Brinduti memaksa seluruh sendinya masuk ke dalam Liang Kegundahan. Liang yang tiada seorang pun ingin masuk ke dalamnya, kecuali saat benar-benar putus asa dan ingin mati dalam keadaan gila. Tepat seperti itulah yang akan dilakukan Brinduti. Dibiarkannya dirinya dibelenggu pikiran-pikiran yang menghukum jiwanya agar perlahan-lahan keistimewaan menjadi gila itu menjadi miliknya.
Liang itu serupa badai emas yang sedingin salju. Segalanya kuning berkilau memabukkan, tapi sengatan dinginnya menusuk kesadaran sehingga kau tak bisa lagi merasakan kepalamu ada di tempatnya. Andai sebulir padi dilemparkan masuk ke dalam liang itu maka tiada lagi sang padi. Ia akan menjadi kerlip kecil harapan yang dimusnahkan dan keluar hanya sebagai sebutir cangkang kering kosong tak bernama. Begitu pun Brinduti. Segala catatan mengenai dirinya tidak akan berarti lagi karena setiap serpihan dirinya tidak akan lagi saling mengenali, terencah hancur, musnah yang sesungguh-sungguhnya.
“Tetapi, apakah kelak aku masih bisa mengenali wajah-wajah yang memandangiku?” tanya Brinduti kepada si Pembawa Geragai. Jari-jemarinya saling bertaut erat, bahkan saling menyakiti.
Si Pembawa Geragai menyeringai prihatin. Tak banyak orang putus asa yang sedemikian mantap memilih gila daripada mati. Biasanya mereka mencari jalan pintas yang mudah dan sekejap, tapi lelaki ini memilih jalan nestapa berliku yang panjang dan tak berkesudahan hingga saat kelak segalanya disudahi. Ia terheran-heran dengan pilihan yang diambil lelaki berbedak dan bergincu ini. Di antara empat liang menuju kematian akal, lelaki malang ini memilih Liang Kegundahan, liang yang paling tak diminati.
Sebagian besar manusia putus asa akan memilih Liang Kepandaian yang gelap tapi melenakan atau Liang Kemustahilan yang dipenuhi derai tawa. Tapi yang paling disukai tak lain adalah Liang Kesendirian karena begitu lembut dan sederhana.
“Mengapa kau tidak memilih Liang Kesendirian saja, wahai manusia kacau?” tanya si Pembawa Geragai penasaran.
“Kau tak menjawab pertanyaanku! Kini kau malah bertanya kepadaku. Kau ingin kutampar?” ancam Brinduti kesal.
Bayangkan, menyesali setiap langkah kehidupan yang sudah diambilnya dalam tiga puluh lima tahun terakhir ini saja sudah cukup menjengkelkan. Baginya, mengetahui bagaimana ia bisa mengakhirinya saja sudah menjadi jalan keluar melegakan. Itulah ketetapan jiwa yang diidamkan di dalam setiap mimpi indahnya.
Ah, mimpi indah itu …. Mimpi-mimpi indah! Seperti laut menjadi daratan, seperti langit menjadi bumi, setiap tidur adalah kehidupan cinta yang sesungguhnya bagi Brinduti.
Tak pernah dimintanya dalam doa maupun khayal untuk menjadi seorang peramal. Tak cukup keganjilan hidupnya dengan mengakui kewanitaan dalam dirinya dan menafikan zakar yang menggantung seperti lutung. Ketika pintu kedewasaan terbuka untuknya, Brinduti menghunjamkan segenap pisau aib itu ke jantung orang tuanya.
Ayahnya seorang warga masyarakat terpandang yang tak boleh bercacat; seorang pengajar bagi calon-calon guru. Ibunya lambang perempuan bijak yang serba hebat; hebat berdandan, hebat berbicara di depan umum, hebat berbelanja, dan hebat cari muka.
Saat genap berusia tiga dasawarsa, Brinduti menghadiahkan nisan untuk sang ibu yang mencengkeram ajal sambil mendustakan keberadaan anaknya. Brinduti bahkan tak diizinkan menengok jasad ibunya.
“Kamu bukan anaknya! Ibumu mati karena tidak pernah tahu di mana kini anak lelakinya! Anak lelaki yang sudah kau bunuh dengan kejam!” hujat ayahnya.
Itu hujatan terakhir yang didengarnya dari lelaki angkuh itu karena tiga purnama setelah kematian sang ibu, ayahnya menyusul dengan penyakit jantung yang sama meski dengan penyebab berbeda. Sang ayah mencengkeram ajal ketika batinnya tak tahan lagi menerima gunjingan khalayak tentang anak lelaki semata wayangnya yang banci dan kini malah menjadi semacam dukun yang bisa meramal nasib buruk orang lain. Wasiat terakhir sang ayah adalah, “Jangan berikan apa pun kepada Brinduti, kecuali ia kembali menjadi laki-laki dan berhenti bersikap seperti orang gila!”
Dua hal itu tak mungkin terjadi kepada dirinya, pikir Brinduti. Kembali menjadi laki-laki adalah pengkhianatan terhebat yang mustahil dilakukannya. Tidak di dunia ini, tidak pula di dunia yang mana pun.
Sejak berpuluh tahun lalu, sejak remaja, Brinduti merasakan gelinjang-gelinjang kuat dirinya yang perempuan di dalam tubuh lelaki yang tak diinginkannya. Cermin di kamarnya adalah benda jahat yang mau tak mau harus diakrabinya, tempat Brinduti mengguratkan kebencian segaris demi segaris di wajahnya, tubuhnya yang rata tak berlekuk, kaki berotot dengan bulu-bulu mengerikan, dan benda aneh menjijikkan di selangkangannya.
Semata-mata karena ia perempuan maka penjara badaniah yang menjijikkan itu diterimanya dengan kebencian yang sempurna. Bukankah perempuan adalah makhluk paling hebat dalam menahan rasa sakit, jijik, dan benci? Mengapa Tuhan menciptakan benda mengerikan yang buruk rupa di selangkangannya ini? Brinduti merasa kebingungan sepanjang hidupnya memikirkan hakikat itu. Menurut Brinduti, Tuhan pasti sedang jenuh dengan pekerjaannya ketika menciptakannya sehingga salah pasang.
Oleh karena itu, berbedak, mengoleskan pelembut raga ke sekujur kulit tubuhnya, dan mengenakan pemulas bibir adalah bentuk protes Brinduti kepada Tuhan dan tubuh yang memenjarakannya.
Hidup menjadi mimpi tak berdaya yang ingin segera diakhirinya dan mimpi adalah hidup yang dinantinya sepanjang waktu, seperti kado yang dijanjikan setelah penderitaan. Karena Brinduti memperlakukan mimpi sebagaimana orang lain memperlakukan pagi cerah di hari Senin maka tidur menjadi sedemikian berarti untuknya. Detik demi detik waktu tidurnya mengalir amat lambat bagi Brinduti, menit demi menitnya terasa dalam setiap helaan napas dan aliran deras darah di nadinya.
Hidup sebagai penjual bakmi dijalaninya tanpa perasaan. Waktu dua belas jam sejak pukul empat subuh hingga pukul empat sore dirasakannya sebagai tidur panjang yang tak menyehatkan. Nufak yang ganteng dan sering menggodanya di kedai bakminya—agar dia mendapatkan semangkuk bakmi gratis dan sebotol minuman dingin cuma-cuma—tidak begitu mengganggu pikirannya, selain menyisakan senyum senang di wajahnya dan sejenak kesejukan di hatinya. Ya, Nufak yang sopir angkutan umum dan selalu tampak berkeringat.
Brinduti ikhlas memberikan semangkuk bakmi dan minuman dingin sebanyak yang diinginkan lelaki berangasan itu. Ejekan orang-orang tentang hubungan mereka hanya ditingkahinya dengan cibiran. “Ayo, Duti, kapan kamu mau minta dilamar Nufak! Nanti dia keburu disambar Kesmin!”
Ah, bagi Brinduti itu tidak penting. Kesmin, istri Pak Lurah yang ganjen itu, boleh saja memunguti lelaki-lelaki kekar untuk kesenangannya, tapi perempuan itu tak akan bisa menyuguhkan bakmi dan minuman gratis setiap hari untuk Nufak. Kalaupun perempuan binal itu memberi Nufak uang untuk mendapatkan makanan, Brinduti tidak akan menjual bakminya kepada Nufak sampai dia merana karena kepingin. Nufak bisa mati berdiri karena melewatkan seharian tanpa makan bakmi dan minum di kedainya. Itu yang diyakini Brinduti.
Namun, kemudian Nufak menjadi tidak penting baginya, seperti juga matahari pagi, keributan siang hari, keruwetan bakmi, dan para pengunjung kedainya. Kejadiannya berawal tepat satu jam setelah ia diusir ayahnya ketika ia bersikeras menghadiri upacara pemakaman ibunya. Perintah tobat dan mencuci muka untuk membersihkan riasan wajah dari sang ayah tak diindahkannya sehingga hujatan itu turun dan dia tak diperbolehkan masuk untuk mencium kening ibunya untuk kali terakhir.
Brinduti menahan marah dan pilu dengan meremas-remas kuat buah dada palsunya sambil bernyanyi dan menari mengejek meninggalkan halaman rumah megah orang tuanya. Tak ayal, kerumunan pelayat yang sudah sekuat tenaga memasang wajah dukacita jadi serba salah menahan geli dan tawa di kerongkongan mereka. Brinduti sempat melirik ke arah ayahnya yang jatuh terduduk sambil menangis seperti anak kecil yang dipukuli, tapi ia tetap melanjutkan tarian dan nyanyian kematiannya yang menggelikan.
Tepat setelah nyanyiannya berakhir, Brinduti mulai merasakan kehadiran makhluk itu. Ia merasakan sesuatu bergerak-gerak lembut di dalam kepalanya. Rasanya begitu menggetarkan. Bagaikan belaian cinta seorang pangeran. Bukan di bagian luar batok kepalanya, melainkan dari dalam. Belaian yang benar-benar menggetarkan hati dan saraf-saraf di otaknya. Brinduti tertawa-tawa mencapai nikmat puncak. Pekik tawa penuh kepuasan.
Ah, Brinduti jatuh cinta. Ia teringat bintang film India yang sering ditontonnya. Mereka saling menempelkan kening dan ujung hidung sambil terus bernyanyi hingga hujan jatuh dan kuyup meratai tubuh. Percintaan yang sangat luhur, tidak seperti kawinnya bangsa hewan. Brinduti merasakan badannya basah di bagian dalam kulitnya. Seorang pangeran penuh cinta tengah menciuminya dari dalam tubuhnya. Betapa Brinduti merasa beruntung dan bahagia.
Tiba di dalam kamar kontrakannya yang merah gelap, Brinduti memutuskan untuk berbaring dan menikmati sensasi yang tersisa di dalam tubuhnya sambil menjemput tidur. “Wahai, siapakah kau kekasih pujaan?” tanya Brinduti dalam desah yang menyertai kantuknya. Ia, pangeran tak berupa itu, menjawab dengan suara selantang pekikan kelelawar: Kau mencintaiku?
“Ya, aku mencintaimu. Aku mencintaimu seperti air mencintai hujan, seperti angin mencintai badai.”
Kalau begitu, cintamu tak seberapa.
“Tapi, itu tetaplah cinta. Tidak bisakah kau menghargainya?”
Tentu saja, Brinduti, selama kau terus tertawa dan menikmati keberadaanku.
“Ah, ternyata tawaku yang telah menggodamu,” sahut Brinduti senang.
Malam laksana nirwana bagi Brinduti. Senja yang turun perlahan adalah upacara penyambutan dari segala yang indah untuk dirinya agar dia menjadi pengantin yang berbahagia memasuki malam. Vosca, kekasih hatinya itu, rambutnya panjang terjurai lembut. Makhluk itu berjanji akan terus membelainya dari dalam tubuhnya sampai ia mati.
Aku tak tega kau berjualan bakmi, Sayang.
“Tak apa-apa, Cintaku, aku harus melakukannya untuk menyambung hidup.”
Kau tak memerlukan hidup ini.
“Kau benar, aku hanya memerlukan dirimu.”
Aku akan membantumu.
“Untuk apa?”
Agar kau bisa menyambung hidup tanpa harus berjualan bakmi lagi.
Ia pasti cemburu kepada Nufak, pikir Brinduti, seraya menikmati sensasi nikmat dicemburui.
Dan begitulah, sejak Vosca menghuni haribaan cintanya, satu jam setelah diusir dari rumah orang tuanya, Brinduti mendapati dirinya tak memerlukan siapa pun lagi, apa pun lagi. Apa saja yang dikatakan Vosca adalah anugerah hidupnya.
Vosca membisikkan betapa Jabel tetangga sebelah rumah kontrakannya akan mati jika ia menyantap bubur ayam kesukaannya sore itu. Ketika Brinduti menceritakan hal itu kepada Jabel dan istrinya, mereka menertawai Brinduti dan menganggapnya gila.
Saat sore itu Jabel mati dengan tangan menggenggam mangkuk bubur ayamnya, istrinya menjerit-jerit seperti kesetanan. Tak ayal, kabar tentang kemampuan Brinduti meramal nasib orang segera tersebar hingga ke seluruh kampung. Brinduti kebanjiran harta hanya dengan menyimak dengan baik apa yang dikatakan kekasihnya yang tak berupa.
Kabar kewaskitaan Brinduti sampai ke telinga ayahnya dalam bentuk tamparan tahi di wajah kelimisnya. Sang ayah mengutuki hidupnya yang dipenuhi ketidaktahuan tentang anak tunggalnya dan penyebab aib yang dilemparkan si anak ke wajahnya. Tersiksa oleh kenyataan itu, ia meregang ajal setelah sebelumnya menuliskan surat wasiat yang dititipkan kepada juru tulisnya: “Jangan berikan apa pun kepada Brinduti, kecuali ia kembali menjadi laki-laki dan berhenti bersikap seperti orang gila!”
Brinduti tak membutuhkan harta warisan ayahnya. Menjadi pembisik bala bagi orang-orang sudah cukup memberinya harta benda. Tetapi, ada yang jauh lebih penting dari itu. Kenyataan bahwa ia tak diakui oleh kedua orangtuanya hingga ajal merenggut mereka membuat Brinduti merasa sesak di dada. Kesempitan yang mengharu-biru segenap jiwanya seakan hunjaman ribuan belati di ulu hatinya. Bayangan mayat ibunya terbujur di ruang tengah, ayahnya yang berkacak pinggang mengusirnya, bercampur dengan bayangan mayat ayahnya melengkung menahan nyeri sekarat di atas ranjang rumah sakit. Siapakah dirinya sekarang ketika dua manusia yang merupakan asal-muasalnya menolak mengakui keberadaannya?
Brinduti menatap si juru tulis yang memintanya membubuhkan tanda tangan di atas surat wasiat yang menafikannya itu. Tanpa kata dan tanpa ragu, Brinduti menandatangani surat itu sambil tersenyum. Bukankah kini asal-muasalnya sudah tiada? Bukankah anak lelaki yang dikutuk kedua orang tuanya itu memang orang yang juga dibencinya di muka cermin? Anak itu kini sudah mati bersama ayah ibunya.
Brinduti menatap cermin dengan perasaan menang yang semu. Mati sudah asal-muasalnya. Mati juga Brinduti yang memerangkap dirinya di dalam tubuh laki-laki di depan cermin itu. Ah, semakin sempurna saja rasanya. Tiada asal-muasal, yang tersisa hanyalah hidup yang bebas dan cinta yang nikmat bersama Vosca.
“Benar bukan, Vosca?”
Ya, Cintaku. Asal kau tertawa!
“Aku tertawa, Vosca. Ha, ha, ha!”
Ha, ha, ha!
“Kau cinta aku sekarang, Vosca?”
Ya, Sayang, selamanya.
“Kalau aku yang dulu?”
Ah, sama saja, Sayang.
Brinduti terhenyak. Sesuatu telah menembus ulu hatinya dengan cara yang sadis. “Apa yang kau maksud dengan sama saja?”
Vosca menjawab lantang: Aku mencintaimu. Dulu, kini, dan selamanya.
Brinduti menatap bayangan di cermin, wajah jantan yang dibencinya, jidat dan rahang perkasa yang membuatnya mual. Dan kini, ada Vosca di dalam kepalanya. Bagaimana mungkin kekasihnya bisa mencintai dirinya yang dulu? Dirinya yang masih memiliki asal-muasal yang kelam: anak lelaki semata wayang yang dinafikan kedua orang tua kandungnya. “Vosca telah menggombaliku!” jerit batin Brinduti.
“Vosca,” desisnya, “keluar dari kepalaku dan tunjukkan dirimu!”
Mengapa, Brinduti? Tidak cukupkah kenyataan bahwa aku mencintaimu selamanya?
“Kenyataan apa yang kau omongkan itu? Kau tak ada! Kecuali kalau kau mau memperlihatkan wujudmu kepadaku!” tuntut Brinduti dengan rajuk manja seorang kekasih yang kesal.
Kau yakin ingin melihat rupaku?
“Ya, Vosca. Tunjukkan wujudmu jika kau mencintaiku!”
Apakah kau akan tetap mencintaiku sesudahnya?
“Tentu saja.”
Maukah kau bersumpah?
“Ya.”
Maka, Brinduti melihat bayangan lain di dalam cermin di hadapannya. Seakan ada kepala lain di belakang kepalanya. Kepala lain berwarna emas dengan juraian rambut bak lidah api yang sedang menari, berkibar-kibar menakutkan. Kepala tanpa leher itu tidak berdaging dan tidak berkulit. Tengkorak kemilau dengan rahang terpentang lebar seakan sedang terbahak. Rambutnya! Rambut emasnya! Tengkorak berambut emas! Setan!
Mengapa kau terdiam, Sayang? Mengapa kau seperti takut kepadaku?
“Kau setan!”
Tapi aku Vosca. Kekasihmu!
“Tapi kau setan!”
Tengkorak emas itu tertunduk lesu. Meski mata yang bolong melompong itu tak berhias apa pun selain kegelapan yang pedih, Brinduti bisa melihat tatapan pilu Vasco, lalu bulir-bulir air matanya membuat perasaan Brinduti seperti tercabik-cabik angin topan.
Tak bisakah kau lupakan rupaku? Tak bisakah kau tak takut kepadaku? Tak bisakah kau hanya mencintaiku sebagai kekasihmu seperti kemarin?
“Kau menipuku! Kau tak mengatakan kepadaku bahwa kau sesungguhnya setan!”
Kau tak adil, Sayangku. Aku tidak keberatan dengan rupa aslimu. Tapi mengapa kau jadi membenciku karena rupaku? Sebelumnya, saat aku masih di dalam kepalamu, kita bercinta dengan bahagia.
“Ah! Kau telah memerkosaku dari dalam tubuhku! Dan, apa kau bilang? Rupa asliku? Aku bukan setan!”
Kau perempuan, padahal laki-laki. Aku tak keberatan, Brinduti. Aku mencintaimu karena kau mencintaiku dan kita sama-sama menyenangi percintaan ini. Aku yang kau benci itu sama saja dengan dirimu yang kau ingkari sendiri!
“Aku tak mungkin bercinta dengan setan!” jerit Brinduti kesetanan.
Vosca menegakkan kepalanya demi melihat reaksi kekasihnya. Ia menancapkan pandangan cinta untuk terakhir kalinya ke mata Brinduti lalu sirna seperti embun disengat siang.
Batin Brinduti menangis. Kini dia bukan saja tak bermuasal, tetapi juga tanpa siapa pun yang mendampingi dan mencintai. Kini yang tersisa untuknya hanya bayangan lelaki berwajah melorot di depan cermin, seluruh kulit wajahnya jatuh menggelambir ke bawah, kedua ujung matanya menyerupai cakar kucing, membingkai kulit pipi yang menggantung lebih panjang daripada sepasang cuping hidung yang menggelember seperti jengger ayam. Tangannya bergerak ke dadanya, ingin meremas seperti biasanya, tetapi di sana tak ada apa-apa selain puting mungil. Tangan Brinduti turun ke selangkangannya, benda yang dilaknatnya itu masih di sana. Hampir saja ia memutuskan untuk merenggut benda yang menjadi gembok penjara hidupnya andai tak datang si Pembawa Geragai yang menunjukkan kepadanya pintu-pintu keluar.
“Jadi, kau sudah mantap masuk ke liang itu, manusia celaka?” tanya si Pembawa Geragai.
Brinduti mengangguk pilu.
Tentang Penulis:
Atta Verin. Menulis cerita dan puisi. Dia juga menerjemahkan sejumlah novel asing ke bahasa Indonesia, antara lain My Name Is Red karya Orhan Pamuk. Pernah lama bekerja sebagai jurnalis, kini dia sedang menggarap novel pertamanya, Sang Pemanggil.
Anton Kurnia. Menulis prosa dan esai, juga menerjemahkan karya sastra. Buku cerpennya yang sudah terbit adalah Insomnia (2004). Buku terbarunya adalah kumpulan esai Mencari Setangkai Daun Surga: Jejak Perlawanan Manusia Atas Hegemoni Kuasa (2016). Sehari-hari ia bekerja sebagai manajer redaksi sebuah penerbit yang berkantor di Jakarta.
- Brinduti - 18 March 2016
- Racun dalam Gelas - 18 February 2016