Catatan dari Kusala Sastra Khatulistiwa 2017

NusantaraNews.co

Pulang dengan laki-laki yang berbeda itu bikin malu. Namun menggandeng Mat Dawuk ke depan kedua orangtuanya dianggap lebih buruk dari sekadar penghinaan.

“Kenapa tak kau laburi saja muka ibumu ini dengan tahi, In!” jerit ibunya sebelum tumbang pingsan.

“Begitu rusakkah kamu sampai sebegitu tak lakunya?” tanya bapaknya dengan nada jijik.

Dan itu pula pertanyaan hampir semua orang.

Dan pertanyaan itu sama sekali tak mengherankan. Wajah Mat Dawuk nyaris sama buruknya dengan namanya. Ia tak berasal dari Rumbuk Randu, tapi dari Sumur Jeru, dari sebuah keluarga ancur-ancuran yang nanti, kalau ada kesempatan, akan aku ceritakan. Meski begitu, semua orang di Rumbuk Randu tahu tentangnya, setidaknya untuk satu hal: ia adalah si bocah liar buruk rupa yang sejak kecil berkeliaran di kebun-kebun, kuburan, dan tegalan mereka.

Agak sulit menjelaskan betapa buruknya Mat Dawuk di masa bocahnya, sebagaimana sulit menjelaskan betapa mengerikan wajahnya saat dewasa. Untuk lebih gampangnya begini saja: bayangkan seorang bocah yang jika dia adalah anak atau keponakan kalian, maka kalian akan merasa malu untuk mengakuinya. Nama aslinya bagus, bahkan agung: Muhammad Dawud. Tapi, karena sejak kecil ia begitu kumuh, kumal, tak terawat, orang mengejeknya sebagai “dawuk”, sebutan yang biasanya dipakai orang Rumbuk Randu untuk menyebut kambing berbulu kelabu. Sejak itu orang memanggilnya Mat Dawuk.

Lebih buruk dari wajahnya adalah nasibnya.

(Mahfud Ikhwan, Dawuk, hlm, 19).

****

13 Oktober 2017, di akun Facebook, saya menulis:

Merumuskan definisi ‘sastra’ memang bukanlah pekerjaan sederhana dan cenderung abstrak. Saya pun tak punya definisi yang sungguh-sungguh memuaskan.

Melalui buku Dawuk ini, saya ‘merasakan’ dengan sangat terang, kuat, dan konkret, inilah novel sastra serius itu! Amat sangat kerasa bedanya dengan, ehmm, ‘sastra pop’.

Saya membacanya dengan pelan, pelan, karena saya tak ingin melewatkan satu kalimat pun. Bukan soal khawatir kelewatan alurnya. Tapi ‘jagat sarkasme’ yang dibangun oleh Mahfud terasa menikam benar, penuh konsisten, stabil meledak-ledak, pada tiap kata bahkan. Apalagi kalimat. Apalagi paragraf.

Saya tandai begitu banyak dari narasi novel ini untuk bekal saya mengulang kelak jika saya rindu narasi sarkastis yang kejam dan keji. Jauh lebih banyak dari penandaan saya pada Rumah Kertas, Petualangan Don Quixote, dan Semua Ikan di Langit.

Di beberapa kesempatan lainnya kemudian, saya tanpa tedeng aling-aling mengatakan bahwa Dawuk merupakan jagoan saya untuk memenangi kategori prosa di event Kusala Sastra Khatulistiwa ke-17 ini.

Maka, menjadi kebahagiaan yang membuncah buat saya tatkala pada tanggal 25 Oktober 2017 kemarin, di Plaza Senayan, Jakarta, novel Dawuk benar-benar dinobatkan sebagai prosa terbaik tahun ini oleh Kusala. Meski terlambat tiba di lokasi acara—oh Jakarta, Jakarta—saya langsung menghambur ke arah Mahfud Ikhwan yang melintas di lokasi acara, memberikan ucapan selamat dan memeluknya erat penuh bahagia. Mahfud tersenyum, kebahagiaan memancar di wajahnya—meski ia tampak risih dengan pelukan saya. Ya Tuhan, saya lupa bahwa saya lelaki.

****

Usaha untuk menghadiri acara Kusala tahun 2017 ini buat saya sangatlah heroik. Saya tiba di Halim, Jakarta, sekira pukul 13.00, langsung meluncur ke hotel di Kelapa Gading, dan tidur. Sungguh perjalanan ini membuat saya letih. Jakarta, begitu tepatnya, selalu berhasil membuat saya letih. Pukul 18.00 saya dijemput oleh dua kawan—sengaja saya meminta dijemput di jam tersebut karena saya tak ingin mengalahkan shalat Maghrib dengan Kusala. Jalanan Jakarta yang membuat saya selalu letih sontak menyambut dengan pekik klakson, udara yang gerah, panas, pejal, riuh lalu-lalang mobil, dan sudah pasti kemacetan yang tak kuasa dibahasakan lagi.

Mobil terus melaju entah ke sisi mana saja dan waktu telah menunjukkan pukul delapan malam.

“Masih lama, ya?”

“Sebenarnya sudah dekat, cuma macetnya ini….”

Saya kembali diam. Teringat rumah, anak-anak, Jogja, dan deretan kafe rakyat di sekitaran Sorowajan, tempat saya biasa menghabiskan malam untuk kongkow atau menulis apa saja. Saya jadi teringat ucapan Sujiwo Tedjo. Saya mengunggah sebuah foto kamacetan Jakarta dengan memberikan caption begini:

Orang-orang Jogja yang lagi menyeruput kopi di kafe Basabasi atau Blandongan atau Kopas sedang menertawakan saya habis-habisan.

Persis pukul 20.30, saya tiba di Plaza Senayan dan acara baru saja purna. Kursi-kursi mulai ditinggalkan, sejumlah orang bergerombol dalam bincangan-bincangan yang entah. Sekilas saya lihat ada Richard Oh, Geger, Kedung, Irwan Bajang, Fahri Salam, juga Mahfud tentunya.

Saya tak merasa perlu menyesalkan apa-apa atas keterlambatan ini—sebab niscaya hanya akan melecutkan penyalahan-penyalahan—toh ini sudah ditakdirkan-Nya. Takdir berikutnya menolong hati saya. Mas Geger mengajak kami membelah jantung Plaza Senayan, terus ke belakang, terus, melintasi jalan raya, lalu masuk ke sebuah apartemen megah. Rupanya, di sinilah saya mendapatkan silaturahim yang saya impikan itu.

Jamuan makan malam dihidangkan. Kami pun makan dengan lahap. Sejumlah orang saya sapa atau menyapa saya. Banyak orang yang saya kenal di sini, sebanyak yang tak saya kenal, lantas saya kenal. Di antara mereka ada Kiki Sulistyo—pemenang Kusala 2017 ini untuk kategori puisi. Orangnya kalem, mungkin pendiam. Entahlah. Yang saya tangkap kemudian setelah cukup banyak berbincang, dia tipikal penyair yang tak mencari panggung keriuhan. Meski juara, dia memilih duduk di tepian, pinggiran, dengan menekuk kepala dan hanya sesekali mengeluarkan suaranya.

Di sini pula saya berjumpa Toni Lesmana, Hasta Indriyana, Indrian Koto, dan tentu pula Richard Oh. Saya lalu menyudut, berbincang panjang dengan Geger.

Saya haturkan kepadanya hormat dan takzim saya untuk seluruh tim Kusala yang telah teruji secara istiqamah menggelar event sastra ini. Tanpa Anda perlu memberikan argumentasi atau apa saja istilahnya, keberadaan event sastra sekelas ini merupakan berkah dengan manfaat luar biasa bagi sejarah kesusastraan Indonesia dibanding tidak adanya.

Geger yang mengesankan rendah hati mendalam dengan kacamata beningnya yang menguarkan aura kecerdasan mengatakan bahwa untuk tahun ini Penerbit Basabasi menyedot perhatian seluruh dewan juri Kusala dengan banyaknya buku sastra yang diterbitkan. Saya sebutkan nama Tia Setiadi sebagai aktor intelektual yang memberikan darah luar biasa untuk denyut jantung Basabasi. Tentu pula dukungan dari banyak sahabat pegiat sastra dari pelbagai daerah yang tak henti-hentinya mengucur, baik dalam bentuk pengiriman karya terbaiknya maupun diskusi-diskusinya.

Saya melengkapi pelbagai informasi lainnya kepada Geger tentang apa yang saya lakukan di Basabasi. Di antaranya, bahwa penerbit Basabasi yang sedari awal meletakkan posisinya sebagai indie dalam artian merdeka semerdekanya memiliki dua misi utama: mengakomodir segala bentuk dan ekspresi karya yang out of the box dan mewadahi anak-anak muda yang memiliki kekuatan karya—selain tentunya karya-karya para sesepuh yang sangat berharga untuk diangkat kembali agar dikenal oleh generasi muda.

Saya lontarkan sejumlah kalimat semangat kepada Richard Oh. Saya tertawa ketika dia mengatakan: “Ini takkan lama, pasti ada saja orang komentar ini itu tentang Kusala tahun ini. Ah, saya sih bodo amat….” Tawanya meledak.

****

Apa yang dicapai oleh Mahfud dan Kiki—saya lupa nama juara satunya lagi untuk kategori “pendatang baru”—buat saya sudahlah sepatutnya. Keduanya, selain memiliki kehangatan yang luar biasa sebagai manusia dengan karya-karya berkelas, berhasil menampilkan karya sastra yang megah. Pada beberapa titik, saya bahkan sampai pada penyimpulan bahwa novel Dawuk jauh lebih kuat ketimbang novel Rumah Kertas—yang ramai digunjingkan beberapa waktu lalu—dalam segala aspek. Boleh jadi memang ini dipantik oleh kedekatan tradisi saya dengan tradisi Mahfud, daripada dengan novel Rumah Kertas yang berlatar Amerika Latin.

Saya, dulu, juga membaca Raden Mandasia yang memenangi Kusala tahun sebelumnya, dan saya meraih kepuasan yang sama.

Dari dua pembanding sepintas ini, saya optimis bahwa “cukup banyak” karya sastra kita—di luar karya-karya Eka Kurniawan—yang sejatinya layak betul untuk dilejitkan ke percaturan sastra global. Karya-karya sastra kita kini tidaklah relevan sama sekali untuk dituding underdog di hadapan teks-teks sastra dunia.

Kita hanya masih punya pekerjaan rumah yang sangat mendasar, yakni rendahnya kegiatan penerjemahan karya sastra kita ke dalam bahasa-bahasa dunia. Sudah pasti, pada kerja besar ini, peran negara sangat kita harapkan. Urusan biaya, tenaga, waktu, dan otoritas sudah pasti akan jauh lebih gahar bila dipayungi oleh program-program kementerian.

Saya berharap suatu hari novel Dawuk, juga Raden Mandasia, dan tak lupa Telembuk (plus novel yang baru saya baca, Susu Ibu), bisa mendapatkan kesempatan strategis untuk diterjemahkan ke dalam bahasa asing. Keempatnya—hanya untuk menyebut segelintir—niscaya siap berkompetisi dengan novel-novel dari kawasan Jepang, Amerika Latin, dan pula Eropa.

 

Jakarta, 26 Oktober 2017

Edi AH Iyubenu

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!