Sudah banyak orang yang menuliskan riwayat hidup al-Ghazali. Jika Anda lebih suka menonton, ada film dokumenter tentang al-Ghazali dan menangkap momen-momen penting dalam hidupnya dari masa remaja hingga menjadi filsuf-sufi kenamaan. Judul film ini ialah The Alchemist of Happiness (2004), yang terinspirasi dari salah satu karya al-Ghazali, Kimiya’ as-Sa’adah (Kimia Kebahagiaan). Sebagai rekaman kelas logika pertemuan kedua, dan agar esai tidak seperti Wikipedia, saya ingin fokus pada karya-karyanya saja dan sejauh mana penerimaannya pada filsafat.
***
Dalam persepsi yang dimiliki cukup banyak orang, al-Ghazali dianggap sebagai figur yang bertanggung jawab atas kemunduran filsafat di dunia Islam. Benarkah pandangan ini? Mari sejenak menengok daftar karya-karyanya.
Umumnya sarjana peneliti al-Ghazali membuat periodesasi karya-karyanya dalam tiga fase, yakni (1) saat menjadi guru besar di Madrasah Nizhamiyyah pusat di Baghdad pada usia 32-37; (2) setelah melepaskan jabatan guru besar untuk uzlah dan mengembara hingga kembali ke kampung halaman, pada usia 37-47; (3) setelah balik ke kampung halaman di Tus (kini wilayah Iran), sempat mengajar kembali di Nizhamiyyah—kali ini di cabangnya di Nishapur karena ia menolak kembali ke Baghdad—hingga wafat, pada usia 47-53.
Di fase pertama, karya utamanya, selain dalam bidang fikih dan ushul al-fiqh, adalah empat kitab filsafat-cum-teologi: Maqashid al-Falasifah, Tahafut al-Falasifah, Mi’yar al-‘Ilmi, dan al-Iqtishad fil-I’tiqad. Karya tasawufnya, Ihya’ ‘Ulumiddin (Menghidupkan Ilmu-ilmu Agama), ditulis pada fase kedua. Al-Munqidz minad-Dhalal (Penyelamat dari Kesesatan) dan al-Mustashfa pada fase terakhir. (Ini sedikit saja dari begitu banyak karya al-Ghazali. Banyak peneliti mendaftar puluhan karya al-Ghazali. Peneliti belakangan, Abdurrahman al-Badawi, menulis buku Mu’allafat al-Ghazali yang mendaftar, baik kitab maupun surat (risalah), hingga 228 karya yang ternisbatkan pada al-Ghazali).
Sejumlah sejarawan peneliti al-Ghazali menyebutkan bahwa Maqasid al-Falasifah (Tujuan Para Filsuf) berisi mirip dalam substansinya dengan Danesh-Name Alai, satu-satunya karya utama filsafat Ibn Sina yang ditulis dalam bahasa Persia, meski dengan urutan bab yang berbeda. Maqasid berisi tiga ilmu, yakni logika (manthiq), filsafat alam (thabi’iyyat), dan metafisika (ilahiyyat). Al-Ghazali menyatakan di akhir Maqashid bahwa kitab ini menjadi pengantar sebelum masuk ke Tahafut.
Tahafut al-Falasifah (Kerancuan Para Filsuf) berisi argumentasi untuk menolak tiga pandangan metafisika filsuf Muslim Aristotelian seperti al-Farabi dan terutama Ibn Sina. Tiga pandangan itu adalah: 1) bahwa alam tidak bermula; 2) bahwa Tuhan tidak mengetahui hal-hal partikular; dan 3) bahwa tidak ada kebangkitan badani di hari akhir.
Jika hendak diperas, isi dari apa yang disebut filsafat (falsafah) pada abad pertengahan yang dominan dipengaruhi oleh filsafat Aristotelian berisi enam bidang, yakni logika (manthiq), aritmetika (riyadhiyyat), filsafat alam (thabi’iyyat), metafisika (ilahiyyat), politik (siyasiyyat), dan etika (khuluqiyyat). Dalam Tahafut, al-Ghazali jelas menyatakan hanya dengan metafisika, ditambah sedikit dari thabi’iyyat, ia memiliki masalah utama dengan filsafat Ibn Sina, bukan dengan cabang filsafat lain. Di akhir Tahafut, al-Ghazali menyebutkan bahwa ia akan menulis Mi’yar al-‘Ilmi (Standar Ilmu) untuk menguraikan logika yang mendasari cara berpikirnya dalam Tahafut dan menjelaskan istilah-istilah teknis di dalamnya.
Mi’yar sendiri sejatinya berisi eksposisi logika Aristotelian, yang sumber pengetahuan al-Ghazali tentangnya tidak lepas dari karya-karya Ibn Sina juga. Al-Ghazali menyatakan bahwa logika dan metafisika Aristoteles/Ibn Sina bukanlah satu paket filsafat yang harus diterima semuanya—keduanya bisa dipisah. Dengan kata lain, al-Ghazali juga mempromosikan ilmu logika, termasuk fungsinya bagi ilmu keislaman seperti ushul fiqh.
Al-Iqtishad fil-I’tiqad (Moderasi dalam Berkeyakinan) menguraikan argumen doktrin-doktrin Asy’ariyyah. Bila Tahafut hanya memberikan argumen-argumen penolakan (rebuttal/rudud) saja, alias tidak utuh menawarkan sistem teologi, maka al-Iqtishad yang mengisinya. Kurang lebihnya, bila Tahafut berisi negasi (nafy), maka al-Iqtishad adalah afirmasi (itsbat).
Tampak bahwa al-Ghazali tidak benar-benar menolak filsafat. Sebagian besar isi Tahafut sejatinya adalah penolakan sejumlah pandangan metafisika dengan cara ala filsafat juga. Kata ‘tahafut’ sendiri kerap diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan ‘incoherence’. Dalam Tahafut, al-Ghazali pada intinya ingin menunjukkan bahwa dalam argumentasi yang dibangun para filsuf Aristotelian itu ada premis-premis yang masih bolong, yang argumentasinya inkoheren. Ketika membaca Tahafut, seseorang akan sekaligus belajar cara berpikir falsafi juga.
Di bagian awal Tahafut, al-Ghazali mendukung temuan-temuan filsafat alam (thabi’iyyat) dan mengecam orang yang membenturkannya dengan agama. Al-Ghazali menyatakan bahwa sesiapa yang berpandangan bahwa menolak klaim-klaim ilmu alam, seperti fakta bumi bulat misalnya, sebagai bagian dari pembelaan terhadap agama, “maka dia telah berbuat kriminal terhadap agama dan [justru] melemahkannya.” (Bunyi teksnya: “man zhanna anna al-munazharah fi ibthal hadza min ad-din, faqad jana ‘alad-din wa dha’afa amrahu”).
Sayang, barangkali karena al-Ghazali sampai menjatuhkan vonis kafir ke para filsuf Aristotelian itu dampaknya dalam wacana umum jadi berbeda. Filsafat Aristoteles beranjak kehilangan pamor di dunia Islam di Timur, sehingga beralih ke Barat, ke Andalusia, dan dirawat oleh Ibn Rusyd. Satu kajian mendalam perlu dilakukan mengenai apakah vonis kafir di Tahafut itu perlu dilakukan, terutama jika dibandingkan misalnya dengan karya lain al-Ghazali tentang takfir, seperti Fayshal at-Tafriqah (Pemutus Perbedaan). Jika Anda baca karya-karyanya, Ibn Sina selalu mengawali kitabnya dengan hamdalah dan salawat. Ia dalam risalah-risalah metafisikanya, termasuk dalam magnum opus-nya Asy Syifa (Penyembuhan), bahkan memberikan argumentasi falsafi untuk fenomena kenabian. Bilamana Ibn Sina dinyatakan kafir, gelar ‘bapak kedokteran Islam’ tidak bisa disandangkan kepadanya.
***
Salah satu alasan yang membuat sejumlah ulama menolak mantiq dan filsafat ialah bahwa kedua ilmu ini membuat orang Islam jadi suka mempertanyakan doktrin agama dan menyebarkan keraguan. Apakah al-Ghazali berbagi keberatan ini?
Dalam karya semi-autobiografinya, al-Munqidz, al-Ghazali justru menuliskan perjalanan hidupnya yang mengalami keraguan atas kebenaran yang sebelumnya ia percayai. Sejumlah peneliti menyebut bahwa narasinya dalam meragukan kebenaran ini mirip seperti narasi-diri Descartes (abad 17), salah satu filsuf yang turut membidani Pencerahan di Eropa. Keduanya berbagi skeptisisme metodologis—ragu sebagai metode. (Ada satu disertasi doktoral, karya Mahmoud Hamdi Zaqzouq di Munich University pada 1968, yang kemudian dibukukan dengan judul al-Manhaj al-Falsafi bayn al-Ghazali wa Dikart [Metode Filsafat antara al-Ghazali dan Descartes] yang membahas topik ini dengan membandingkan al-Munqidz dengan dua karya Descartes yakni Discourse on the Method dan Meditations on the First Philosophy.)
Metode keraguan ini pada intinya ialah: untuk mendapatkan pengetahuan yang benar, seseorang mesti, secara mandiri, meragukan dahulu pengetahuan yang ia punya dan kemudian menyaringnya mana yang benar-benar meyakinkan. Dalam hal ini, ia mesti meragukan pengetahuan yang ia terima dari kata orang, dari para pendahulunya atau dari masyarakat sekitar, alias menolak taqlid. “Sapera aude”, berani berpikir mandiri—demikian salah satu bunyi slogan Pencerahan.
Dalam uraian al-Ghazali (juga Descartes), bahkan pengetahuan yang diperoleh dari indra (senses/hawas) bukan termasuk pengetahuan yang meyakinkan. Menyangkut ini, al-Ghazali memakai analogi mimpi: Ketika bermimpi, seseorang mengira apa yang disaksikan dan dirasakannya itu riil, tetapi ketika ia bangun, ia menyadari yang disaksikannya ketika tidur itu maya belaka. Maka ada dikatakan, dalam ungkapan yang diatribusikan kepada Nabi (tapi sebagian lain menyebutnya ia dikatakan oleh Ali ibn Abi Thalib): “an-nas niyam faidza matu intabahu”, manusia tidur, ketika ia mati, ia bangun. [Boleh jadi yang kita saksikan di dunia ini semaya yang kita saksikan dalam mimpi, sementara realitas yang sejati, yang mendasari kehidupan dunia yang fana ini, baru bisa kita sadari setelah mati.]
Tingkat keyakinan yang ingin diraih oleh al-Ghazali, seperti disampaikannya dalam al-Munqidz, ialah seperti tingkat keyakinan bahwa “tiga lebih sedikit dari sepuluh tetaplah benar sekalipun ada orang yang mendaku sebaliknya dengan dalil kemampuannya mengubah tongkat menjadi ular”. Dengan kalimat lain, kebenaran yang meyakinkan ini tetap benar dan tidak gugur kebenarannya oleh karena suatu keajaiban/kemukjizatan. Pengetahuan ini tetap benar, baik kita akui maupun tidak, baik saat kita tidur maupun terjaga. Descartes membuang hal-hal yang meragukan itu hingga taraf paling minimal, yang tak bisa diragukan lagi, yakni bahwa ketika kita ragu, kita tetap tak bisa meragukan eksistensi keraguan kita itu sendiri—saat kita ragu, kita berpikir, dan saat berpikir itu kita yakin kita ada (“cogito ergo sum”). Dalam penjelasan al-Ghazali, ragu ialah penanda bahwa seseorang betul-betul serius dengan keyakinannya. Tanpa ada proses keraguan, keyakinan seseorang tidaklah beda dari taqlid—ia menerima begitu saja yang didengarnya. Kata al-Ghazali di akhir Mizan al-‘Amal (kitab sekuel dari Mi’yar al-‘Ilmi): “Jika uraian-uraian [dalam kitabku ini] membuatmu meragukan keyakinan yang kamu warisi, maka cukuplah [dengan keraguan itu] kau mendapat manfaat, sebab keraguanlah yang akan membawa pada kebenaran (“idz as-syukuk hiya al-mushilah ilal-haqq”).
- Catatan Ngaji Mantiq #10: Tiga Jenis Argumen - 4 February 2021
- Catatan Ngaji Mantiq #9: Syarat-Syarat Kontradiksi - 28 January 2021
- Catatan Ngaji Mantiq #8: Proposisi dan Ekuivalensi - 21 January 2021