Catatan Pinggir tentang Sutan Takdir Alisjahbana

 

Mendengar nama Sutan Takdir Alisjahbana, saya langsung menempatkannya sebagai seorang sastrawan. Siapa sangka, Sutan Takdir Alisjahbana juga merupakan pemikir Indonesia yang “segar” dan berhasil merespons Renaisansala Barat dalam konteks Indonesia.

Mengapa Sutan Takdir Alisjahbana jatuh cinta pada filsafat? Sedari kecil, Takdir memiliki rasa ingin tahu yang besar dan minat baca yang kuat, namun jatuh cintanya pada filsafat ditemukan dalam dogmatisme anak-anak pesantren yang ganjil. Mereka memandang kebudayaan Barat sebagai sesuatu yang egois, intelektualistis, dan materialistis—maka harus ditinggalkan—sementara Takdir menilai bahwa: “Kalau Belanda yang kecil bisa menaklukkan Indonesia, maka kembali ke kebudayaan sendiri tidak mungkin menjadi jalan yang betul bagi bangsa Indonesia”. Orang Indonesia harus mempelajari cara berpikir Barat!

Di Barat, alam pikir Renaisans tengah berkembang. Takdir kagum akan karakteristik pemikiran Renaisans yang membalik gaya berpikir teosentris ke antroposentris. Bagi Takdir, hal ini merupakan “pembalikan paradigma wawasan manusia” yang penting bagi cita-cita kemerdekaan Indonesia. Kecintaannya pada filsafat mendorong Takdir—bersama teman-temannya—mengorganisir diskusi-diskusi ilmiah dan berani untuk mengutarakan ide-ide, rencana, dinamika, dan inisiatif yang baru. Para pemikir Barat yang memengaruhi Takdir dalam berpikir tidak lantas memutlakkan gagasannya. Takdir hanya mengasimilasikan pemikiran para tokoh ke dalam kerangka pikirnya sendiri. Maka, tidak berlebihan kalau kita menyebut Takdir sebagai filsuf sejati, seorang pemikir yang pemikirannya mandiri.

Pusat pemikiran Takdir adalah filsafat nilai. Bagi Takdir, budi manusia adalah dasar kehidupan, karena di dalamnya terdapat kesatuan antara pikiran, kemauan, dan fantasi yang mengorganisir insting manusia. Kemampuan ini membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya. Dengan kemampuan ini, manusia mampu menilai sesuatu dan lebih reflektif (tidak harus langsung mengambil reaksi). Kemampuan ini dilengkapi dengan tanggung jawab eksistensial. Filsafat nilai yang ia bangun dibentuk dari enam gugus nilai—yang ia ikuti dari Eduard Spranger—yakni: teoretis (gugus nilai tentang benar-salah), ekonomis (gugus nilai tentang untung-rugi), religius (gugus nilai tentang Yang Kudus-profan), estetis (gugus nilai tentang seni dan keindahan), politis (gugus nilai tentang kekuasaan-ketertundukan), dan sosial (gugus nilai solidaritas). Menurut Takdir, nilai-nilai adalah kekuatan yang mempersatukan manusia, masyarakat, dan budaya, yang berguna bagi pembentukan kepribadian, kehidupan sosial masyarakat, dan kebudayaan. Pengintegrasian nilai-nilai tersebut harus menyentuh tiga pusat dalam diri manusia, yakni integrasi vital, integrasi hati, dan integrasi budi.

Bagi Takdir, terdapat dialektika antara otonomi individu dan norma-norma sosial. Manusia memang seharusnya otonom, namun ia berhadapan dengan realitas otonom. Ada nilai-nilai intrinsik dalam diri manusia yang mengarah kepada pilihan bebasnya, namun tidak boleh dilupakan bahwa ada pula tanggung jawab eksistensial manusia. Maka, tindakan manusia untuk merealisasikan otonominya akan selalu berhadapan dengan acuan realitas sosial. Dialektika ini mencapai sintesisnya kalau manusia mampu mengintegrasikan nilai-nilai hakiki dalam dirinya dengan nilai-nilai yang menentukan tatanan objektif masyarakatnya.

Takdir menerima modernitas dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Takdir takjub tatkala menyaksikan modernitas yang mampu “mengejar manusia” dengan “standar operasional” tertentu. Takdir terkesima pada dominasi rasional modernitas dalam perkembangan nilai-nilai ilmu pengetahuan di segala bidang. Namun, Takdir sadar bahwa modernitas punya masalah, yang ia sebut sebagai paradoks dan tragika modernitas. Ia sependapat dengan Max Horkheimer dan Theodor W. Adorno yang skeptis dengan modernitas. Kalau tidak hati-hati, modernitas akan “memakan dirinya sendiri”, sebab kebebasan yang dijunjung tinggi membuat manusia dipandang sebatas komoditi. Dengan enam nilai dasarnya, Takdir memprediksi bahwa modernitas yang melaju akan membuat manusia kehilangan kemanusiaannya. Maka, modernitas harus menemukan penyeimbangnya, yang hadir dalam sebuah worldview tentang agama universal yang tidak eksklusif, rigid, dan dogmatis, melainkan mampu mewadahi seluruh umat manusia.

Dalam konteks Indonesia, Takdir berpendapat bahwa Indonesia harus berani menjalani modernisasi dengan mengembangkan “proses belajar”, sebuah sikap yang tidak terlalu cepat berpuas diri. Namun, Takdir juga tidak mau modernisasi membuat Indonesia berakhir dalam budaya yang semata-mata dikuasai oleh ilmu pengetahuan dan kalkulasi ekonomi. Maka, modernitas di Indonesia harus disikapi dengan gagah berani, namun tetap mempertahankan identitasnya sebagai bangsa yang menempatkan estetika dalam sebuah kemasan yang khas dan unik. Hal ini dapat menjadi sumbangan yang amat indah pada kebudayaan universal. Bagi saya, pemikiran Sutan Takdir Alisjahbana merupakan grand design yang baik bagi perkembangan Indonesia. Takdir yang takjub namun skeptis terhadap modernitas melihat bahwa di ambang modernitas yang hendak menerkam dirinya sendiri, filsafat nilai menjadi jawaban yang membuat manusia modern hidup dengan vitalitas jiwa dan raga, tidak sekadar makhluk mekanistis. Pemikiran Takdir memang tidak populer. Namun, apabila kita mau menggali pemikiran-pemikirannya—terutama tentang penghargaan yang tinggi terhadap nilai dan pergeseran paham religiositas feodalistik ke pemahaman menyeluruh yang universal dan toleran—permasalahan yang saat ini dialami bangsa Indonesia mungkin akan mendapat jawaban dan muaranya!

William Christopher Hariandja
Latest posts by William Christopher Hariandja (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!