Bahasan terakhir dalam mantiq yang masih terkait dengan proposisi ialah kontradiksi (tanaqudh). Namun, sebelum masuk dalam topik ini, perlu ada sedikit catatan tentang perbedaan pengertian antara kontradiksi dalam mantiq dan kontradiksi dalam logika modern.
Logika modern membahas kontradiksi biasanya bersama dengan tautologi; dan kontradiksi bisa berlaku dalam diri suatu proposisi. Maksudnya, proposisi yang kontradiktif dalam pembahasan logika modern mencakup pula proposisi yang menentang kebenaran dirinya sendiri (self-contradictory proposition). Dalam mantiq, bahasan tentang kontradiksi menyangkut hubungan antarproposisi, dan biasanya fokus pada apa saja syarat-syarat yang mesti dipenuhi agar dua proposisi dapat dinyatakan bertentangan.
Tautologi dalam logika modern berlaku untuk suatu proposisi yang baik afirmasi maupun negasi terhadapnya selalu bernilai benar. Contoh: ‘semua akan indah pada waktunya’. Baik afirmasi (‘semua akan indah pada waktunya’) maupun negasinya (‘semua akan tak indah pada waktunya’) sama-sama bernilai benar. Kita bisa mengganti ‘indah’ dalam kalimat ini dengan ‘sedih’, ‘marah’, ‘gembira’, dan kondisi lain apa pun (polanya: ‘semua akan X pada waktunya’); dan kalimat itu akan selalu benar. Tautologi cenderung diucapkan orang sebagai kalimat retoris, alih-alih menyampaikan suatu pengetahuan baru.
Kontradiksi, seturut pengertian dalam logika modern, adalah kebalikan dari tautologi, yakni suatu proposisi yang baik afirmasi maupun negasi terhadapnya selalu bernilai salah. Contoh: ‘kebenaran tidak ada’. Afirmasi dari proposisi ini (‘kebenaran tidak ada’) akan menegasikan kebenaran dari proposisi ‘kebenaran tidak ada’ itu sendiri, dan karenanya proposisi ‘kebenaran tidak ada’ menjadi salah. Negasi terhadap proposisi ini (sehingga menjadi ‘kebenaran ada’) juga menentang proposisi ‘kebenaran tidak ada’ dan karenanya menjadi salah. Kontradiksi dalam logika modern dirumuskan dalam bentuk konjungsi p ∧ ¬p (baca: ‘p dan bukan p’). Seturut aturan logika, konjungsi bernilai benar hanya jika kedua konjungsi sama-sama benar. Namun, ini tidak terjadi jika rumusnya adalah p ∧ ¬p, sebab apa pun nilai kebenaran dari p, konjungsi p ∧ ¬p akan selalu bernilai salah.
Dalam mantiq, kontradiksi didefinisikan sebagai suatu pertentangan antara dua proposisi dalam hubungan sedemikian sehingga salah satu dari dua proposisi itu harus benar dan selainnya salah—alias tidak bisa benar semua atau salah semua sekaligus. Dengan pengertian ini, kontradiksi ala mantiq bisa pula kita bahasakan dalam disjungsi eksklusif ala logika modern (lihat lagi bahasan tentang ini dalam catatan mantiq pekan lalu). Rumus disjungsi eksklusif ialah p ∨ q (baca: ‘hanya p atau hanya q’) dan hanya bernilai benar jika salah satu dari disjung bernilai benar dan selainnya salah. Dengan demikian, kita bisa mengatakan bahwa kontradiksi (dalam mantiq) = disjungsi eksklusif (dalam logika modern) yang bernilai salah.
Pada hakikatnya, mantiq dan logika modern tidaklah berbeda esensi, walau istilah yang dipakai dan/atau pengertiannya bisa jadi berbeda. Perbedaan pengertian di atas pun bisa dijembatani. Bila ingin pakai bahasa logika modern, kontradiksi (dalam mantiq) antara p dan q ialah suatu kondisi yang jika syarat-syaratnya terpenuhi maka kita bisa mengatakan bahwa p bernilai sama dengan ¬q (negasi q) atau q bernilai sama dengan ¬p. Jadi, bahasan tentang kontradiksi dalam mantiq masuk dalam uraian syarat-syarat yang jika terpenuhi kita bisa mengatakan bahwa q = ¬p.
***
Mantiq menuturkan bahwa agar dua proposisi bisa kita nyatakan kontradiktif, syarat yang harus terpenuhi ialah kedua proposisi memiliki kesamaan dalam delapan aspek dan berbeda dalam dua aspek. Delapan aspek yang harus sama ialah:
- Subjek (maudhu’). Proposisi ‘manusia butuh makan’ tidak bertentangan dengan ‘kuda butuh makan’.
- Predikat (mahmul). Proposisi ‘manusia butuh makan’ tidak bertentangan dengan ‘manusia bernapas’. (Catatan: ini tidak berarti ‘X salah’ dan ‘X benar’ bukan dua proposisi yang kontradiktif. Kata yang dipakai berbeda (‘salah’ dan ‘benar’), tetapi ‘salah’ adalah sama dengan ‘tidak benar’. Jadi, bisa dikatakan, yang bertentangan ialah ‘X benar’ dan ‘X tidak benar’. Predikatnya sama, yaitu ‘benar’. Perbedaan terletak pada afirmasi dan negasi, yang juga merupakan syarat dari kontradiksi—baca lanjut di bawah.)
- Waktu (zaman). Proposisi ‘Zaid pintar dan bodoh’ tidak kontradiktif jika kondisi pintar bagi Zaid mengacu pada usia dewasanya, sedang kondisi bodoh mengacu pada saat ia masih kecil.
- Tempat (makan). Proposisi ‘teh itu dingin dan panas’ (merujuk ke ‘es teh panas’) tidak kontradiktif jika yang dimaksud dingin adalah bagian atas, sedang yang panas adalah bagian bawah.
- Kondisi/anteseden (syarth/muqaddam). Proposisi ‘jika bersungguh-sungguh, Zaid akan sukses’ tidaklah bertentangan dengan ‘jika malas, Zaid akan gagal’.
- Relasi (idhafah). Proposisi ‘kafe saya menerapkan strategi bisnis yang sedikit tapi banyak’ tidak kontradiktif jika ‘sedikit’ dalam kalimat ini mengacu pada keuntungan (selisih antara harga jual dan modal) sedangkan ‘banyak’ mengacu pada jumlah pengunjung.
- Seluruh-sebagiannya (kull/juz’). Proposisi ‘Zaid hitam tapi putih’ tidak kontradiktif jika ‘hitam’ mengacu pada keseluruhan warna kulit Zaid, sedangkan putih mengacu pada giginya.
- Potensi-aktualitasnya (al-quwwah wal-fi’l). Proposisi ‘beringin kecil tetapi besar’ tidak kontradiktif jika ‘kecil’ mengacu pada saat beringin masih berbentuk biji (yang berpotensi untuk tumbuh besar) dan ‘besar’ mengacu secara aktual pada saat ini ketika beringin sudah tumbuh besar.
Bila sudah sama dalam delapan aspek di atas, dua proposisi baru bisa dinyatakan bertentangan bila juga memenuhi syarat perbedaan dalam dua aspek, yakni kammiyyah (kuantitas; maksudnya dari segi universalitas/partikularitasnya) dan kaifiyyah (kualitas; maksudnya dari segi afirmasi/negasinya).
Dengan rumusan ini, maka kita bisa katakan bahwa proposisi A (ingat lagi jembatan keledai ArIstOtEles dalam catatan mantiq pekan lalu) yang berbunyi ‘semua S adalah P’ bertentangan dengan proposisi O (‘sebagian S tidak P’). Cek dengan contoh: ‘semua mahasiswa lulus’ dan ‘sebagian mahasiswa tidak lulus’. Kedua proposisi ini kontradiktif: tidak mungkin keduanya sama-sama benar dan sama-sama salah. Keduanya kontradiktif karena memenuhi kedelapan syarat yang harus sama dan dua syarat yang harus beda (yakni dari segi afirmasi/negasinya dan segi universalitas/partikularitasnya).
Kita juga bisa mengatakan, dengan rumusan di atas, bahwa proposisi E (‘tidak ada S yang P’) bertentangan dengan proposisi I (‘sebagian S adalah P’). Kedua proposisi ini berbeda dari segi afirmasi/negasinya dan juga universalitas/partikularitasnya. Cek dengan contoh: ‘tidak ada mahasiswa yang lulus’ (E) dan ‘sebagian mahasiswa lulus’ (I). Dua proposisi ini tidak mungkin sama-sama benar dan sama-sama salah. Salah satu harus benar. Jadi, dua proposisi ini kontradiktif.
Dengan demikian, kita bisa merangkum bahwa kontradiksi terjadi antara proposisi A dan O dan proposisi E dan I.
***
Bagaimana jika dari dua syarat yang mesti beda itu hanya beda salah satu aspek saja?
Misalnya, antara proposisi A (‘semua S adalah P)’ dan E (‘tidak ada S yang P’). Ini sama dari segi universalitas/partikularitasnya, tapi berbeda dari aspek afirmasi/negasinya. Contoh: ‘semua mahasiswa lulus’ (A) dan ‘tidak ada mahasiswa yang lulus’ (E). Kedua proposisi ini tidak mungkin sama-sama benar, tapi masih mungkin sama-sama salah (misalnya, yang lulus hanya sebagian). Kita tidak menyebut ini sebagai kontradiksi, tetapi kebalikan (contrariety/tadharub), yaknihubungan dua proposisi yang sedemikian sehingga keduanya tidak mungkin sama-sama benar, tapi masih mungkin sama-sama salah.
Misal lain adalah antara proposisi I (‘sebagian S adalah P’) dan O (‘sebagian S bukan P’). Ini sama dari segi universalitas/partikularitasnya, tapi berbeda dari segi afirmasi/negasinya. Contoh: ‘sebagian mahasiswa lulus’ (I) dan ‘sebagian mahasiswa tidak lulus’ (O). Kedua proposisi tidak mungkin sama-sama salah, tapi masih mungkin sama-sama benar. Logika klasik menyebut hubungan yang demikian sebagai subkontrariti (subcontrariety), yakni hubungan dua proposisi yang sedemikian sehingga keduanya tidak mungkin sama-sama salah, tapi masih mungkin sama-sama benar.
Bagaimana dengan hubungan proposisi yang tersisa, yaitu antara A dan I juga antara E dan O? Logika klasik menyebutnya subalterniti (subalternity) atau kadang disebut juga subimplikasi (subimplication). Contoh: ‘semua mahasiswa lulus’ mengandung implikasi ‘sebagian mahasiswa lulus’. Penting dicatat maksud implikasi di sini, yakni bahwa yang berlaku bagi keseluruhan pastilah juga berlaku bagi sebagiannya, walaupun tidak sebaliknya. ‘Semua mahasiswa lulus’ pasti mengimplikasikan ‘sebagian mahasiswa lulus’, tetapi ‘sebagian mahasiswa lulus’ tidak pasti mengimplikasikan ‘semua mahasiswa lulus’.
Walhasil, hubungan antarproposisi ditinjau dari dua segi pembagian, yakni afirmasi/negasi (ijab/salb) dan universalitas/partikularitas (kulliyyah/juz’iyyah), ada empat jenis:
- Kontradiksi: tidak mungkin sama-sama benar dan sama-sama salah (A – O dan E – I)
- Kontrariti: tidak mungkin sama-sama benar (A – E)
- Subkontrariti: tidak mungkin sama-sama salah (I – O)
- Subalterniti: yang benar bagi keseluruhan berlaku pula bagi sebagiannya, walau tidak sebaliknya (A – I dan E – O)
Dalam logika klasik, keempat hubungan ini biasa dirumuskan dalam skema oposisi seperti di bawah ini.
***
Semua hal ini akan berguna ketika kita menganalisis perselisihan pendapat. Sebelum masuk pada rincian argumen masing-masing, hal mendasar yang bisa kita tengarai dulu ialah apakah dua pandangan itu bertentangan (kontradiktif), berkebalikan (kontrari), atau berhubungan secara subkontrari. Jika masih mungkin kedua pandangan itu sama-sama benar, kita bisa mengatakan bahwa dua posisi itu bisa berdampingan (kompatibel) untuk dipegang bersamaan.
Mari ambil contoh perdebatan tentang agama dan sains. Sebagian orang menyebut di antara keduanya ada ‘konflik’ (dalam pengertian pertentangan atau kontradiksi). Seturut mantiq, hubungan yang bisa dinyatakan kontradiktif ialah hubungan antarproposisi. Pada tataran konsepsi (tashawwur), yang baru bisa kita nyatakan ialah apakah cakupan makna/petandanya beririsan atau tidak (lihat catatan mantiq #7 tentang dalalah). Jadi, bila ditanya ‘bagaimana hubungan sains dan agama’, analisis pertama ialah apakah ada cakupan makna yang beririsan di antara keduanya.
Guna menjadi contoh dalam paparan ini, kita asumsikan saja kebenaran pandangan yang menyatakan bahwa antara agama dan sains beririsan (posisi non-independensi): masing-masing, entah sedikit atau banyak, mengajukan klaim tentang fenomena alam. Pada titik pertemuan klaim inilah, yakni ketika masing-masing mengajukan suatu proposisi, kita baru bisa menyatakan apakah ada kontradiksi di antara keduanya.
Ambil contoh dari apa yang oleh sebagian orang dianggap bukti pertentangan agama dan sains. Sains mengatakan ‘manusia berasal dari evolusi’ dan agama (kita ambil contoh dari Islam) mengatakan ‘manusia berasal dari turab’(sering diterjemahkan dengan debu atau tanah). Apakah keduanya kontradiktif? Pertama, kedua proposisi ini berbeda predikat (ingat syarat kedua dari kontradiksi) dan status dua predikat itu masih menyimpan kemungkinan untuk sama-sama benar.
Bisa saja skenarionya ialah manusia berasal dari evolusi, yang bila ditarik jauh ke belakang evolusi ini bermula dari organisme pertama yang sudah dapat disebut ‘hidup’, dan organisme pertama ini berasal dari turab. Dengan kalimat lain, bila saat berwujud turab ialah waktu A, lalu saat berwujud organisme pertama ialah waktu J, dan saat sudah jadi manusia ialah waktu Z, kita bisa menyatakan bahwa agama menarasikan bahwa penciptaan manusia di waktu Z berawal dari wujud pada waktu A, sementara sains bilang manusia di waktu Z berasal dari wujud pada waktu J. Kedua klaim ini tidak tidak menegasikan satu sama lain. Jadi, tidak kontradiktif. Akan lain halnya bila sains berkata ‘manusia mustahil berasal dari turab’, atau agama mengklaim ‘manusia mustahil berasal dari evolusi’. Bila klaimnya demikian, barulah kita bisa menyatakan keduanya kontradiktif.
Mari ambil contoh lain lagi dari klaim kelompok yang menyatakan ada konflik antara agama dan sains. Di antara klaim ‘sains’ (lebih persisnya: klaim yang bagi kelompok ini merupakan klaim ‘saintifik’) ada yang berbunyi ‘alam semesta hanya bekerja seturut kausasi (penyebaban) natural’. Maksudnya: tidak ada sebab-akibat di luar proses alamiah. Dengan kalimat lain, tidak ada kausasi supranatural. Di sisi lain, agama (lebih-lebih agama-agama monoteis) menyatakan ada kausasi supranatural. Maksudnya: ada peran Tuhan, entah bagaimana caranya, dalam proses sebab-akibat di alam.
Jadi, klaim ‘sains’ itu bisa diparafrasekan menjadi ‘tidak ada kausasi supranatural’ dan klaim agama berbunyi ‘ada kausasi supranatural’. Dua klaim ini jelas kontradiktif: keduanya tidak mungkin sama-sama benar dan sama-sama salah sekaligus. Salah satu harus benar. Namun, benarkah klaim ‘tidak ada kausasi supranatural’ itu sendiri merupakan klaim ‘sains’?
Saya termasuk yang mengatakan tidak. Ini membutuhkan uraian argumen yang panjang dan memerlukan tulisan tersendiri. Ringkasnya ialah bahwa klaim ‘tidak ada kausasi supranatural’ merupakan klaim metafisis. Sains, dalam pengertian modern (yakni, sains-empiris), hanya berurusan dengan dunia alamiah, dan karena itu tidak (bisa) menegasikan ada/tiadanya suatu entitas di luar dunia alamiah. Tidak hanya itu, bahkan klaim tentang adanya sebab-akibat itu sendiri juga merupakan klaim metafisis—sebab-akibat merupakan konsepsi yang melampaui ‘yang-fisis’. Artinya, sains-empiris tidak bisa bekerja tanpa dilandasi asumsi metafisis tentang adanya sebab-akibat.
Sains, dalam pengertian yang ketat, maksimal hanya bisa berkata bahwa ‘ada kausasi natural’—terlepas apakah kausasi supranatural ada atau tidak. Dengan demikian, tidak ada kontradiksi dengan klaim agama bahwa ‘ada kausasi supranatural’. Keduanya berbeda subjek (ingat syarat pertama kontradiksi), tidak menegasikan satu sama lain, dan masih mungkin untuk dipegang bersama-sama. Jadi, menyangkut isu ini, agama dan sains tidak berkonflik. Klaim ‘tidak ada kausasi supranatural’ itu sendiri persisnya ialah klaim naturalisme, satu posisi filosofis yang menegasikan adanya penyebaban di luar mekanisme alam, yang juga berarti penyangkalan akan adanya Tuhan. Jadi, yang berkonflik bukanlah antara agama dan sains, melainkan antara agama dan naturalisme, dan pertentangan terjadi di tataran metafisis.
Untuk bisa menyatakan bahwa agama dan sains berkonflik, yang kita analisis ialah masing-masing klaimnya. Beban pembuktian (burden of proof) dalam hal ini ada pada pihak yang mendaku ada konflik. Ini seturut adagium klasik: “al-bayyinatu lil-mudda’i”, bukti terbebankan pada pihak yang mengajukan klaim. Jadi, pada dasarnya hubungan agama dan sains adalah baik-baik saja, hingga ada bukti dari pihak yang mendaku sebaliknya.
Demikianlah. Saya harap Anda bisa mulai menganalisis contoh perselisihan pendapat lainnya dengan menggunakan piranti dari mantiq. Tahap-tahapnya: pastikan definisi (hadd) dari masing-masingdi level konsepsi (tashawwur) benar dan disepakati dua belah pihak yang mempertentangkannya; lalu identifikasi cakupan petandanya (dalalah) apakah beririsan; dan baru kemudian tengarai apakah klaim yang diajukan masing-masing memenuhi syarat-syarat kontradiksi (tanaqudh).
- Catatan Ngaji Mantiq #10: Tiga Jenis Argumen - 4 February 2021
- Catatan Ngaji Mantiq #9: Syarat-Syarat Kontradiksi - 28 January 2021
- Catatan Ngaji Mantiq #8: Proposisi dan Ekuivalensi - 21 January 2021