Sejak asal mula, manusia menyatakan janji setia kepada penciptanya—janji ruhani ini menjadi cikal bakal segala kesetiaan dalam keseluruhan belitan hidup mereka. Bahkan dapat dijadikan sebagai penanda atas kesunyian ruhani seseorang di tengah keriuhan para hipokrisi yang menari-nari.
Tersebab manusia memiliki salah dan lupa, selalu dipenjara oleh bendungan hawa nafsu yang menggebu-gebu, janji-janji setia tersebut diperbaharui terus-menerus setiap hari; setidaknya lima kali dalam sehari semalam. Tak lain dan tak bukan, untuk menolak lupa atas gen estetik kesetiaan.
Dapat dibuktikan secara ilmiah, orang-orang yang berpegang teguh atas janji setia di alam asal mula, memiliki keteraturan, keseimbangan, kenyamanan, kenormalan, kebahagiaan, cinta, dan segala nilai-nilai lain yang mencerminkan diri sebagai manusia yang setia.
Itulah sebabnya, monumen-monumen kesetiaan dibangun sedemikian megah; Candi Prambanan merupakan monumen setia Lara Jonggrang dan Bandung Bondowoso, Taj Mahal dibangun sebagai monumen kesetiaan Shah Jahan kepada Mumtaz Mahal, bahkan dalam proses pembangunannya melibatkan 22.000 buruh dan 1.000 gajah.
Yang lebih menegangkan lagi, sebuah janji kesetiaan yang pernah tertera dalam sebuah nisan yang terletak di Desa Sinderan, Pacitan. Pernyataan cinta setia itu divisualisasikan dalam sebuah teka-teki di cungkup tua yang di bawahnya terdapat tulisan begini:
Z ? G JX F X F N T B D F W E F
D X W B U J H R V W W G Z E B Q
Z Z Z B ? G K B M A G X B Z M Q
Teka-teki tersebut cukup membingungkan dan tak seorang pun di Pacitan mengerti makna janji setia tersebut. Dan pada akhirnya, ada seorang peneliti dari Belanda turun tangan, mengungkap di balik teka-teki setia ini. 20 Oktober 1990 lalu, peneliti Willem G.J. Remmelink (1995:18), mengumumkan bahwa teka-teki yang ada di atas nisan pribumi yang bernama Djamijah ditulis oleh seorang lelaki setia bernama Marcus Jacobus van Erp Taalman-Kip yang memiliki makna sebagai berikut:
“Untuk istri yang sangat kucintai, Djamijah. Terlahir 1873 meninggal 12 Desember 1901. O, Djamijahku! Bunga mawarku (rose of sharon). Bagaimana aku dapat mengungkapkan rasa cinta dan hormatku kepadamu? Seluruh dunia ini menjadi sempit bagiku. Apakah aku akan bertemu denganmu lagi? Seandainya ada kehidupan di alam baka, tentu kamu sekarang ini ada di surga. Kamu sungguh sangat baik dan begitu saja terlempari kotoran. Karena itu, aku akan menempuh jalan sulit melewati Golgotha dan menemuimu kembali. Sampai kita ketemu lagi!”
Kerumitan kesetiaan cinta tersebut tentu tak dapat diartikan sebagai sesuatu yang sederhana. Bagaimana mungkin seorang yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda bersatu padu dalam sebuah janji setia? Keharuman batin kesetiaan itu diterjemahkan dalam dunia dan aksi yang sangat nyata. Sehingga sejarah hidup kita sendiri mencatat bahwa kesetiaan adalah lompatan dan pencapaian dari puncak ruhani manusia.
***
Kesetiaan yang bersumber dari mata air ruhani tersebut terus-menerus mengalir dalam saluran-saluran kehidupan setiap hari. Dalam dunia kerja misalnya, seorang buruh menyatakan setia kepada perusahaan di mana mereka bekerja—yang kemudian dalam istilah kerennya disebut “loyalitas”. Dan pernyataan setia itu benar-benar ditepati yang dicerminkan dalam ruang etos kerja yang baik.
Begitu pula sebaliknya, perusahaan akan memberikan penghargaan yang tinggi atas loyalitas dan kesetiaan para buruh dengan memberikan imbalan yang setinggi-tingginya. Sehingga antara buruh dan perusahaan terjalin gayung bersambut dalam sebuah frame kesetiaan.
Dalam dunia politik misalnya, para pejabat dan wakil rakyat menyatakan janji setia kepada rakyat. Lalu pejabat dan wakil rakyat itu benar-benar mematuhi janji setianya dengan cara merealisasikan janji-janji tersebut dalam bentuk program kerja nyata dan muara segala tindakannya adalah kepentingan rakyat.
Dalam dunia rumah tangga misalnya, janji kesetiaan diikrarkan begitu rupa, baik secara personal maupun di depan wali dan penghulu. Janji setia itu ditandatangani, diucapkan, dan harapannya dapat diterjemahkan dalam deru cinta nyata yang agung. Sehingga rotasi dalam rumah tangga berjalan seimbang layaknya perputaran matahari dan bulan.
Memang, relung-relung kehidupan ini memiliki kesetiaannya sendiri-sendiri berdasarkan caranya sendiri-sendiri. Kesetiaan adalah asal dari segala keharmonisan di seluruh lini kehidupan. Kesetiaan adalah kampung halaman setiap sikap dan tindakan.
Bagimu yang tidak bisa menjalankan janji setiamu, tidak akan pernah dapat menanggung perihnya sepanjang hidupmu.
Dan suatu waktu, Natalia, tokoh citraan dalam cerpen Angeles Masteretta, sastrawan kelahiran Meksiko, yang berjudul Aunt Natalia Esparza mengatakan seperti ini di akhir ceritanya:
“Sesungguhnya, setiap orang adalah milik tempat asalnya. Karena, suka atau tidak, ke mana pun kau pergi, suatu saat akan memanggilmu pulang….”
Kini, kesetiaanmu sebagai muasal segalanya telah memanggilmu pulang….
Yogyakarta, 2 April 2016
- Biografi Kesetiaan - 3 April 2016
- Tuhan, Nabi, dan Kesakralan Sebuah Nama - 6 March 2016
- Sajak Buah Pinang; Puisi-Puisi Ahmad Muchlish Amrin (Madura) - 16 February 2016