Bintang-Bintang di Samarinda

Aming punya cerita sedih. “Aku melihat orang-orang yang ingin jadi bintang,” katanya. “Lalu mereka benar-benar jadi bintang. Dan bagaimana pun, itu sangat menyedihkan.”

“Jika keinginan mereka,” kataku, “maksudku, keinginan orang-orang itu terwujud, seharusnya itu menjadi kisah yang membahagiakan.”

Aming menghela napas panjang. “Tidak persis seperti itu,” katanya.

Aming suka bermain gitar dan bernyanyi. Pada malam-malam tertentu, ia akan pergi ke tepi sebuah rawa di kawasan Pramuka dan bermain gitar serta menyanyikan lagu-lagu yang sedang populer. Beberapa biawak akan mengintipnya dari balik semak, dan sejumlah ikan berenang-renang dekat permukaan air rawa yang keruh, menyembulkan mata mereka yang bengkak.

“Itu hobi yang aneh,” kataku. “Kau seharusnya bernyanyi di kedai atau di tongkrongan bersama kawan-kawanmu.”

“Aneh?” kata Aming. “Aku kira tidak. Aku menyukai suasana seperti itu. Ketenangan yang paripurna. Dan kau harus melihat bagaimana daun-daun bergoyang sewaktu aku bernyanyi atau air yang beriak pelan setiap kali aku memainkan melodi lembut.”

Dan pada suatu hari, seorang kawannya menemui Aming. “Mereka membuka audisi di Samarinda,” kata si kawan.

“Siapa?” Aming bertanya.

“Orang-orang televisi dari Jakarta,” kata si kawan. “Untuk sebuah ajang pencarian bakat. Kau harus ikut. Bagaimana pun kau harus ikut. Kau akan tampil di televisi dan menjadi bintang besar.”

Aming merengut pelan. “Aku tidak mau menjadi bintang,” katanya. “Aku hanya ingin bernyanyi dan bermain gitar di tempat yang tenang.”

“Ah,” si kawan mendengus kesal. “Omong kosong apa lagi ini? Kau harus ikut. Kau tidak boleh menyia-nyiakan bakatmu. Lihat, aku sudah mendaftarkanmu.”

Si kawan kemudian meyodorkan selembar kertas formulir. Dan Aming melihat namanya tertera dalam kertas tersebut.

“Lusa,” kata si kawan. “Di GOR Segiri. Kau harus bernyanyi di sana. Dan kau akan lolos audisi. Dan kau akan mengikuti putaran final di Jakarta. Lalu semua orang di Indonesia akan mengenalmu. Dan gubernur akan bangga kepadamu dan memerintahkan semua orang Kalimantan Timur menyambutmu sepanjang jalan ketika kau pulang. Lalu seluruh kehidupanmu akan berubah. Kau akan menjadi bintang dari Samarinda.”

Aming menghela napas panjang sekali lagi. “Tapi aku tidak mau,” ia masih berusaha berkelit.

“Tidak ada alasan,” kata si kawan. “Sampai jumpa lusa.”

Bagaimana pun juga, Aming datang pada hari audisi. Di gerbang GOR Segiri, ia melihat antrean orang mengular panjang. Dan itu membikin ia bertambah enggan.

Ia berpikir untuk kembali pulang. Namun tiba-tiba, seseorang menepuk punggungnya.

“Aku tahu kau pasti datang,” kata si kawan yang sudah berada di sampingnya. “Insting bintang dalam dirimu tidak akan membiarkanmu melewatkan kesempatan emas ini. Bagaimana pun, kau akan jadi pemenang.”

Aming menggeleng. “Lihat antrean itu,” katanya. “Orang-orang itu tampak sangat serius dan berbakat. Aku tidak ada apa-apanya dibanding mereka.”

“Mereka boleh berbakat,” kata si kawan. “Tapi dibandingkan kamu, mereka hanya badut.”

Dan memang ada badut di antara antrean orang-orang itu. Si badut tampaknya datang jauh lebih awal ketimbang Aming, dan karena itu ia mendapat kesempatan masuk ke dalam ruang audisi jauh lebih dulu ketimbang Aming. Namun setelah beberapa saat, si badut keluar sambil menangis.

Aming melihatnya dan si badut juga melihat Aming.

“Apa yang terjadi?” Aming bertanya.

“Kebiadaban,” kata si badut sambil terisak. “Benar-benar kebiadaban. Kau tahu, para juri yang menilai di dalam sana hanyalah sekumpulan orang yang cuma tahu cara menghina.”

“Apa maksudmu?”

“Mereka mengatakan aku bukan badut,” si badut menjerit. “Mereka menyebut aku tikus got dan tidak akan ada kesempatan bagiku untuk menjadi bintang!”

Lantas si badut berlari sambil menutup wajahnya.

Si kawan menepuk Aming dari belakang. “Para juri akan terpesona dengan bakatmu,” kata si kawan. “Kau tidak usah mempedulikan badut itu. Dilihat dari dandanannya, ia memang lebih pantas jadi tikus got.”

Hari sudah beranjak siang ketika antrean di gerbang GOR Segiri semakin pendek dan Aming mendapatkan tempat duduk di depan panggung tempat audisi digelar. Dari tempatnya duduk, ia mendengar satu per satu peserta dipanggil oleh pembawa acara.

Seorang pemain sampek yang menurut para juri hanya membikin kuping iritasi.

Seorang pemain sirkus yang menurut para juri seharusnya main di depan buaya di Sungai Mariam.

Seorang penyanyi yang menurut para juri suaranya tak lebih merdu ketimbang deritan pintu rusak.

Seorang penari yang menurut para juri lebih cocok mengamen di pinggir jalan.

Dan seterusnya.

Aming merasa tidak nyaman. “Mereka, maksudku para juri itu,” kata Aming kepada si kawan, “hanya mencari cara untuk mencela orang lain. Mereka tidak mencari bakat atau bintang.”

Dan si kawan tersenyum. “Kau akan lolos,” kata si kawan. “Aku mungkin tidak, tapi kau. Kau pasti lolos. Percayalah.”

“Kesenian seharusnya menyenangkan,” kata Aming. “Namun para juri itu membuatnya menjadi teror.”

“Sudahlah,” kata si kawan. “Jangan banyak bacot.”

Dan Aming diam.

Dua nomor sebelum nomor antrean Aming, seorang lelaki tua bertelanjang kaki tampak naik ke atas panggung. Orang-orang menyoraki lelaki itu dan pembaca acara tertawa melihat si lelaki.

“Kai mau apa di sini?” si pembawa acara menyapa si lelaki. “Ini ajang pencarian bintang, dan sepertinya Kai tidak bisa menjadi bintang.”

Semua yang berada di sana tertawa. Juri-juri juga tertawa.

Dan si lelaki tua tersenyum kecil.

“Saya punya sulap,” kata si lelaki.

“Sulap?” si pembawa acara menegaskan.

“Sulap yang akan membuat keinginan semua orang di sini terwujud,” kata si lelaki.

“Wow,” si pembawa acara terperangah. “Baiklah, kalau begitu mari kita mulai.”

Si lelaki merentang tangan dan meminta semua orang yang hadir menutup mata.

“Kalian adalah bintang,” kata si lelaki lantang, “maka bayangkan kalian adalah bintang.”

Orang-orang tertawa.

Dan si lelaki kembali mengulang apa yang barusan ia katakan. Tiga kali ia mengulang kalimat itu, dan perlahan-lahan, semua orang menutup mata.

“Kalian akan melayang,” seru si lelaki. “Kalian akan terbang ke langit, karena bintang selalu berada di langit.”

Dan orang-orang merasa dirinya melayang.

Dan orang-orang benar-benar melayang.

Beberapa orang membuka mata dan berteriak panik.

“Apa yang terjadi?”

Namun sudah terlambat. Mereka terus melayang. Mereka terus melayang. Semakin lama semakin tinggi. Dan mereka baru berhenti setelah menjelma titik-titik bersinar di langit tinggi.

“Begitulah yang terjadi,” kata Aming.

“Tapi kau tidak terbang dan menjadi bintang di langit tinggi,” kataku. “Apa yang terjadi?”

“Aku tak tahu,” kata Aming. “Mungkin karena aku tak pernah benar-benar ingin menjadi bintang. Aku hanya ingin bermain gitar dan bernyanyi di tepi rawa. Itu sudah cukup.”

Aku mengangguk.

“Dan si pesulap itu,” kataku, “apa yang terjadi kepadanya?”

“Aku tak tahu,” kata Aming. “Aku tak ingin tahu.”

Aku mengangguk sekali lagi.

Dadang Ari Murtono
Latest posts by Dadang Ari Murtono (see all)

Comments

  1. Dalbo Reply

    Ceritanya bagus, tapi Samarindanya kurang di ceritakan gitu, Mas Dadang bukan orang Samarinda sih ya, diganti aja judulnya Mas, “Bintangbintang di Balung bendo”, misalnya.
    Becanda Mas.
    Nanti saya beli bukunya Mas Dadang, janji saya

  2. Andini Reply

    Siapapun yang baca komentar ini, semoga bisa menjawab pertanyaan ku.
    Untuk gambar yg ada di bagian atas cerpen ini penulis yang edit sendiri kh? kalau iya caranya gimana ya 🙏

    • Admin Reply

      gambar dari redaksi, kak. penulis hanya mengirim tulisan.

  3. nayzra Reply

    gue ga ngerti?? ada yg bisa jelasin?

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!