As we know, love needs re-inventing
—Arthur Rimbaud, A season in hell, Hallucinations 1.
Dari 30 puisi yang termuat dalam buku “Puisi-Puisi Pilihan Catullus”, sebanyak 22 puisi berbicara tentang cinta sebagai pengalaman ambivalen, disosiatif, eksistensial, dan performatif.
Mario Lawi dalam pengantarnya menegaskan ambivalensi ini, “Lesbia adalah tokoh yang dibenci dalam puisi yang satu, tetapi begitu dicintai dalam puisi yang lain; dipuja dalam puisi yang satu, tetapi diserapahi dalam puisi yang lain” (2019: x).
Dengan kata lain, “Jika engkau memutuskan untuk mencintai, bersiaplah untuk membenci”, demikian pesan paling jelas dari hampir semua puisi Catullus, penyair Latin klasik yang dikutuk mencintai dan membenci Lesbia, pseudonim dari Clodia, istri Quintus Caecilius, dengan kadar yang persis sama.
Bertolak dari argumen tersebut, ulasan ini akan menelaah konsep cinta dalam puisi-puisi Catullus dari perspektif Lacanian dan mengambil relevansinya bagi kita dewasa ini.
Cinta sebagai Politik Perbedaan
Dalam tradisi psikoanalisis yang dimulai oleh Sigmund Freud, cinta dipahami sebagai sebuah dorongan instingtual terhadap objek cinta. Salah satu efek dari insting tersebut adalah proses peradaban yang mendorong individu-individu, orang-orang, dan bangsa-bangsa untuk bergabung dalam satu kesatuan yang besar, katakanlah negara.
Sebaliknya, Lacan tidak membahas dimensi persatuan dan kekuatan kreatif dari cinta. Ia justru fokus pada daya merusak dan dimensi kerja sama dari cinta (Voruz and Wolf, 2007: viii). Berlawanan dengan fantasi Freudian bahwa cinta itu tentang menjadi satu dengan yang dicintai atau mencintai, Lacan berargumen bahwa menjadi satu itu ilusi. Ia mengatakan, “We are but one. Everyone know of course, that the two have never become but one, but nevertheless, ‘We are but one’. The idea of love begins with that” (Lacan, 1975: 47).
Dibahasakan secara berbeda, apa yang orang lihat sebagai yang satu tidak lain dan tidak bukan adalah khayalan tentang apa yang mereka ingin lihat, yang berasal dalam diri mereka sendiri. Sebab, hakikat dari cinta itu bukan kepenuhan dan harmoni tetapi perbedaan.
Penegasan mengenai perbedaan dan disharmoni itu tampak dalam puisi 58 di mana Catullus melukiskan Lesbia sebagai seorang pelacur. Sebuah konotasi moral yang membedakan antara perempuan baik-baik dan perempuan tidak baik.
Wahai, Caelius, Lesbiaku, Lesbia itu,
Itu Lesbia, yang Catullus cintai lebih
Dari dirinya dan semua miliknya,
Sekarang, di perempatan-perempatan dan lorong-lorong,
Menguliti keturunan berjiwa besar dari Remus
Tepat pada titik itulah, terjadi dekonstruksi total terhadap definisi pelacur yang diberikan oleh institusi moralis seperti agama, adat, dan negara. Di situ, pelacur bukan lagi orang yang melanggar standar moral seksualitas, melainkan kejahatan terhadap komitmen. Artinya, seseorang bisa saja melacurkan dirinya melalui pernikahan, politik, korupsi, dan kebudayaan jika ia merusak komitmen tertentu.
Menjadi menarik di sini bahwa pelacur tersebut bukan dianggap najis sebagaimana jamaknya kaca mata moral masyarakat kita memandang mereka. Catullus menganggap Lesbia sebagai pelacur tepat ketika bahasanya terbatas untuk melukiskan gelora cinta dalam dirinya.
Perspektif ini dapat diperluas ke bidang politik di mana relasi antara kawan dan musuh (friend/enemy) versi Carl Schmitt ditransformasi menjadi kawan dan lawan (friend/adversay). Jika musuh perlu dimusnahkan maka yang ditolak dari lawan adalah ideologinya, bukan eksistensinya sebagai manusia. Yang ditolak oleh Catullus adalah perbuatan Lesbia yang bermain serong atau selingkuh, bukan eksistensinya sebagai seorang perempuan. Karena alasan itulah, dalam puisi 72, bait II, Catullus menulis,
Sekarang aku mengenalmu; karena itu, meski aku kian terbakar,
Secara umum, bagiku, engkau makin biasa dan enteng.
Bagaimana mungkin? tanyamu. Karena luka hebat mendorong
Pencinta untuk makin banyak mencintai, makin sedikit menginginkan.
Cinta sebagai Pengalaman Ambivalen dan Disosiatif
Dalam puisi 85, Catullus melakukan difusi artistik konsep cinta dan benci sebagai pengalaman ambivalen dan disosiatif.
Kubenci dan kucintai. Mengapa kulakukan, mungkin kautanya.
Tak kupahami, tetapi aku merasakannya dan tersiksa.
Kata bahasa Latin, odi dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi ‘benci’ merupakan komponen aktif dari kemarahan. Ada unsur aktif serentak preskriptif yang mendorong orang mengambil tindakan. Namun odi cenderung digunakan dalam makna yang lebih pasif, seperti, katakanlah, ketika pembaca benci karena kepalamu terasa sakit. Demikian juga ketika Horace mengatakan: Persicos odi, puer, apparatus (saya benci perangkap orang Persia), bukan berarti dia sedang berbicara tentang bersiap perang melawan Persia. Itu lebih sebagai cita rasa estetis.
Sebagai bahasa yang cenderung bersifat infleksif dan golongan katanya acapkali fleksibel, makna kata bahasa Latin odi berarti benci yang datang sebelum cinta. Tetapi dalam konteks ini, satu kata kerja mendahului yang lain, satu pelukisan mendahului pelukisan yang lain. Jika odi dimaksudkan bersifat aktif seperti emosi yang agresif, kata itu cenderung didahului oleh kesukaran-kesukaran cinta, bukan didahului oleh cinta. Sementara itu, odi dan amo dalam Catullus lebih sebagai koeksistensi seperti yin dan yang, melingkupi dan memperkaya terus menerus. Seperti rasa sakit pada gigi yang hanya bisa dilawan dengan cara menggigit.
Dalam puisi 85 di atas, baik dari bentuk maupun makna, menegaskan kembali prinsip keseimbangan antara dua jenis energi termaksud. Segala hal di dunia, bergantung pada keseimbangan dua baris itu dan ketika keseimbangan tersebut runtuh (cinta penyair ditolak), Catullus dapat menghasilkan puisi yang luar biasa bagus dan paling keji yang pernah ditulis.
Inilah dimensi yang juga diulang-ulang oleh Jean-Michel Rabate dalam bukunya, Jacques Lacan: Psychoanalysis and the Subject of Literature: “Both Freud and Lacan posit a similar ‘Greek’ notion of love when they refer either to Empedocles, who saw the two conflicting principles of love and hate as underpinning the whole universe” (2001:140).
Dibahasakan secara berbeda, khususnya dalam terminologi politik, cinta adalah pengalaman disosiatif, disensus, kegagalan―bukan asosiatif dan keharmonisan, konsensus, keberhasilan. Atau mengutip pandangan Marxisme, justru dari konflik dan pertengkaranlah, tersembul dasar paling kokoh mengapa orang mau bangun rumah tangga. Sampai di situ, Catullus benar: Karena luka hebat mendorong/Pecinta untuk makin banyak mencintai, makin sedikit menginginkan (Puisi 72).
Kemustahilan “The Real” dan Cinta yang Performatif
Dalam psikoanalisa Lacanian, dikenal tiga tatanan utama yakni the Real, the Symbolic dan the Imaginary. The Real adalah dunia sebelum dikenai oleh bahasa, dengan demikian, dapat disebut ia ada tetapi sekaligus tidak ada (ia ada tapi oleh karena belum dikenai bahasa ia menjadi tidak ada), the Symbolic adalah realitas atau segala hal yang sudah dikenai oleh bahasa. Sementara the Imaginary adalah ekses yang diakibatkan ketakmungkinan the Symbolic dalam menamai the Real (Lacan, 1988:271).
Memang, Catullus berhasil membongkar tatanan simbolik yang dipatentankan oleh kebudayaan Romawi. Meskipun demikian, ia tidak menawarkan solusi alternatif seperti dalam Puisi 86 berikut:
Bagi banyak orang, Quintia cantik; bagiku ia putih, tinggi,
Dan langsing. Aku setuju bagian ini,
Tetapi, secara keseluruhan, tak setuju; ia tanpa pesona,
Di tubuh semampai itu tak ada sebutir kecil pun garam.
Lesbia cantik, bukan hanya karena dialah segala yang paling indah,
Melainkan juga serentak, bagi semua, telah ia curi semua pesona.
Dalam puisi tersebut, Catullus mendefinisikan kecantikan secara terbalik tepat ketika di mana-mana, saat ini, orang mendefinsikan kecantikan berdasarkan asosiasi yang ditawarkan oleh berbagai iklan produk kecantikan seperti berwajah tirus, berkulit putih, dan memiliki bibir mungil.
Kritikan Catullus terhadap ketergantungan berlebihan masyarakat pada the Symbolic juga tampak dalam pemujaan pada institusi pernikahan sebagai satu-satunya tempat di mana orang menemukan dan merayakan cinta sejati. “….Tidak pernah ada kepercayaan dalam ikatan apa pun/Sebesar yang ditemukan dari bagianku dalam cintamu” (Puisi 87). Kritikan serupa juga hendaknya merivisi cara kita mengukur kualitas cinta melalui ritual periodik seperti membeli bunga mawar, mengenang hari ulang tahun, dan seterusnya. Atau, atas nama cinta, kita menggunakan standar moral tertentu untuk melabeli cara bertindak kaum perempuan, “…Mari kita takar semua desas-desus hebat/Orang-orang tua dari satu keping As” (Puisi 5).
Pada akhirnya, dari Catullus dan Lacan kita belajar bahwa ketika seseorang mulai jatuh cinta, hal yang mereka persembahkan kepada kekasihnya adalah fakta bahwa sesuatu telah hilang dari hidupnya, sebuah lubang yang hanya bisa diisi oleh kekasihnya itu. Artinya, sebuah deklarasi cinta membuat kita terluka secara hebat sebab menyatakan kepada seseorang bahwa kamu mencintainya berarti mengakui bahwa dirimu tidak lengkap dan menderita.
Meskipun Catullus menyadari penderitaan itu dalam Puisi 72 dan 85 namun tidak ada tindakan emansipatoris yang ia tawarkan. Sementara Lacan justru sebaliknya menawarkan cinta yang performatif. Sebuah cinta yang melampaui the Symbolic.
Dalam Seminar XI, Lacan menegaskan bahwa cinta hendaknya melampaui logika makna (meaning). “Meaning can only take place within the (Symbolic) Law; the moment we trespass the domain of law, meaning, changes into enjoy-ment, jouis-sense” (1977: 263-276). Maksudnya, cinta itu performatif tepat ketika orang berani melampaui register tatanan simbolik seperti Yesus yang menjanjikan firdaus bagi penyamun, atau filsuf Yahudi Hannah Arendt yang membela komandan Nazi Adolf Eichman di Pengadilan Yerusalem, atau Paus Yohanes Paulus II yang memaafkan penembaknya, dan kisah Euripides tentang Medea yang membunuh anaknya sendiri.
Sayangnya, seperti yang dijelaskan Mario, penerjemahan puisi-puisi pilihan ini tentu saja tidak bisa menampilkan perjalanan kreatif Catullus secara utuh (2019: xi) sehingga cukup sulit menemukan konsep cinta yang komprehensif versi Catullus. Meskipun demikian, sekurang-kurangnya, penggambaran dalam puisi-puisi ini dapat membantu pembaca merefleksikan kembali bagaimana konsepsi gender berkelindan dengan kekuasaan politik dan memengaruhi cara kita merayakan cinta dari masa ke masa.
Daftar Pustaka
Batstone, W. W. 1999. Catullus: Ancient Roman Writers. Ed. Ward W. Briggs. Detroit: Gale Group.
Cunningham, L. and Reich, J. 2010. Culture and Values: A Survey of the Humanities, Vol. 1, with readings (7th ed.). Boston: Wadsworth/Cengage.
Lacan, Jacques. 1975. The Seminar of Jacques Lacan, Book XX: On Feminine Sexuality The Limits of Love and Knowledge Encore, ed. by Jacques Alain-Miller, trans. by Bruce Fink. New York and London: Norton and Company, 1975.
___________. 1988. The Seminar of Jacques Lacan, Book I: Freud’s Paper on Technique 1953-1954, trans. by Jacques Alain-Miller (Cambridge: Cambridge University Press.
___________. The Seminar of Jacques Lacan XI: The Four Fundamental Concept of Psychoanalysis, 1964, ed. Jacques Alain-Miller, trans. Alan Sheridan. New York: W.W. Norton, 1977:263-276.
Voruz, Veronique and Wolf, Bodgan. eds. 2007. The Later Lacan: An Introduction, New York: SUNY Press.
- Puisi-Puisi Hans Hayon - 4 October 2022
- Catullus, Lacan, dan Cinta yang Performatif - 28 March 2020
- Memikirkan Karl Marx dan Foucault dalam “In Time” - 18 January 2018