Burung berkukuk saat jarum jam menunjukkan pukul delapan. Bunyinya: kukuk, kukuk, kukuk. Oleh karenanya, ia disebut jam kukuk atau cuckoo clock. Tumbuh membesar dari Selatan Jerman dan diproduksi dari kayu yang hanya bersumber dari Black Forest di negara bagian Baden-Württemberg, jam kukuk merupakan hasil karya bernilai tinggi dan menjadi suvenir paling mahal dari Jerman, Swiss, maupun Austria.
Di sekitar danau sendu bernama Titisee, di mana angsa-angsa berenang di tepi dengan riang dan bendera Jerman berkibar dari tiang-tiang perahu, ada sebuah tempat workshop jam kukuk yang cukup terkenal. Lokasinya berada di bawah basement toko barang mewah Drubba Shopping. Anda bisa menemukannya di pinggir Jalan Seestraße, Titisee-Neustadt, Jerman yang lengang, indah, dan daun maple yang berguguran. Waktu saya datang, hujan tidak berhenti mengguyur dan suhu udara paling tidak berada di sebelas derajat Celsius. Bahkan saya terpaksa membeli kupluk rajut dadakan berwarna hijau seharga sepuluh euro di salah satu toko suvenir.
Di dalam toko barang mewah tersebut, saya agak terkejut ketika disambut oleh seorang karyawan toko yang juga berasal dari Indonesia. Ia memiliki rambut lurus panjang kecokelatan bermata belo dan bersinar, serta berpakaian musim gugur yang trendy. Senyumnya begitu semringah hingga menampilkan giginya yang putih bersih. Lalu ia mengarahkan saya dan rombongan menuruni tangga menuju basement yang hangat.
Di basement, tempat workshop jam kukuk, yang sedikit berantakan namun tetap memukau, menyapa saya dan rombongan. Terdapat meja panjang dipenuhi potongan-potongan kayu, alat ukir beragam ukuran, potongan elemen jam, dan banyak printilan proses pembuatan jam lainnya. Entah mengapa, semenjak saya datang ke Eropa, saya menjadi mudah terpukau pada hal-hal kecil. Jadi saya menyentuhnya dengan hati-hati, merasakan ujung-ujung kayu, dan merasakan dinginnya potongan besi. Saat saya menoleh ke sisi lain, saya melihat salah satu sisi permukaan dinding basement dipenuhi jam kukuk beragam ukuran dan ukiran.
Lalu datang wanita manis keturunan Asia mengenakan pakaian terusan hitam dan berkacamata tipis. Ia memakai masker. Matanya tersenyum. Namanya Nona Young. Dia menjelaskan awal mula pembuatan jam kukuk sembari memperlihatkan potongan-potongan kayu dari Black Forest. Kayu-kayu ini akan disimpan setidaknya selama tiga hingga lima tahun untuk dikeringkan terlebih dahulu sebelum dibuat menjadi jam kukuk. Sembari menjelaskan, perusahaan jam kukuk tempat Nona Young bekerja tetap memikirkan bagaimana mengupayakan Black Forest agar sepanjang waktu menjadi selayaknya “hutan”, dengan beragam program keberlanjutan yang mereka miliki.
Jam kukuk diciptakan dari kayu berkualitas tinggi. Nona Young tidak mengemukakan nama atau jenis kayu spesifik yang digunakan. Namun di hadapan saya terdapat beberapa batang kayu gelondongan berwarna cokelat muda serta beberapa bagian kayu yang sudah jauh lebih kering dan ringan. Jam kukuk pertama yang dibuat di tempat workshop ini, sekitar tahun 1940-an, seluruh bagian jamnya terbuat dari kayu, tak terkecuali roda giginya. Memang, tak ada yang mudah dalam seluruh rangkaian pembuatannya.
Jadi, bagaimana jam kukuk tradisional berdetik? Nona Young menempatkan pemberat berupa batu lonjong pada kaitan di bagian bawah jam. Dengan begitu, batu pemberat menjadi tenaga bagi jam untuk berdetik. Batu itu biasanya didapat pengrajin dari sungai atau sekitar danau. Di zaman sekarang, mesin jam sudah modern dan batu pemberat sudah digantikan besi. Meski begitu, seluruh bagian badan serta ukiran jam tetap terbuat dari kayu.
Ini bagian paling menariknya! Nona Young menunjukkan beragam bunyi kukuk. Ada bunyi kukuk ringan, sedang, maupun berat. Bunyi-bunyi itu juga disertai gerakan burung mengepakkan sayap, menutup dan membuka paruh, serta tubuh condong ke depan. Namun, tidak semua jam kukuk berbunyi “kukuk”. Ada pula bunyi “A Man Who Eats Potato” dan denting-denting yang menyusun nada menjadi sebuah lagu. Gerakan musik biasanya memiliki dua melodi dan 36 suara. Melodi berubah setiap jam. Contohnya, ada jam berbunyi melodi “Happy Wanderer” kemudian berganti menjadi “Edelweiss”. Kreativitas seniman jam kukuk di tempat asli ini berkembang seiring jangkauan pasar jam kukuk yang semakin luas hingga seluruh dunia.
Saya lihat jam kukuk paling murah berukuran kecil dengan ukiran dan elemen lebih sederhana. Jam kukuk jenis itu berharga di kisaran 300 euro ke atas. Jam paling mahal, mewah, klasik, serta berukuran besar ada di kisaran belasan ribu euro. Selain menentukan harga jam dari ukuran dan tingkat kerumitan ukiran, harga jam kukuk juga ditentukan dari bunyi “kukuk” yang dihasilkan. Semakin otentik dan jernih bunyinya, maka harga jam pun semakin tinggi.
Selain burung, maskot lain yang sering muncul dalam dekorasi jam kukuk adalah karakter The Black Forest Girl yang telah menjadi legenda di Jerman. Ia merupakan karakter seorang gadis yang mengenakan terusan putih dan hitam dengan bagian lengannya terdapat kerutan balon yang mengembang. Ia juga memakai topi lebar yang di atasnya terdapat bola-bola serupa pompom berwarna merah. Gadis yang mengenakan topi seperti ini merupakan pertanda bahwa ia belum menikah. The Black Forest Girl pun bahkan sudah difilmkan dengan judul serupa pada 1950.
Jam kukuk bukan sekadar jam. Ia merupakan identitas bagi warga Jerman Selatan. Banyak pengusaha di sekitar Danau Titisee dan Black Forest membuat jam kukuk sejak abad ke-18. Usaha ini kemudian diturunkan kepada anak dan cucu serta berhasil mencetak banyak seniman jam kukuk ternama di daerah Selatan Jerman hingga Swiss. Bahkan, ekspor jam kukuk menjadi salah satu pendapatan terbesar bagi Jerman.
Ah, seharusnya catatan ini menjadi catatan pendek saja. Tapi saya terlalu cerewet! Tulisan singkat ini akan saya tutup dengan perkataan tokoh Harry Lime yang diperankan oleh Orson Welles, dalam film The Third Man (1949), menandakan bahwa jam kukuk sudah tersohor sejak lama.
“You know what the fellow said—in Italy, for thirty years under the Borgias, they had warfare, terror, murder, and bloodshed, but they produced Michelangelo, Leonardo da Vinci, and the Renaissance. In Switzerland, they had brotherly love, and they had 500 years of democracy and peace. And what did that produce? The cuckoo clock.”
- CATATAN KECIL TENTANG JAM KUKUK - 26 October 2022
Frida
Keren Nabila. Sukses selalu…. 🤗😍
menalarasati
terimakasih untuk tulisannya…