Sejak awal abad XX, kaum elite terpelajar dan kaum bergerak di arus politik-kebangsaan memilih lambang dan bahasa. Mereka berada dalam zaman lambang bergolak dan bahasa bergerak. Kesadaran atas “kemadjoean” dipengaruhi bahasa Belanda dan Melayu. Mereka memasuki zaman berbeda dengan keterpukauan bahasa. Mereka menemukan dan menggunakan bahasa-bahasa di rumah, sekolah, jalan, pasar, tempat hiburan, dan lain-lain. Kesadaran bahwa bahasa-bahasa di tanah jajahan berbeda derajat dalam membenarkan “kemadjoean” atau usaha menjadi modern.
Hari-hari masuk sekolah mengajari mereka menjadi pengguna bahasa Belanda. Bahasa milik penjajah diedarkan di sekolah dengan pengawasan dan keterbatasan. Mereka pun mengerti dan membesarkan bahasa Melayu. Situasi hidup kadang terbentuk dari ketegangan berbahasa. Pada awal abad XX, bahasa-bahasa bertumbuh di sekolah dan kantor mendapat imbuhan dari surat kabar dan buku. Bahasa-bahasa makin tebar pesona. Bara bahasa juga tampak dalam pidato-pidato di pelbagai perkumpulan. Tanah jajahan sedang melaju dengan bahasa-bahasa untuk berubah dan menentukan arah sejarah.
Di laju bahasa, orang-orang mulai mencari lambang-lambang. Sekian pertimbangan untuk pilihan menetapkan lambang bagi sarekat atau perkumpulan. Mereka disadarkan bahwa lambang-lambang telah mencipta kekuasaan asing seperti memberi dikte dan doktrin. Kesadaran atas perubahan-perubahan memunculkan lambang-lambang berakar Nusantara atau mengacu negeri jauh. Lambang-lambang mengandung pesan dan meramaikan sejarah. Kita mengingat sekian lambang membesar dan moncer saat digunakan dalam perkumpulan-perkumpulan di tanah jajahan dan Belanda. Orang-orang Indonesia berani untuk protes, menggugat, tebar kritik, dan meninggikan impian dengan lambang-lambang.
Sejak 1908, lambang-lambang terus bertambah beriringan dengan pesona bahasa-bahasa. Kaum muda atau tokoh-tokoh penggerak fasih berbahasa Belanda. Mereka pun memiliki kehendak memajukan bahasa Melayu meski diri-diri berasal dari tempat berbeda dan berasal dari rahim bahasa-ibu beragam. Pada 1928, mufakat-mufakat terjadi setelah keinsafan atas perseteruan, keminderan, kelinglungan, dan kelambanan. Tata hidup berubah! Pergaulan dan udara politik mencipta keberanian. Sejarah pun disusun dengan bahasa. Sejarah itu teks dan cerita-cerita bergerak jauh. Kita mengingat kaum muda, bahasa, dan nasionalisme.
Di buku berjudul Sejarah Pemikiran Sumpah Pemuda (1989) terbitan Depdikbud, kita menemukan kutipan-kutipan diperoleh dari para pelaku sejarah. Kita menghadirkan lagi pemikiran Mohammad Hatta berlatar masa 1920-an: “Dapatkah bangkit satu bangsa Indonesia dari penduduk Hindia Belanda dengan begitu banyak perbedaan dalam bahasa, sifat-sifat dan ciri-ciri suku bangsa, serta adat-istiadatnya? Bertanya mereka yang berarti kecut.” Hatta tak menggunakan kiasan. Kita berlagak mengerti pemikiran silam itu bertautan dengan puisi persembahan Emha Ainun Nadjib. Di seantero Indonesia, burung-burung berbeda bertemu dan sadar nasib untuk selamat, bahagia, dan mulia dalam babak-babak sejarah.
Pada masa berbeda, biografi para penggerak Indonesia ditulis dan dibaca. Kita memiliki acuan-acuan menghormati tokoh dan memuliakan Indonesia. Di situ, ada ingatan-ingatan bahasa dan lambang telah menggerakkan pengetahuan, politik, iman, identitas, dan lain-lain.
Pada 1989, Emha Ainun Nadjib menilik masa lalu dengan puisi. Ia mengembalikan sejarah dalam bait-bait berlambang. Puisi berjudul “Nasionalisme Burung-Burung” diajukan bagi sidang pembaca, ingin membuka lembaran-lembaran sejarah digerakkan elite terpelajar dan kaum muda, mengajukan dalil-dalil penting bagi Indonesia masa lalu.
Kita membaca: Nasionalisme bukanlah tali ikatan antara satu jenis/ burung yang membedakan diri dari jenis-jenis burung/ yang lain/ Nasionalisme adalah persentuhan getaran hati nurani/ seluruh burung-burung, seluruh burung-burung// Nasionalisme bukanlah pada wilayah hutan belantara di/ mana burung-burung boleh hinggap dan beterbangan/ Nasionalisme adalah kesepakatan antara semua jenis/ burung tentang bagaimana memelihara hutan yang/ indah dan sehat bagi kehidupan setiap burung, setiap/ burung. Kita sedang dalam pengimajinasian Indonesia silam: dimengerti dan dimufakati. Para pembaca mungkin merasakan puisi itu enggan lekas politis tapi mengusung pesan-pesan sufistik.
Sejarah di Indonesia tak cuma digerakkan dengan pamrih-pamrih politik. Dulu, mereka pun membahasakan religiositas. Ikhtiar memuliakan Indonesia berpijak religius. Pembahasan gamblang terbaca dalam peristiwa 1945. Di sana, ada bahasa dan lambang. Kita mengingat penetapan religius untuk arus menjadi Indonesia.
Emha Ainun Nadjib berkisah sejarah dan nasib Indonesia bercap Orde Baru: Nasionalisme burung-burung tidak punya Tuan,/ nasionalisme burung-burung hanya punya Tuhan/ Nasionalisme burung-burung tak bersedia dipunyai oleh/ Tuan, nasionalisme burung-burung hanya bersedia/ dipunyai oleh Tuhan/ Sebab jika Tuan memilikinya, ia tak boleh memiliki Tuannya,/ tapi jika Tuhan memilikinya, itu berarti ia juga memiliki Tuhannya/ Sebab Tuhan memiliki hak untuk menjadi diktator, untuk/ menindas dan memperbudak namun Ia tak/ melakukannya;/ sedangkan para Tuan memiliki kewenangan/ untuk menjadi diktator, untuk menindas dan/ memperbudak/ namun mereka rajin melakukannya. Kita diajak membuka aib-aib elite di Indonesia merasa agung dan berkuasa. Mereka menjadikan Indonesia amburadul, menodai sejarah selalu diharapkan memiliki lanjutan-lanjutan membebaskan dan membahagiakan.
Puisi memicu album ingatan alur Indonesia memiliki lambang-lambang. Pada suatu masa, Indonesia itu berlambang burung. Kita menatap dengan pengisahan dan pemaknaan. Burung itu tampak di dinding, kain, buku, dan lain-lain. Burung berpesan gairah “menerbangkan” kita di seantero Indonesia. Burung kekuatan, kebersamaan, kemuliaan, kesetiaan, kerelaan, dan lain-lain. Kita perlahan mewajarkan pilihan Emha Ainun Nadjib berpuisi Indonesia dengan burung. Indonesia itu burung.
Kita membaca: Nasionalisme burung-burung adalah negeri cinta kasih/ yang dibatasi oleh cakrawala dan biru langit/ Sungai, gunung-gunung, hutan, samudra, dan pulau-pulau/ hanyalah torehan garis dan warna-warni dalam kanvas/ lagu pujaan mereka kepada Tuhan/ Nasionalisme burung-burung adalah kesepakatan/ untuk menjaga kemerdekaan bagi seluruh anak alam;/ negara burung-burung adalah pembagian tempat/ untuk saling memerdekakan satu sama lain. Kefasihan Emha Ainun Nadjib mengisahkan burung dan mengajukan lambang keindonesiaan mengundang pembaca masuk ke larik-larik renungan, bukan jemu oleh pidato-pidato para pejabat atau slogan-slogan klise bertebaran setiap hari di Indonesia.
Puisi dengan pesan berwaktu: 28 Oktober 1989. Kita mengerti itu keinginan mengacu masa lalu dan membandingkan dengan Indonesia sedang menjadi “roman” oleh rezim Orde Baru. “Roman” tak selalu mengandung keindahan, kemakmuran, keadilan, kebaikan, dan lain-lain. “Roman” disusun selama puluhan tahun dengan menimbulkan duka meski dibahasakan secara “santun”.
Di akhir puisi, Emha Ainun Nadjib menuliskan Indonesia belum bahagia. Indonesia tak seperti impian kaum muda masa lalu saat menggerakkan sejarah, sejak 1908 sampai 1945. Situasi terlalu berubah, berbeda dari lambang-lambang terpilih dan bahasa-bahasa bergerak sejak lampau. Indonesia masih memiliki bahasa dan lambang, tapi menampilkan lakon-lakon berduka.
Emha Ainun Nadjib menulis: Jika burung-burung rajawali, burung-burung hantu/ serta burung-burung raksasa lainnya bergerombol/ untuk mematuki burung-burung kecil dan merampas/ jatah-jatah makan minum dan kemerdekaan mereka:/ maka jagat cinta kasih terbelah menjadi dua negeri/ Yang satu negeri para penindas, lainnya negeri para tertindas/ Nasionalisme burung-burung terluka dan meneteskan darah,/ karena seluruh burung-burung kecil di mana saja/ di permukaan bumi, terjaring menjadi saru negara/ yang tergetas hati nuraninya. Indonesia itu tragedi.
Kita mengingat penjelasan Ben Anderson (2001) untuk mengerti nasionalisme meski tak melulu beralamat Indonesia: “Akhirnya, bangsa dibayangkan sebagai sebuah komunitas, sebab tak peduli akan ketidakadilan yang ada dan pengisapan yang mungkin tak terhapuskan dalam setiap bangsa, bangsa itu sendiri selalu dipahami sebagai kesetiakawanan yang masuk mendalam dan melebar-mendatar. Pada akhirnya, selama dua abad terakhir, rasa persaudaraan inilah yang memungkinkan begitu banyak orang, jutaan jumlahnya, bersedia jangankan melenyapkan nyawa orang lain, merenggut nyawa sendiri pun rela demi pembayangan tentang yang terbatas itu.” Kita membaca berdebar menilik sejarah, bertambah tegang saat merampungkan membaca puisi gubahan Emha Ainun Nadjib.
Pada 2022, kita mungkin merasakan ada klise atau kejemuan dengan lambang berupa burung. Kita pun berhadapan dengan bahasa masa 1980-an sebagai kritik mungkin tak langgeng bila mengetahui lakon bahasa Indonesia mutakhir tergunakan dalam kritik, protes, atau gugatan. Dulu, Emha Ainun Nadjib tak berpidato di ruang kekuasaan atau berorasi di jalanan, tapi puisi itu sanggup memicu kesadaran sejarah tak selalu gamblang dan terang. Sejarah masih mungkin terbaca dan teringat meski penggalan-penggalan. Begitu.
- Biang Keladi Novel Pop - 18 January 2023
- 100 Tahun Sitti Noerbaja; Langgeng dan Khatam - 30 November 2022
- Burung: Sejarah dan Bahasa - 2 November 2022