Bukan Kawan

Gambar ilustrasi untuk cerpen Bukan Kawan
Sumber gambar vishinskydesigns.wordpress.com

Aku sedang menunggu dengan gelisah ketika hal yang mustahil itu terjadi. Didik Rabiulakhir berjalan dengan berwibawa melewatiku menuju ruang wawancara. Setidaknya ada dua kemustahilan yang hampir dapat disebut keajaiban yang membuatku melihatnya lagi. Pertama, kami bertemu di Jakarta, kota yang jaraknya cukup jauh dari Solo, kota asal kami. Kedua, kami bertemu dengan kondisi yang jauh berbeda. Kepentingan dan jabatan membentangkan jarak di antara kami. Dia kemungkinan besar adalah manajer personalia di perusahaan ini sedangkan aku hanyalah satu di antara tiga belas pelamar kerja yang diwawancarainya untuk menjadi pegawai administrasi.

Aku tak yakin apakah Didik masih mengenaliku saat ini. Kami pernah seruang saat kelas dua SMA dan itu terjadi sekitar lima belas tahun yang lalu. Setelah lulus, kami terpisah dan tak pernah bertemu lagi. Aku hanya mendengar dia berhasil diterima sebagai mahasiswa seni rupa pada perguruan tinggi negeri favorit di kota kami, padahal aku tahu persis bahwa dia itu buta warna. Rupanya jalan nasib kami berbeda. Aku melewati lima belas tahunku dengan tersaruk-saruk hingga detik ini sedangkan dengan kedudukannya sekarang aku dapat menilai kesuksesannya. Aku melamunkan segala keajaiban yang mungkin dialaminya sehingga berhasil memangku jabatan prestisius di perusahaan rokok nasional ini. Aku geleng-geleng kepala dan merasa nasibku semakin sial.

Didik masih mewawancarai calon karyawan sedangkan aku menunggu giliran. Ruang wawancara itu berdinding kaca sehingga aku dapat melihat sosoknya yang elegan dan berkarisma. Aku dapat melihat tatapan penuh percaya dirinya seakan intimidasi halus yang merikuhkan calon karyawan di hadapannya. Dari sini pun aku mampu merasakan tekanannya. Tanpa sadar kucengkeram salinan ijazah S1 manajemen ekstensiku yang baru kuperoleh tahun lalu.

Tanpa sadar aku mengagumi penampakannya saat ini dan mau tak mau ingatanku melayang ke masa SMA. Saat itu kami masih menjadi pelajar yang tak saling kenal meski sekelas. Sebuah peristiwa dalam bus mengakrabkan kami. Kami sama-sama berasal dari keluarga sederhana yang tak memiliki sepeda motor. Sebenarnya Didik jarang naik bus. Dia lebih sering nebeng Hasan, teman sekelas blasteran Yaman. Siang itu Hasan ada keperluan sehingga tak bisa memberi tumpangan pada Didik. Hasan memberi Didik uang dua ratus perak untuk ongkos pulang naik bus. Pemberian ini sebenarnya adalah semacam olok-olok dan berhasil membuat semua siswa yang berada di tempat itu tertawa, termasuk aku. Tetapi dengan raut biasa, Didik menerima uang itu karena sudah tak punya uang untuk ongkos pulang. Uang sakunya telah habis dibelikan sebungkus nasi oseng, segelas es teh, dan dua batang rokok yang dinikmatinya di kantin saat istirahat pertama dan kedua. Mungkin bagi Didik saat itu, harga diri adalah perkara yang tidak penting. Pulang jalan kaki di bawah cuaca terik tentu lebih menderita dibandingkan jika hanya ditertawakan kawan-kawan.

Setengah jam kemudian tinggal aku dan Didik di jembatan dekat sekolah itu. Kami masih malas pulang dan asyik nongkrong. Didik ternyata orang yang jenaka. Ceritanya membuatku terpingkal-pingkal. Oleh kawan-kawan, Didik dipanggil Pelo, bahasa Jawa dari cadel karena memang artikulasinya kurang jelas. Ke mana pun pergi Didik selalu membawa korek api. Dia adalah pecandu berat rokok yang cekak modal sehingga takdirnya adalah berjaga-jaga. Dia akan meminta sebatang rokok pada teman kami yang kaya dan menukarnya dengan jasa menyulutkannya. Bila itu terjadi, kawan kami yang kaya itu sudah seperti bos mafia sedangkan Didik adalah kroconya. Tapi Didik seakan tak bermasalah dengan itu semua, rasa malu seakan telah dihapus dari genetikanya. Bahkan, dia menjuluki dirinya sebagai RPKAD, Remaja Pembawa Korek Api Doang.

Setelah agak sore kami pun memutuskan pulang. Rumah kami searah sehingga naik bus yang sama. Saat itu kami berdiri di pintu belakang bus dekat kenek. Sesampainya di pasar, banyak pedagang buah hendak jadi penumpang. Kenek itu segera mematikan rokoknya dan menaruh puntungnya yang masih setengah batang di kisi jendela bus, lalu membantu mengangkat muatan mereka. Didik yang melihat puntung rokok itu segera mengambilnya, lalu menyulutnya dengan korek gas keramatnya. Aku melihat kelakuan Didik itu dengan jijik karena ada bekas bibir dan ludah kenek di puntung rokok itu. Aku membayangkan Didik sedang berciuman dengan kenek itu. Tapi tampaknya Didik tak peduli. Dia menikmati puntung rokok filter itu.

Hal yang tak terduga terjadi. Ternyata kenek itu mencari puntung rokoknya. Kami pura-pura tak tahu sementara si kenek tampak kesal karena tak berhasil menemukannya. Tatapannya membentur mata Didik yang sedang mencuri-curi lihat kepadanya. Dengan rasa curiga dia mendekati Didik.

“Itu rokok siapa?”

“Lokok taya, Mat.”

“Cepat banget merokokmu. Seingatku, ketika menaikkan barang tadi kau belum merokok. Tahu-tahu sudah habis setengah lebih. Bener itu bukan rokokku?”

Wajah pucat dan jawaban Didik yang kian cadel adalah dalih bantahan yang sungguh lemah. Akhirnya Didik mengakui telah mengambil puntung rokok itu dan si kenek menghadiahinya satu keplakan ringan. Di sela-sela takut, aku menahan geli. Ketika akhirnya turun dari bus aku terpingkal hingga air mataku keluar. Didik ikut turun meski rumahnya masih jauh karena merasa tak nyaman bila berada di dekat kenek itu tanpa kawan. Dia memintaku merahasiakan peristiwa ini dari kawan-kawan. Aku menyanggupinya sebelum mengantarnya pulang naik sepeda kayuh bapakku.

Peristiwa itulah yang mengakrabkanku dengan Didik. Kemelaratan juga menjadikan kami kian dekat. Bapakku adalah tukang bersih-bersih dan kurir di sebuah kantor swasta sedangkan bapak Didik adalah tukang tambal ban. Kami sama-sama tak bersahabat dengan uang tapi gemar saling ejek kemelaratan. Ketika Didik tak masuk sekolah dan teman-teman menanyaiku maka akan kujawab, “Didik kecapekan, semalam dia lembur menyebar paku di jalan raya.” Demikian pula sebaliknya, jika aku yang tak masuk sekolah, Didik akan mengabarkan bahwa aku keracunan karbol pembersih lantai saat membersihkan jamban. Kami terbiasa saling ejek dengan kejam tanpa pernah memantik dendam.

Ketika naik kelas tiga jurusan sosial kami berpisah kelas. Sejak saat itu pula sedikit demi sedikit perkawanan kami merenggang. Aku punya kawan dekat baru bernama Anwar, blasteran Yaman yang juga saudara Hasan, dan Didik makin akrab dengan gali-gali sekolah. Meski tak pernah terlibat tawuran, Didik jadi gemar mabuk-mabukan. Bahkan, di kantin sekolah pun dia menenggak miras oplosan. Sementara, bersama Anwar, aku larut dalam godaan film porno. Kabar buruk tentang Didik kudengar ketika kami hampir menghadapi ujian nasional. Didik harus dirawat di rumah sakit karena penyakit usus, yang oleh kawan-kawan galinya disederhanakan jadi usus buntu, penyakit yang terdengar sangat picisan. Penyakit ususnya ini didiagnosis dokter karena terlalu banyak konsumsi alkohol. Hal yang sama sekali tak mengherankan.

Aku membesuknya di rumah sakit. Didik terkulai lemah dan di saat bersamaan kawan-kawan galinya gaduh berseloroh, “Makanya Dik, kalau minum Aqua itu jangan sekalian tutup botolnya, jadi usus buntu kan?” Mereka tergelak, termasuk aku, sedangkan Didik hanya mampu mengerang dengan cadel. Itulah pertemuan terakhirku dengannya sebelum melihatnya kembali di tempat ini.

Kudengar namaku dipanggil. Kumasuki ruang wawancara. Didik sedang ke kamar kecil. Aku duduk menenangkan diri dan mengagumi ruang kerjanya. Kurasa Didik telah bekerja sesuai dengan panggilan jiwanya. Aku kembali teringat peristiwa puntung rokok dengan kenek itu dan kini dia jadi manajer personalia perusahaan rokok nasional. Sungguh jalan hidup yang membuatku iri.

Didik keluar dari kamar kecil. Dan aku memutuskan untuk menyapanya pertama kali sebagai kawan lama dengan pertimbangan akan memuluskan usahaku menjadi karyawan.

“Apa kabarmu, Dik?” tanyaku sambil mengulurkan tangan.

“Anda siapa, ya? Dan siapa yang mempersilakan Anda duduk di kursi itu? Tindakan Anda ini sungguh tidak sopan dan beretika.”

Aku kaget mendengar reaksinya itu, dan lebih kaget lagi ketika tak mendapati kecadelan dalam suaranya. Kepalang malu, kuteruskan saja kegegabahanku. Siapa tahu dia hanya pura-pura tak kenal serta telah menjalani operasi lidah dan pita suara.

“Aku Ilham Aji, Dik. Kawan SMA-mu dari Solo.”

“Maaf, saya tidak kenal Anda. Anda bisa lihat dan baca nama saya,” katanya seraya menunjukkan nama pada kartu karyawan yang tersemat di dada kanannya. Di situ tertulis Santosa Sejahtera, Manajer Personalia.

Tubuhku serasa meleleh di hadapannya. Tanpa menunggu diusir, aku mohon diri. Aku meninggalkan ruangannya dengan harga diri yang compang-camping. Di dalam lift yang bergerak turun, aku menyesali tindakan gegabahku. Barangkali minus mataku memang sudah bertambah. Kucopot kacamataku. Kubersihkan dengan ujung baju. Tetapi mereka memang sungguh mirip. Lima belas tahun tak akan melamurkan ingatanku pada sosok Didik meski kenyataannya aku keliru.

Ketika memakai lagi kacamataku, ada seberkas keriangan terselip dalam hatiku. Fakta bahwa manajer personalia itu bukan Didik Rabiulakhir sedikit menggembirakanku. Setidaknya, Didik belum tentu lebih sukses dariku. Kegembiraan ini menyerupai kebahagiaan kecil bagi kaum pendengki sepertiku.


Solo, 2015

Gunawan Tri Atmodjo
Latest posts by Gunawan Tri Atmodjo (see all)

Comments

  1. nur zaman Reply

    Bagus banget! Bikin ketawa terpingkal dan miris di akhir. Keren, Mas!

    • Anonymous Reply

      Akhir yang begitu mengejutkan,
      Parah😂😂😂

  2. Cho Reply

    Cerpen2 karya mas gunawan, plot nya keren bikin larut dalam ceritanya

  3. Fauzi Reply

    Fauzi hadir

  4. Diazz Reply

    Seru bangetttt

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!