnya ada di laman Fakta Madagaskar. Judulnya:
“Posisi Rambut dan Bulu-bulu Halus dalam Pandangan Nasionalisme, Agama, Komunisme, dan Kapitalisme.”
Kedua, aku pernah membicarakan itu sebelumnya dengan Mantili ketika menunggu Kereta Prameks. Dia bilang ingin nyambung rambutnya. Kutanyakan apa karena rambutnya bilang perlu disambung, atau hanya karena imajinasinya tentang model rambut bersambung? Maksudku imajinasi tentang diri-yang-ideal?
Dia ketawa lalu bilang mana mungkin ngomong sama rambut sendiri. Itu gila. Dan kupikir ini soal yang agak rumit buat dijelaskan pada Mantili. Mantili, sepanjang yang kuketahui, lebih suka berpikir di antara kurung buka dan kurung tutup telinganya sendiri.
Waktu dengan Narirati, dia ngerti. Dia menganggap biasa dan bisa saja bicara dengan apa saja. Benda-benda punya bahasa, hanya perlu dikeluarkan dari dalam diri mereka; dengan membuka jiwa kita yang tertutup atau membelah pikiran kita yang karatan.
Aku dan Mantili pisah karena persoalan cara pandang seperti ini. Kalau dengan Narirati pisah karena soal lain: dia punya hasrat dan obrolan mengerikan dengan mata pisau dan darah. Kuyakin kamu sudah tahu soal itu.
Dan sudah jelas kenapa kita baru bicara baik-baik seperti ini sekarang?
Ya, semacam baru ada benturan rentetan momen yang menyebabkan terjadinya eksplosi sesuatu. Kuyakin kamu ngerti karena kita berada di kepala yang sama.
Itu pembukaannya. Apa kamu perlu kusisir lebih dulu? Kuminyaki? Keramas? Kelabang? Atau apa yang sebenarnya kamu sukai?
Kadang aku ingin tahu mengapa pola cukur atas dirimu berkaitan dengan pola pikir kepala di bawahmu. Begini misalnya, kenapa secara institusional pola cukur pendek sering berkaitan dengan militer dan ploncoan remaja di bulan Agustus. Mungkin mereka lebih butuh jumlah peluru daripada jumlah rambut. Atau bagaimana? Mengapa perempuan, dalam narasi besar, diletakkan pada garis dominan rambut panjang dan laki-laki sebaliknya?
Sebagai bangsa rambut, mungkin kamu bisa menjelaskan. Juga warnanya. Tata letak, distribusi, dan dominasinya. Atau mengapa orang suci silam gemar berambut dan berjenggot panjang, tetapi pengikutnya malah kadang memandang rendah orang yang berambut panjang, hanya peduli jenggotnya, dan seterusnya, dan seterusnya.
Kamu mungkin masih ingat khutbahnya Ahmad Felsi yang berambut militer. Yang menunjuk rambut kami sebagai rambut kambing, bid’ah, sesat, kafir, neraka, halal darah, boleh dimampusin, sah! Dan gemeterlah kami takut mampus hanya karena rambut yang bikin tak enak hati.
Apa bedanya rambut kami dengan rambut orang utan? Kalau kejantanan dari jenggot, bukankah kambing juga punya jenggot? Mana menurutmu yang lebih penting; pembeda fisik atau pembeda laku? Huft, hisrukuprut hadapi hal macam ini. Emerekezot benar! Calon mertuaku sulit menerima argumenku. Ia kokoh seperti patung iklan semen. Dan akibatnya, aku gagal menikah awal tahun ini. Hanya karena beda prinsip tentang hukum tumbuh kembang dan sebaran rambut dalam tubuh manusia.
Itu kenapa aku ingin bicara baik-baik denganmu. Aku ingin tahu mengapa rambut atau mengapa dalam hal ini “kamu”, bisa menjadi masalah di antara “kami”?
Coba kamu ngomong, ya. Kalau cuma aku, nanti monolog ampas tahu jadinya. Lagi pula, omongan dalam pikiranku sering kali buruk, dipenuhi beban literasi, referensi, tidak fokus, atau apalah yang tidak sesegar es cincau di antara karavan unta padang pasir. Itu akan membosankan.
Jadi bicaralah. Atau kamu cemas sama gunting depan cermin itu? Pisau cukur? Jangan khawatir, akan kupindahkan. Perlu musik? Ok, jika tidak.
“Namaku?”
Jo.
“Joey Alexander?”
Bukan, bukan. Jo. Hanya Jo. Dan itu tanpa /ey/.
“Kenapa nggak boleh Joey Alexander? Kenapa kamu nggak tanya, aku inginnya nama seperti apa?”
Jo, ada dua hal—selalu dua hal. Pertama, aku tidak pandai main piano apalagi jaz, dan tidak pernah dan tidak akan pernah dijuluki “sons of the future”, jadi kamu yang notabene tinggal di kepalaku juga tidak pantas menyandang nama Joey Alexander. Kedua, kalau aku tidak memilih namaku sendiri, kenapa kamu ingin? Aku lahir, diberi nama oleh orang tua, diterima seumur hidup dengan sepenuh hati, bahkan kabarnya masih akan kukenakan setelah mati, saat dibangkitkan, dan pada masa sidang Hari Keadilan Semesta.
Kalau boleh milih, aku akan milih nama San Seroke, Uzere Quze Escobar Murup, atau bolehlah E.T. Bejita Imtaq, atau boleh juga satu paket nama colongan: Sabda Palon Rangga Amir Sutan Chairil Pramoedya Lubis Laksana Pareanom Dinata Kurniawan Pasaribu Anugrah Dani Johan Raga Guntur Gunawan Batubara, yang diringkas jadi S.P.R.A.S.C.P.L.P.D.L.K.P.A.D.J.R.G.G. Batubara. Tapi tidak boleh, kan?
Jadi, Jo, mengertilah. Kamu dan aku sementara ini akan menanggung nama yang sama-sama tidak kita pilih.
Dan sekarang katakan apa yang ingin kamu katakan.
“Aku kenal kamu bahkan sebelum kamu kenal aku. Kamu nggak kenal dirimu waktu di rahim dan aku kenal. Aku tumbuh di sana, lalu ikut lahir, lalu akan ikut kamu ke alam kubur, dan ikut dibangkitkan. Ikut ke neraka jika kamu ke neraka. Ikut ke surga jika kamu ke surga. Tidak ikut ke mana-mana, jika kamu juga tidak pergi ke mana-mana.”
Ya, kurang lebih.
“Kalau kamu tanya pendapatku tentang masalahmu, aku punya jawab. Tapi, biasanya agak berbelit. Dan mungkin membosankan.”
Tidak masalah. Setidaknya kita bisa ngobrol sedekat ini.
“Kalau kami sebangsa rambut ketemu dengan rambut-rambut di kepala orang lain, biasanya kami saling nyapa. Entah itu sebentar, misalnya pas nunggu kereta lalu sebelahan, hadap-hadapan, pas di dalam kendaraan, sebelahan di ruangan, nonton film, tidur bareng, dan lain-lain. Kami ngobrol hal yang ringan-ringan saja. Kecuali, pas di tempat cukur, biasanya kami ngobrol sambil nelangsa. Nggak jarang malah meratap, merasakan sakit, perpisahan.
“Bayangkan sendiri; bagian tubuh kami disikat dengan gunting, dibabat dengan mesin, disemprot dengan cairan kaku. Kami lihat di bawah kami berserakan, disapu, dikumpulkan dengan bangsa kami yang lain, lalu dibuat kelompok palsu bangsa kami, yang kadang kulihat sendiri dipakai buat sanggul di kondangan, buat kepala bencong di lampu merah, buat kepala artis di kotak kaca. Tapi itu lebih baik. Sering kamu dapati kami ini rontok, kan?
“Bukan karena ada yang kangen kamu, bos! Tapi karena kurang gizi dan di tempat cukur bagian tubuh kami sedang dibakar. Pernah cium bau rambut dibakar, kan? Bau kami dikremasi?
“Kata rambutnya orang suci, bukan yang putih, arwah kami bakal berdiam di semesta dan kelak jadi saksi atas isi kepala kalian. Berpikirlah sesuka otakmu mau radikal, moderat, mesum, malas, apa pun pokoknya, dan kami tahu. Kami di atas kulit kepalamu. Di bawah janggutmu, jika kamu punya. Di atas bibirmu, jika kamu juga punya; kami dengar apa yang kamu katakan. Dan di ketiak; kami pun paham deodoran jenis apa yang kamu pakai. Di tempat rahasia; kami tahu di usia berapa dan dengan siapa saja kalian pernah begituan atau setengah begituan.”
Sebentar, Jo. Mengapa jadi kesannya kamu mengancam?
“Perasaanmu saja. Eh, jam berapa sekarang?”
10:26. Ada apa?
“Kamu mesti ketemu Dewi Candra Kirana jam sebelas, kan?”
Terus?
“Biasanya kamu sudah bersiap lebih dulu untuk ketemuan awal. Sudah mandi, membersihkan aku, memberi minyak, lalu lihat aku di cermin. Hanya, seringnya tanpa ajak ngobrol.”
Jo, kamu belum jawab kenapa jadi masalah di antara kami, atau ringkasnya jadi masalah antara aku dan calon mertuaku.
“Itu masalahmu, bukan masalahku.”
Jo!
“Sudah kubilang itu masalah kalian, bukan masalah kami. Dengar, Bos, bagi bangsa kami, semua setara, semua sama saja kedudukannya. Letaknya juga itu-itu saja. Kecuali ada rambut di telapak kaki. Jadi, mau rambut kotor, mau rambut bersih, mau hitam mau putih, mau rambut Bob Marley atau rambut Bob Sadino, rambut Ratu Selatan atau rambut Rapunzel, rambut presiden atau pesinden, majikan atau jongos, kribo atau mohawk, penulis atau pembaca, sama saja di mata kami. Kalianlah yang membuat dan memandangnya beda.
“Kalian membangun kelas sosial berdasarkan model rambut: model pembunuhan dan pembentukan kami. Model ini berarti kelompok ini, model itu berarti kelompok itu.
“Kalian membuat pasar dengan iklan harian pembersih kami, beberapa pembantaian ketombe, dan bayangan kemewahan kemilau kinclong. Kalian yang melakukannya. Membuat salon mewah dan tempat cukur pinggir jalan. Kalian pula yang menentukan ritual dan perayaan berhubungan dengan rambut, membuat sihir-pelet-santet dengan rambut, nulis puisi dan cerpen tentang rambut, bahkan saling membenci gara-gara soal rambut. Kalian yang memperdagangkan kami dengan sering melebihi fungsi. Dan sekarang kamu ngajak ngobrol hanya mau tanya, atau sebenarnya malah mau menyalahkan, gara-gara cara pandang rambut yang membuat ribut kamu dan calon mertuamu itu?! Wehe werekozet sekali, Bos!”
Jo, menurutmu bagaimana kalau aku cukur gundul saja?
(2016)
- Sastra di Antara Fiksi dan Fakta Virus Corona - 15 April 2020
- Pemburu - 21 February 2020
- Bisikan Menulis Novel dari Peraih Nobel - 20 April 2019
Teguh
Sampe segitunya, mas? Hehe
Cindy Silvy Foresty
Cerita tentang hal sederhana “RAMBUT” tetapi memiliki makna yang luar biasa. ini recomended banget !!!
Ika Yuliana
Bagus bangeeet 😆 aku suka gayamu Jo.