“Jika ada orang yang berbuat baik kepada orang lain, tak usah lagi kau tanyakan apa agamanya, sebab pastilah ia orang mulia.”
Gus Dur
Di laga-laga sepak bola mana pun, segala bentuk taktik diambil untuk satu tujuan akhir: menang (seminimnya, tidak kalah), termasuk taktik bertahan total (acap disebut negative football; esktrem lagi untuk disebut “Mourinhoisme”). Dalam target demikian, taktik bertahan ditamsilkan sebagai bentuk lain menyerang, bila makna menyerang didefinisikan secara mainstream sebagai merebut kemenangan (seminimnya tidak kalah). Aksiomatislah sabda Mourinho di sini, betapa sepak bola bukanlah memainkan bola di lapangan tanpa gawang.
Tersebab itu, lantas sederhana sekali permafhumannya mengapa tidak pernah ada klub yang mendapuk taktik bertahan total bila berhadapan dengan klub-klub minor di bawahnya. Situasinya serentak bergulung terbalik bila klub yang dihadapi berhasil memperagakan permainan atraktif tak terbendung. Mau sekaliber Real Madrid yang dihuni Christiano Ronaldo, Chelsea yang disokong Eden Hazard, ataupun Arsenal yang menelan ludah pahit karena teledor kebobolan di menit akhir laga Anfield meski memiliki Alexis Sanches, semuanya akan mengesahkan taktik bertahan tanpa ampun.
Sepak bola, khittahnya, tentang perkara menang dan kalah. Namun, lepas dari perkara itu, gaya bertahan bukanlah cermin jiwa superior khas para ksatria perang yang senantiasa dipanjikan oleh imaji para fans sepak bola. Chelsea halal saja merebut trofi Liga Champion melalui “senyum dingin” Roberto Di Matteo pada 2012 dan menjuarai Primier League 2015 berkat pragmatisme Mourinho. Namun bahkan para fans Chelsea sendiri, macam Ken Hanggara dan Kak Bana Mojok, tak pernah jemawa menepuk dada di depan fans MU macam Agus Mulyadi dan Mancehster City macam Aconk Aguero perihal cara bertarung pahlawan-pahlawannya. Begitupun nestapa yang mencabik dada Jacob Julian dan Avifah Ve saat Santiago Bernabeu ditahtai Rafael Benitez.
Apa pasal?
Pride. Kebanggaan. Kehormatan. Bahwa para pahlawan kami adalah orang-orang Sparta yang berani menyongsong panah dan kematian kala mencegat ribuan tentara Persia. Begitulah narasi-narasi kepahlawanan yang senantiasa ingin kita dengar hikayat-hikayatnya. Narasi-narasi keperkasaan yang hanya kuasa dipersembahkan oleh kejantanan menyerang, bukan bertahan.
Di garis serupa, dalam keadaan minor dan inferior, para pelaku teror atas nama apa pun, seperti yang baru saja terjadi di Jakarta, senantiasa menempati kursi asalinya. Kursi kepengecutannya untuk head to head as lion.
Sudah sangat usang aslinya untuk sekadar mengangguk bahwa risalah teror sepanjang sejarah peradaban manusia selalu dipilih dengan “sebenar-benarnya amat terpaksa” oleh seseorang atau kelompok minor (marginal) untuk mendapatkan panggung show off-nya. Kepentingan untuk dipedulikan, dianggap ada, berikutnya menuai daya tawar (bargaining position), lantas finalnya mendapatkan kursi kekuasaan, di hadapan otoritas negara, politik, atau pula agama yang dominan, mendesak kelompok minor menashih segala taktik, bahkan yang paling licik tak terperi nistanya. Begitulah analogi setimbang dalam konteks “makna strategis”, bukan moral apalagi kemanusiaan, antara gaya bermain total football dan negative football. Situasi inferior yang terdesak di hadapan klub superior yang dominan sanggup mendesak pelatih dan skuatnya untuk abai pada nilai-nilai agung kepahlawanan yang digenderangkan hati para fans, asalkan di peliut akhir bisa menang (seminimnya tidak kalah); serumpun betul, bukan, sama taktik licik barbar para teroris melempar bom ke kafe Starbuck, pos polisi yang kecil, dan ruang-ruang publik tak berdosa.
Segerbong itulah selalu taktik “cara mengada” para inferior di muka bumi. Bom yang meledak di Paris, Perancis, tahun lalu, lantas di Distrik Sultanahmet, Istanbul, Turki, dan di Sarinah, Thamrin, Jakarta (sekadar menyebut secuil insiden), sepenuhnya bekerja dalam posisi filosofis demikian.
Jika perspektif Anda adalah pride, niscaya Anda akan resah dengan pertanyaan ini: bagaimana alasan logisnya ada manusia yang tega mengesahkan strategi mengada inferior yang memalukan?
Ia terkait dengan dua hal besar: Pertama, ketidak(belum)mampuan mencapai kompetisi level atas, berkelas, dan bermartabat.
Saya nukil satu catatan dari Benedict Anderson, Di Bawah Tiga Bendera (2015). Pada Agustus 1877, Paul Brousse melansir artikel di jurnal radikal, Bulletin de la Federation Jurassienne, dengan propaganda bahwa tinta di atas kertas tidak lagi cukup untuk menggugah kesadaran rakyat; yang diperlukan orang-orang Rusia adalah bertindak sama kejamnya dengan rezim Tsar. Di bulan Desember 1880, Kropotkin menajamkan artikel itu dengan merumuskan teori anarkisme sebagai “…pemberontakan permanen dengan ucapan, tulisan, belati, senapan, dan dinamit. Apa pun bagus asal berada di luar legalitas.”
Pada aspek strategis, propaganda revolusi Brousse dan Kropotkin terhadap Dinasti Tsar dengan teror bom Jakarta yang dikonfirmasi ISIS kemudian, yang oleh Kapolda Metro Jaya, Irjen Pol. Tito Karnavian, dinyatakan diotaki Bahrun Naim (pentolan ISIS yang sedang berkontestasi menjadi pemimpin ISIS Asia Tenggara) seratus persen sejajar. Silakan Anda buka situs bahrunnaim.co, di situ akan Anda temukan propaganda yang identik betul dengan tulisan Kropotkin.
“Jadilah Lone Wolf dengan semampu kalian. Bambu, korek api, pasir, pisau, bahkan batu akan meminta pertanggungjawaban baiat kalian. Tidak adakah jiwa pemberani di antara 250 juta kaum muslim ini? Kurang tegaskah peringatan memerangi orang kafir? Dari saudaramu di Syam.”
Terang sekali bahwa posisi inferior di hadapan otoritas kekuasaan (dalam sejarah revolusi Tsar) dan publik (dalam kasus teror bom Jakarta) sangat potensial mendorong para pelakunya rela mensahihkan segala jalan yang ditakar menguntungkan.
Kedua, landasan moralitas. Inilah nilai pembeda yang sangat mendasar antara propaganda Brousse dan Kropotkin dibanding Bahrun Naim. Bila Brousse dan Kropotkin berpropaganda demi membebaskan rakyat dari belenggu tirani (karenanya dipangkati mulia), Bahrun Naim mencacah publik demi kepentingan ISIS yang benderang kita pahami sebagai gerakan politik mendirikan negara di dalam negara Irak dan Suriah (karenanya dituding nista).
Perihal ada emblem Islam pada ISIS, pula seruan “memerangi orang kafir” yang acap serampangan disebut “jihad” dalam situs Bahrun Naim, dengan sangat sederhana hal itu bisa dimengerti sebagai “justifikasi simbol-simbol sakral” yang paling bertenaga mengeduk simpati.
Bagaimanapun, semaju apa pun pencapaian sains dan teknologi, agama tetaplah menempati tahta strategis untuk menggalang massa. Sekeras apa pun pekikan Karl Marx yang membenci agama karena dijadikan salah satu senjata oleh kaum borjuis untuk melenakan kaum proletar melalui buaian janji-janji kehidupan bahagia setelah kematian (akhirat), agama tetaplah jagat makrokosmos dengan energi spiritual-transendetal tak terperikan. Pada sebagian umat agama, dan ironisnya masih saja berjumlah besar, keyakinan demikian dibiakkan sepenuh buta sampai melindas logika-logika dasar universal keadaban dan kemanusiaan. Berurat berakar selaksa tunjangnya menghunjami rongga dada jiwa yang disebut iman, yang kerap tertabalkan melalui aksi-aksi dungu yang tak pernah kuasa dibayangkan imajinasi terliar yang sanggup dicipta.
Bagaimana mungkin kita kuasa menghela imajinasi akan ada manusia yang tega meledakkan dirinya? Bagaimana bisa kita sanggup menata angan akan ada manusia yang lantang memekik “Allahu akbar” di hadapan tubuh-tubuh asing yang ia tahu memiliki keluarga tercinta sepertinya, lalu ditembak, dibunuh, dirampas hidupnya tanpa ampun?
Benarlah George Orwell, binatang tidaklah lebih binatang daripada yang selainnya, termasuk manusia.
Memang, power irasionalitas acap tangguh membuat orang waras membeliak tak percaya. Power durja demikian bukan pula hanya bisa diberikan oleh pembengkokan agama. Ultra nasionalisme yang digawangi Hitler dan ideologi-ideologi fasis lainnya juga sanggup mengobarkan aksi kekerasan serupa. Tetapi agamalah narasi yang paling digdaya, paling masif, dan paling murah biayanya. Mari ingat sejanak, sejarah Perang Salib, misal, digerakkan semudah meludah oleh Paus Urbinus II dengan sekadar memekikkan “Tuhan sudah menghendaki”. Demikian pula di kubu Islam. Yerussalem yang dipangkati “kota suci Islam” sangat digdaya menggerakkan para muslim dari berbagai belahan latar untuk terjun ke medan tragedi itu.
Tak ada celah sama sekali untuk membantah validitas pandangan Mark Juergens Meyer dalam buku Terror in the Mind of God pada titik ini. Mark menegaskan, dengan mengatasnamakan Tuhan, sebagian pemeluk agama berbangga hati memenuhi panggilan “martir suci”. Kematian ditahbiskan sebagai “jalan kemuliaan” untuk membela marwah Tuhan. Kematian dikuduskan sebagai penghambaan Ilahi yang paling purna, sembari dalam hati mendamba kehidupan abadi nan bahagia dikawani 70 bidadari surgawi yang selalu suci sekalipun dikangkangi berjuta kali di akhirat nanti. Lupakan hikayat bokong Kim Kardashian yang bisa menampung gelas berisi air dan dada Myriam Atallah yang menurut testimoni Ve tumpah-ruah berceceran ke mana-mana di hadapan ilustrasi bidadari surgawi ini.
Meyer sungguh tak salah bila akhirnya menandaskan bahwa semua agama pada dasarnya mengerami dua potensi besar di dalam rahimnya, yakni potensi kedamaian dan potensi kekerasan.
Di hadapan manusia-manusia nirakal yang kerap merindukan mati demi memungkasi nestapa hidupnya, tak ada yang bisa kita lakukan selain merawat akal sehat diri dan keluarga melalui intensi ilmu pengetahuan dan pergaulan. Bahwa tidaklah mungkin Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang menyeru manusia meledakkan diri, membunuh manusia-manusia lain, dan menderaikan air mata keluarga-keluarga yang kehilangan sanaknya tercinta di rumah-rumah yang tak tahu pasal dan perkaranya. Dengan mata haru, Dalai Lama menasihati kita, “Jika Tuhan adalah Dzat yang memerintahkan manusia melakukan kekerasan, sungguh Dia bukanlah Tuhan yang layak disembah.”
Sikap berikutnya yang bisa kita dedikasikan di hadapan aksi-aksi teror ialah menegasi dampak teror secara psikologis. Teror senantiasa mencitakan ketakutan khalayak sebagai indikator keberhasilan show off-nya. Suasana chaos menjadi impian jiwa para teroris agar bisa menepuk dada. Otomatis, mengabaikan dera ketakutan psikologis menjadi antidot yang paling jemawa untuk membalik indikator keberhasilan show off itu.
Sebagai tamsil yang lebih terang, silakan renungkan narasi Pangeran Siahaan tentang sosok megah Juergen Kloop. Seorang jurnalis bertanya pada Kloop yang tampak mulai mengalami kebotakan pasca tak lagi melatih Borussia Dortmund.
“Anda potong rambut di mana?”
Kloop tersenyum, menyahut sembari bergestur abai. “Bagaimana potongan rambut saya, bagus, kan?”
Sang jurnalis bengong. Pertanyaan satire-nya tak memberikan efek psikologis apa pun pada diri Kloop. Justru dialah kini yang terjerengkang offside.
Di kisah “seolah abai” sejenis ini, boleh pula kita mengingat aksi pemain sayap Barcelona, Dani Alves, saat dilempari pisang oleh fans rivalnya. Dengan tenang Alves menjamah pisang yang dinadakan olok-olok rasis itu, mengupasnya, lalu memakannya tuntas, kemudian masuk kembali ke lapangan dengan tenang. Seolah tak pernah terjadi apa pun!
Berdrama bebal kadang diperlukan saat menghadapi orang-orang yang alpa pada pangkatnya sebagai manusia yang dianugerahi akal dan hati. Menggubris tindakan barbar mereka hanya akan memposisikan mereka ada, penting, dan berpengaruh pada hidup kita. Berlagak bebal adalah antidotnya. Antitesanya. Di kepicikan gundul para aktor kebiadaban itu, niscaya akan terbuhul sintesa baru bahwa sungguh ia tidaklah penting, bukanlah siapa-siapa. Ia bahkan lebih menyedihkan daripada butiran debu yang tak tahu arah jalan pulang.
Jakarta, 15 Januari 2016
- Memahami Peta Syariat, Ushul Fiqh, dan Fiqh Dengan Sederhana - 28 October 2019
- Kembalikan Segala Perbedaan kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya Saw. - 30 September 2019
- Memahami Kompleksitas Maqashid al-Syariah - 16 September 2019