Judul buku : Surat-Surat kepada Seorang Novelis Muda
Penulis : Mario Vargas Llosa
Penerjemah : An Ismanto
Penerbit : Circa, Yogyakarta
Edisi : Cet. 1, 2018
ISBN : 9786025264559
Halaman : Soft cover, book paper, 158 hal + v.
Di zaman media sosial kini, para penulis novel mudah dijangkau, bahkan beberapa dari mereka sengaja nongol buat cari perhatian, ingin ditanyai, dipasarkan, atau menunjukkan sikap tertentu, meski tidak sedikit yang memilih memberi batas; cukuplah karya yang ngomong dan keliaran, biar penulis asyik sendirian menanam kata-kata di papan ketik. Walaupun beberapa dari mereka gampang dilongok seperti tetangga sebelah, tidak lantas membuat penulis-penulis pemula langsung mengetuk layanan pesan, kemudian bertanya; halo, salam kenal, apa kabar, bagaimana caranya menjadi seorang penulis. Ada semacam rasa malu, atau mungkin bingung, atau bisa jadi gengsi buat melakukan hal sepenting itu.
Di zaman lalu pun, saat seorang calon peraih nobel sastra masih berusia muda, tepatnya di kota Lima yang kelabu dalam naungan diktator Jendral Odira, dia memiliki kegelisahan yang sama sebagai pemula; ingin jadi penulis, tapi bingung bagaimana caranya. Rasanya ingin kirim-kiriman surat sama penulis-penulis yang, saat itu, membuatnya terpukau; Faulkner, Hemingway, sampai Sartré. Dan yang muda, dan seorang yang gelisah itu, akan dikenal dengan Jorge Mario Pedro Vargas Llosa. Lahir di Peru, 28 Maret 1936, Mario Vargas Llosa meraih Nobel Sastra pada 2010. Karya-karyanya bukan hanya mencuri perhatian dunia, tetapi merampok posisi estetis yang prestisius dalam deretan para pencerita legendaris. Dan pengalaman nyeri, jejak gelisah dari masa silam telah mendorongnya buat menulis surat-surat pada novelis muda, dengan tanda: kamu.
Meski bergaya epistolari—Llosa menyebut genre semacam ini unggul dalam hal ringkasnya, surat-surat dari peraih Anugrah Cervantez ini tidak meringkas cara menulis novel, tidak pula meringkus teknik tertentu. Ia seperti bisikan-bisikan yang sering kali membuat kita mengangguk, hening, dan beberapa kali mengernyitkan dahi; o, benarkah? Rasanya seperti ditemani bapak peraih nobel yang membisikan peta harta karun, saat kamu sedang menunggu bus di berisiknya terminal pelatihan penulisan. Llosa piawai membuatmu merasa dekat untuk membicarakan cacing pita.
… aku sering membandingkan nasib penulis dengan nasib sahabatku José María itu saat ia memiliki cacing pita di dalam dirinya (hal.11).
Pekerjaan literer, menulis novel, akan mengisap peminatnya seperti cacing pita mengisap tubuh José María, sebagaimana isyarat dari Thomas Wolfe. Gagasan cacing pita ini menjadi landasan pertama dari Llosa, sebab, menurutnya, menulis bukan pekerjaan waktu senggang, menulis adalah cara lain untuk hidup, hidup untuk menulis, bukan menulis untuk hidup. Kalau serius, enyahkan ilusi awalan buat jadi seleb sastra dan kaya raya dari literer.
Mulailah dengan memberikan diri sepenuhnya, sebab hanya dengan sesembahan sepenuh itu, maka seorang novelis pemula akan mampu mulai mengubah dirinya menjadi catobeplas. Binatang ajaib ini muncul dalam karya Flaubert, kemudian Borges, sebagai mahluk mustahil yang memangsa dirinya sendiri, dimulai dari kaki. Ia, seperti tema novel, adalah bagaimana penulis memangsa dirinya sendiri, berakar dari kehidupan penulisnya yang berbanding terbalik dengan penari telanjang. Penari telanjang membuka lembar kainnya satu per satu, penulis sebaliknya, dari diri telanjang, kemudian berselaput-berselaput.
Tapi semua itu hanya jadi sehambar larutan kertas apabila tidak disertai kemampuan daya membujuk, baik dari sisi bentuk, maupun gaya bahasanya. Selain menyajikan demikian dalam surat-suratnya yang kadang seperti labirin, Llosa juga mendedah tantangan mengenai penguasaan empat kategori penting dalam fiksi; narator, ruang, waktu, dan tingkat kenyataan.
Alat lain yang digunakan narator untuk membangun daya membujuk dalam ceritanya adalah apa yang mungkin bisa kita sebut teknik “kemasan kotak China” atau matryoshka (hal. 117).
Kotak kemasan China bekerja dengan cara bagian-bagian yang identik secara berturut-turut kian mengecil dipasangkan di dalam bagian berikutnya, yang kadang-kadang kian berkurang hingga menjadi sangat kecil. Sederhananya, meski tidak sesederhana itu, semacam cerita berbingkai-bingkai. Llosa juga mendedah mengenai permainan fakta tersembunyi dengan mengambil contoh awal bagaimana Hemingway melakukannya, kemudian soal pembuluh penghubung antarperistiwa.
Surat-surat dalam buku ini, atau saya menikmatinya sebagai bisikan personal, diterjemahkan dengan lancar, meski kadang masih terasa terlalu ketat dan menyendat, tapi itu hanya di dalam sedikit tempat. Kandidat presiden Peru 1990 yang kalah suara dari Alberto Fujimori ini menambahkan adanya hal penting tentang kritik dan faktor-faktor lain seperti intuisi, kepekaan, kelihaian, bahkan faktor kebetulan dalam kerja literer.
Llosa merujuk karya-karya bernas dari berbagai belahan dunia yang membuat novelis muda mendapatkan banyak referensi, meski, dalam konteks tertentu sedikit mengalami kesulitan untuk mengakses karya-karya yang dirujuk Llosa dalam suratnya yang tersedia dalam bahasa Indonesia. Bisa jadi surat-surat semacam ini bisa membuat penulis novel kita, yang sering nongol seperti tetangga di internet, tergerak buat menulis yang sejenis, dan bagi para pembacanya, para novelis muda, tinggal mengetuk buku dan membuka halamannya.
- Sastra di Antara Fiksi dan Fakta Virus Corona - 15 April 2020
- Pemburu - 21 February 2020
- Bisikan Menulis Novel dari Peraih Nobel - 20 April 2019
Sln
Bacaan ny jelek.
Admin
“bacaan ny” atau “bacaannya”?
Anonymous
Gege
Anonymous
Kenapa?
Anonymous
pusing bacannya
Alma
Benar banget
Anonymous
Sip mantap
nakita
bisa kita jadikan contoh tuh 🙂