
Khazanah novel atau roman sastra Indonesia mutakhir miskin dalam genre bildungsroman. Sebutan bildungsroman mengacu fokus arti novel pendidikan dalam balutan kisah petualangan yang menekankan perubahan nasib karakter tokoh demi mutu hidup. Kisahannya naratif, panjang, dan memakan halaman tebal. Bildungsroman bergaya erosentrisme, Eropa punya. Konon cerita memusar pada anak-anak bangsawan bak Raden Kamajaya dan Dewi Ratih. Penuh petualangan hidup. Pangeran dan putri, tampan dan cantik tak bercela. Singgasana dan harta. Akhir cerita tak berdenyut, tetapi penuh inspirasi kejut untuk menata ulang mutu hidup ini.
Ciri-ciri bildungsroman ini sedikit dibongkar dalam novel tebal Cahaya di Penjuru Hati (2017) karya Alberthiene Endah. Novel anyar setelah Alberthiene sukses ekranisasi (filmisasi novel) Athirah yang mengunggah perempuan petarung hidup ibunda Wapres RI, Jusuf Kalla. Kini pembaca novel pun pasti segera bertanya, “Bagaimana seri trilogi atau tetralogi yang gemilang diluncurkan Andrea Hirata, Habiburrahman el Shirazy, Dewi Lestari, Ayu Utami, Ahmad Fuadi, atau Tere Liye?” Bahkan, Lilimunir C., Titis Basino, dan Fira Basuki pernah menggarap novel serupa.
Dibanding deret karya mereka, novel Alberthiene ini jauh lebih lengkap dan kompleks. Tidak semata-mata menggumuli sketsa hidup seseorang atau fragmen perjalanan hidup. Akan tetapi, bak pendekar, tokoh-tokoh cerita sudah ditempa aneka jurus dan tabiat semenjak usia kanak-kanak, pubertas remaja, dewasa, tua, hingga dijemput kembali Sang Khaliq. Nuansanya romantik religius.
Sedikit melongok ke belakang, beberapa tahun lalu, A. Fuadi sukses promosi novel Ranah 3 Warna yang dilabeli national best seller. Novel ini menjadi buku kedua, sekuel dari trilogi Negeri 5 Menara (N5M) yang terbit lebih dahulu. Menurut catatan beberapa situs, N5M menjadi novel super-booming yang melampaui produk-produk novel gaya dwilogi, trilogi, ataupun tetralogi sezaman. Begitukah?
Selentingan inilah mengusik riak sastrawi. Laris karena selera pasar semata ataukah tren arah membaca karya sastra kita yang membaik? Atau justru imbas dari serentetan gaya novel trilogi atau tetralogi yang masih booming bak kacang goreng.
Sebagai pemain baru untuk komunitas novelis, A. Fuadi tentunya masih meraba-raba antara jaringan pasar (konsumen), novel pesaing, dan kualitas karya. Tanpa analisis yang mendalam, ia sukses merebut pasar dan berani bertengger di papan atas dalam daftar novel ciamik. Sekarang yang menjadi pertanyaan, kuat berapa lamakah daya edar mutu novel-novel tersebut? Dengan kata lain, seberapa bermutukah novel A. Fuadi untuk kompeten mengguncang jagat sastra Indonesia?
Membandingkan novel laris Ranah 3 Warna dengan Negeri 5 Menara terasa beda mutu. Padahal ada satu sekuel lagi sebagai penggenap trilogi. Banyak pembaca yang menyanjung bahwa novel baru A. Fuadi bagus. Idealis. Cetak ulangnya supercepat. Laris. Dus, novel A. Fuadi komersial. Sisi inilah menjadi awal kebuntungan.
Sinyalemen tersebut menggelitik pikir untuk segera mengapresiasi gaya cerita yang sering digunakan oleh A. Fuadi. Dengan memakan jumlah halaman yang tebal, seyogianya novel tersebut menghadirkan amuk semiotik, histeria tikungan-tikungan maut untuk ikon-ikon sastrawi, ataupun tarung batin yang terekspos melalui tokoh dan penokohan serta kemasan ide-ide gila. Akan tetapi, yang muncul justru hamparan cerita atau sajian panorama kisah yang datar, stereotip.
Ide cerita tidak sepenuhnya didukung teknik penceritaan. Teknik telling (kisahan atau uraian pengarang) dan showing (ragaan atau dialog) nyaris tidak membangun konflik utama. Akibat yang terasa mencolok bahwa cerita terbawa pada kelana peristiwa. Hinggap di satu intrik, meloncat ke intrik yang lain. Gaya cerita seperti tukang lapor. Rakitan kata belum menjiwa sastra. A. Fuadi belum mengebor diri ke dalam ceruk kehebatan layaknya jurnalis media yang peka dan titen mengunyah situasi-kondisi. Bukankah A. Fuadi mempunyai modal fasih berbahasa asing dan sukses meraih prestasi dan beasiswa? Ini tantangannya.
Mengikuti alir ide dalam novel Ranah 3 Warna, novel ini tak ubahnya catatan harian yang dipermak. Tampak serasa sketsa kisah yang dibumbui batas-batas orang yang paham cara bercerita dengan lancar, komunikatif dengan diksi (pilihan kata) yang berarti kamusan, dan urut layaknya sajian berita. Untuk alasan ini, tidak cukup afdal jika A. Fuadi semata-mata bermain apologi ”sedang belajar menulis novel”.
Setidaknya ada delapan kritikan berikut perlu didiskusikan lebih intensif. Pertama, paparan tema, fakta cerita, dan sarana cerita sebenarnya simpel. Ikatan unsur intrinsiknya gamblang. Tema yang dirangkai dengan dua “mantra” man jadda wajada (teguh sabar menghadapi cobaan hidup) dan man shabara zhafira (yang sabar akan sukses dan beruntung) justru semata-mata tidak membelit penceritaan. Mantra tersebut tidak beda jauh dengan moto atau semboyan. Moto ini untuk mewujudkan mimpi cerdas si tokoh. Yang menjadi pertanyaan, seberapa intensif mantra itu dijiwai oleh tokoh-tokoh cerita?
Kedua, tokoh protagonis (Alif Fikri) belum menunjukkan pergulatan batin yang mumpuni. Tidak tampak rekayasa imaji untuk sungguh-sungguh menggarap karakter tokoh. Totalitas hidup tokoh belum mencuat. Banyak uraian cerita masih menggunakan gaya bahasa harian, tidak nges dan menggigit untuk kategori sastra, atau belum nyastra yang membiaskan sistem tanda. Meminjam istilah kritikus gaek, Prof. Rachmat Djoko Pradopo, protagonis masih berbahasa sumir, serebral, belum berdaya, tetapi baru bergaya secara verbalistis literer.
Ketiga, nyaris tidak ada dua kubu konflik yang menggetarkan. Hal ini disebabkan underan masalah tidak tersampaikan. Manakah satu kumpulan masalah untuk satu kubu yang dibenturkan dengan satu kumpulan masalah untuk satu kubu yang lain? Sebab konflik sangat berbeda dengan komplikasi, apalagi cuma sekadar kumpulan masalah. Konflik adalah benturan komplikasi masalah. Yang menjadi pertanyaan utama, di manakah letak konflik itu terjadi?
Keempat, setting tiga lokasi antara Maninjau (Bandung-Jawa Barat), Amman (Yordania), dan Kanada (Amerika) lebih menggiring perpindahan fisik tokoh secara fragmentaris. Setting dibiarkan menggelinding. Setting belum dioptimalkan membentuk karakter unik si tokoh. Akibatnya, jika judul novel (Ranah 3 Warna) coba dibenturkan pada bangunan novel, tentu saja sebatas menyajikan panorama di setiap ranah warna. Artinya, millieu budaya setiap daerah tersebut tidak begitu berarti bagi perkembangan mutu hidup si tokoh. Tokoh hanya bermain wisata. Tokoh didaulat melancong sehingga muncul sindiran cultural commuter. Meminjam istilah yang ditawarkan Prof. Faruk HT, sang tokoh tidak lebih dari pejalan budaya yang kagum melampiaskan angan dan mimpi.
Kelima, ending cerita begitu ciut jika seolah-olah sekuel ini dipaksakan rampung dengan tali asmara yang gagal disimpulkan oleh tokoh Alif Fikri. Cerita memang menjadi cooling down, tetapi secara sastrawi justru novel ini terengah-engah membangun plot.
Keenam, sketsa ke-51 tentang “Pulang Kampung” menjadi ironi cerita. Muncullah kesan sketsa yang menempel. Jeda waktu penceritaan yang terlalu lama (sebelas tahun kemudian…) tanpa proses yang jelas justru menjadi benalu seluruh cerita.
Ketujuh, kosakata daerah baru tampil sebagai aksesori penceritaan, pemanis, dan khazanah bahasa. Kosakata tersebut belum diolah sebagai gereget (passion) yang mengguncang batin, menelikung pribadi, atau membelit karakter tokoh. Akibatnya, kosakata daerah sekadar terpajang apa adanya, letterlijk.
Kedelapan, di salah satu lembar catatan kaki ada keterpelesetan yang mengganggu ketika merumuskan rima pantun menjadi /abab/ dan /aaaa/. Sebab menilik satu sketsa tentang “kesatria berpantun” jelas yang dimaksud rima adalah rima pantun dengan rumus paten /abab/ yang menempatkan dua larik sampiran /ab/ dan dua larik isi /ab/. Bukankah rima /aaaa/ yang menempatkan keempat lariknya adalah larik isi disebut syair? Bukankah pantun berbeda dengan syair? Ada satu simpulan besar bahwa kegaduhan cerita, banyaknya diksi daerah di catatan kaki, dan ketebalan halaman belum mengilatkan ikon-ikon sentral sastrawi.
Mau dibawa ke manakah novel Ranah 3 Warna ini? Nah, kibasan mulai mencakar ketika novelis Tere Liye dan Alberthiene Endah unjuk gigi untuk merapatkan barisan novel top.
- Gandrung Berpikir Kritis Akibat Jemawa Logosentris - 13 April 2019
- Bildungsroman, Basa-Basi Verbalistis Literer - 31 August 2017