But Not Forgotten, Alinea

untuk cerpen Faisal

Tidak ada yang benar-benar bisa kita selamatkan dari masa lalu selain ingatan. Untuk itu aku berada di sini. Di rumah sakit ini. Di But Not Forgotten ini. Alinea barangkali tidak akan mengingatku, namun aku pernah berjuang jauh lebih keras dari apa yang kulakukan saat ini. Aku pernah ditolaknya berkali-kali dan bertahun-tahun aku berupaya membuatnya jatuh cinta. Ia kehilangan ingatannya setelah kecelakaan sialan itu dan memang benar kata pepatah: setiap musibah pasti ada hikmah di baliknya. Hikmah bagi keluarga besarnya yang bangsat semua itu, tentu bukan bagiku. Mereka tidak perlu lagi membujuk Alinea untuk menikahi lelaki pilihan mereka. Tidak perlu lagi memaksa Alinea melupakan lantas meninggalkanku. Namun, aku tidak ingin kehilangannya begitu saja. Di rumah sakit inilah aku mendaftar sebagai tukang-pel-lantai ketika aku tahu Alinea rutin berobat di sini. Aku juga tahu, tanggal pernikahannya sudah ditentukan, satu-satunya yang bisa kulakukan saat ini adalah membuatnya mengingatku sebelum ia resmi menjadi istri orang lain. Setidaknya ada dua kemungkinan jika ingatannya kembali; ia akan tetap menikah atau ia akan membatalkannya. Meski bagiku, kemungkinan kedua sama mustahilnya dengan kemungkinan ingatannya akan kembali. Jadi, ada dua hal mustahil yang perlu kulalui, dan bukankah cinta memang keras kepala?

***

Ia akan datang setiap hari Senin, Rabu, dan Jumat, setiap jam makan siang. Aku tahu betul kondisi itu, aku juga tahu Dokter Daud rutin meninggalkan Alinea untuk sekadar makan siang atau salat Zuhur. Kesempatan itulah yang kugunakan untuk menyusup ke ruangannya dan berbicara dengan kekasihku itu. Maksudku, berusaha membuatnya bicara. Ia bahkan menatapku seperti menatap tembok, tidak ada yang bisa kutangkap dari bahasa di matanya. Sama sekali hampa, tidak ada aku lagi!

“Alinea, ini aku, ingat?”

Ia diam, dadaku berdebar antara takut dipergoki Dokter Daud dan berdebar menunggu Alinea bersuara.

I think, no matter where you be, you will hold me in your memory.”

Sama saja, Alinea menatapku seperti menatap lorong gelap, bahkan setelah kukutipkan puisi favorit yang berulang-ulang kami bacakan saat masih pacaran. Dan dengan judul puisi itu pula kunamai rumah sakit ini sesukaku. “But Not Forgotten”. Puisi Dorothy Parker, idola Alinea dan belakangan menjadi idolaku juga.

“Alinea….”

Ia menunduk kali ini, desah napasnya sangat jelas, aku membiarkannya, barangkali ia tengah menggali ingatan yang telah dikubur kecelakaan sialan itu.

You still will see me, small and white and smiling in the secret night and feel my arms….”

Ia tidak lagi diam, aku mendengarnya perlahan tersedu. Aku berhasil? Tidak, tidak tahu, yang jelas sekarang aku harus segera pergi agar Dokter Daud tidak memergoki lantas memecatku.

“Alinea, kita akan ketemu lagi, cobalah terus, cobalah….”

Aku benar-benar akan menemuinya lagi, mengucapkan sambutan yang sama: selamat datang di But Not Forgotten, Alinea. Lalu aku akan membacakannya puisi-puisi, aku masih punya kesempatan. Setidaknya sampai satu bulan ke depan, sebelum ia benar-benar tidur di lengan lelaki lain (seperti yang selalu dilakukannya padaku).

***

“Tapi kenapa kamu harus menikahi lelaki lain hanya karena aku tidak boleh menikahimu?” Suaraku meninggi dan itu baru kusadari ketika tiba-tiba kafe ini menjadi hening dan kurasakan mata pengunjung lain menyasar seperti suar di mercu menara ke meja tempatku duduk berhadapan dengan Alinea. “Atau kenapa aku harus melupakanmu, atau taruhlah kenapa harus aku meninggalkanmu hanya karena kamu akan bersama lelaki lain?” Kali ini suaraku telah kupelankan.

“Kau tidak akan mengerti….”

“Memang, Alinea, memang! Wanita hanya bisa bilang lelaki tidak akan mengerti. Lagi pula apa yang keluargamu mengerti tentang kita? Tentang cinta kita?”

“Mereka tidak mengerti apa-apa, mereka juga tidak ingin kita menjelaskan apa-apa.”

Matanya berkaca-kaca, aku tidak ingin melihatnya berair mata, tetapi aku juga ingin melihatnya menangis. Aku ingin melihat seberapa penting masalah ini bagi perasaannya.

“Jadi kamu memilih siapa? Memilih apa?”

“Itu terlalu baik.”

“Maksudmu?”

“Lebih buruk dari itu. Saya tidak diberi pilihan.”

Kakiku lemas meski tubuhku tengah ditopang kursi dan aku tiba-tiba tidak berselera melakukan apa pun, kopi di meja belum kusentuh sementara tangan Alinea sudah bergerak untuk cokelat panas di depannya.

“Tapi…,” bukanya begitu meletakkan cangkir ke tatakannya, “tapi, kau tahu, saya punya rencana.” Ia diam beberapa jenak, memperhatikan sekelilingnya. “Besok saya jemput kau, bawa semua keperluan yang kau rasa penting, oke?”

“Keperluan untuk?”

“Untuk hidup bersama. Seumur hidup.”

“Tapi, ak—”

“Ini satu-satunya yang bisa kita lakukan, mobil saya bisa dijual begitu dapat tempat, dan kau bisa menjadi suami, kan? Kau tidak akan bosan meniduriku sepanjang hidupmu, kan?”

Alinea tahu aku pernah tidur dengan sahabatnya dan itu kusesali seumur hidup dan tentu selalu ada celah baginya memaafkanku. Sendiku yang awalnya lemas berubah seperti baru saja dilumasi, antara senang dan ragu.

Pelarian kami, pikirku, memang satu-satunya pilihan tapi itulah yang membuatku merasa telah melakukan kebodohan paling besar dalam hidupku: mobil kami menabrak pembatas jalan sebelum diseret truk beberapa puluh meter.

***

“Selamat datang di But Not Forgotten, Alinea….”

Ia menunduk lagi, kuperhatikan jam dinding di belakang kursi Dokter Daud, aku punya waktu sekitar sepuluh menit.

“Kamu boleh melupakanku, tapi harus selalu kamu ingat, kamu tidak pernah ingin menikah dengan lelaki keparat itu,” aku mengambil napas, ucapanku menggebu-gebu, aku benar-benar sudah tidak sabar mendengar Alinea menyebut namaku sebelum menangis di pelukanku.

“Keparat? Keparat….” Aku terkejut, ia akhirnya bicara tapi bukan itu yang kumau, bukan bentakan lalu tangisan yang lebih keras dari sebelum-sebelumnya. “Keparat kau bilang? Kau pikir siapa kau, ha?”

Hatiku sebongkah bara yang dicelupkan ke air, Alinea yang melakukannya. Di saku seragamku ada berlembar-lembar puisi yang ingin kubacakan, tetapi sungguh sekarang aku tidak lebih dari sesosok tubuh tanpa nama dan tanpa masa lalu baginya, semua akan sia-sia. Aku segera keluar.

***

“Sayang? Ini benar-benar indah, bukan?”

Itu Alinea, itu suaranya. Wajahnya muncul dari balik airbag yang sudah dilumuri darah. Tidak ada yang kulakukan lebih awal selain memastikan Alinea baik-baik saja. Aku masih bernyawa dan masih bisa melihat bahkan mendengar. Soal kakiku bisa saja putus atau tanganku mungkin pula patah, itu perkara terakhir, perempuanku baik-baik saja.

“Alinea?”

“Ini benar-benar indah, bukan?” desahnya.

“Kita harus ke rumah sakit, kamu—”

Aku merasa kepalaku dihantam sesuatu, penglihatanku buyar sebelum aku benar-benar bisa memikirkan apa pun, bahkan Alinea.

***

Aku memegang gagang pintu dengan hati-hati, aku tidak ingin mengagetkannya. Setelah terkuak sedikit, aku melihat punggung Alinea lewat celah daun pintu. Punggung itu, punggung itu tampaknya semakin menipis. Apakah karena terlalu sering diguncang tangisan? Aku tidak tahu. Yang jelas saat ini aku masih melakukan kebiasaan yang sama sekali tidak mengubah apa pun. Selamat datang di But Not Forgotten, Alinea.

“Kamu akan menikah, Alinea, tidak bisakah kamu mengingat apa pun, sedikit pun tentang kita? Bicaralah, Alinea…, kumohon.”

Aku ingin meraih tangannya namun ketakutanku masih jauh lebih besar. Akhirnya, yang terjadi adalah aku bertanya dan menanggapi sendiri dengan tanggapan yang tentu saja meniru gaya bicara dan suara Alinea. Mungkin hal itu bisa membantu, pikirku.

“Alinea, kamu masih suka Dorothy Parker? Ah iya, kamu punya alasan kuat, bukan? Tolong sebutkan lagi, Alinea, alasan yang tempo itu kamu tegaskan saat kita membaca puisi-puisinya semalaman di rooftop kontrakanku?”

“Tentu, Sayang. Saya ingat, ah kau pelupa sekali. Bukankah saya bilang kalau puisi-puisinya jernih, tanpa beban untuk bersusah-susah dengan kata-kata.”

“Ah iya, betul, Alinea. Bagaimana dengan pernikahanmu?”

“Kau siap, tidak?”

“Maksudmu?”

“Ya, kau siap atau tidak menikahiku?”

“Aku bahkan siap untuk melompat dari puncak bukit, bersamamu.”

So take my vows and scatter them to the sea; who swears sweetest is no more than human….”

“Sonnet For The End Of A Sequence’, bukan? Sekarang giliranku; there is many and many, and not so far, is willing to dry my tears away; there is many to tell me what you are, and never a lie to all they say….”

“The Willow?”

“Purposely Ungrammatical Love Song’, Alinea. Kamu berutang ciuman.”

Ketika sibuk berbicara dengan diriku sendiri, Alinea tidak menatapku sama sekali. Aku menyadari itu dan ia terus diam. Bahkan ketika aku bermain tebak-tebakan judul puisi ia menganggapku tak pernah ada di ruangan ini. Biasanya, jika ia salah menebak judul, aku akan diciumnya berkali-kali, itu hukuman dan berlaku sebaliknya bagiku. Namun kali ini, jangankan ciuman, menunggu ia tersenyum  seperti menunggu orang-orang Eskimo bercocok tanam kurma. Aku mencari sesuatu dari tatapannya, aku mendekatinya. Sesaat kemudian tangannya sudah kugenggam. Tangan itu dingin, sungguh dingin.

“Alinea….”

“Kurang ajar!”

Ia menyentakkan genggamanku dan kurasakan sesuatu membuat wajahku perih. Kurang ajar! Bentakan itu bergema dan membuat kepalaku pusing. Ia berteriak minta tolong dan aku tahu, aku berada dalam masalah besar.

***

“Kurang ajar!”

Aku terbangun dan berada di ruangan beraroma obat yang memualkan, badanku penuh dengan selang yang entah apa fungsinya.

“Kurang ajar! Kau mengacaukan segalanya, najis tak tahu diri!”

Aku membuka mata dan dengan pandangan kabur kulihat keluarga Alinea di sisi ranjangku.

“Kau sudah berlebihan, jangan pernah dekat dengan keluarga kami lagi, kurang ajar!”

Mereka pergi dan aku ingin menyusulnya lantas menanyakan Alinea, apa kabarnya? Dia baik-baik saja, bukan? Alinea…. Terdengar suara pintu dibanting.

***

Terdengar suara pintu dibuka. Dokter Daud berdiri beberapa detik kemudian, aku tahu ia benar-benar marah kali ini. Alinea meringkuk ketakutan sambil tersedu.

“Kamu baik-baik saja, kan?” Dokter Daud menepuk pundak Alinea, perempuan itu meredakan tangisannya lalu menunjuk ke arahku sambil mengatakan: Tolong jauhkan orang itu! Harapanku hilang ditelan kalimat Alinea.

“Wanua, ini peringatan terakhir.” Dokter Daud menghampiriku yang berdiri dengan rasa bersalah luar biasa. “Saya tidak mau kamu terus-menerus mengganggu pasien saya. Sekali lagi, jika kamu mengulangi, kamu akan kami isolasi dan akan disuntik obat penenang lagi. Ini sama sekali tidak membantu penyembuhanmu, oke? Sekali lagi, jangan mengganggu pasien yang lain, paham?”

Aku mengangguk.

“Kamu akan sembuh, tapi lagi dan lagi, saya katakan, Alinea-mu sudah tenang di surga, kamu harus merelakannya lebih dulu, oke?”

Aku tidak bisa mengangguk untuk hal itu. Bola mataku hangat.

Makassar, 2016

Faisal Oddang
Latest posts by Faisal Oddang (see all)

Comments

  1. Khoirur Rohmah Reply

    wehhhh super keren cerpennya (y)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!