
“Fat, bakna la rajha.[1] Sebentar lagi lulus MTs. Sudah saatnya kamu menikah,” ujar Bapak yang duduk bersila di lantai, berhadapan dengan salah satu tiang teras rumah tempat menggantung jala, sambil membuka penutup cangkir berisi kopi yang baru saja kuletakkan di sebelahnya.
Tanpa menanggapi perkataan Bapak, aku beranjak menghampiri Emak yang duduk ngombhi’ kacang[2]. Beberapa detik berlalu bersama desir angin pantai petang ini yang beradu dengan gemeretak kulit kacang yang sedang Emak kupas.
“Anakna Ahmad se angodha’an dari bakna la alakea bulan dateng, Fat,”[3] kata Emak tanpa berpaling dari kedua tangannya yang memungut beberapa kulit kacang yang jatuh di pangkuannya.
“Mak, Kak Mahmud ingin aku meneruskan sekolah ke pesantren di kota,” sahutku pelan tanpa berani melihat wajah Bapak yang kini ajuman[4] yang dia gunakan untuk menangkap ikan.
Aku, Fatmawati, anak perempuan salah satu keluarga nelayan di pesisir timur Pulau Madura, tak pernah punya keberanian untuk membantah keinginan Bapak layaknya anak-anak perempuan lainnya di kampung ini. Emak–dan para ibu lainnya–terbiasa mengadukan kenakalan anak-anaknya ke Bapak, dan Bapak akan memarahiku dengan ekspresi yang sangat menakutkan. Di mataku, Bapak adalah sosok yang tak boleh dilawan.
Bapak mengambil rokok kretek yang sedari tadi diselipkan di atas daun telinganya, menyalakan korek api, mengisap rokoknya dua kali, lalu berucap, “Fat, buat apa lama-lama sekolah, nanti tugasmu hanya di dapur, mengurus anak, dan menunggu suamimu pulang melaut.” Bapak memotong salah satu ujung senar jalanya dengan pisau. “Aku dan emakmu dulu nggak lulus SD, tapi tetap bisa bekerja dan membesarkanmu dan Mahmud.” Kembali Bapak mengisap rokok kreteknya.
“Iya, Fat. Kita ini orang pesisir, nyare pangaselan dari tase’.[5] Untuk jadi nelayan dan menjual ikan itu nggak harus sekolah.” Emak menggoyang-goyangkan baskom yang berisi kacang tanpa kulit, kemudian membawanya ke dapur.
Di sini, bukan hal baru lagi jika perempuan berusia lima belas tahun dinikahkan dengan laki-laki pilihan orang tuanya. Aku, yang selama hidup tak pernah pergi jauh selain ke kota yang jaraknya hanya dua puluh lima kilometer dari rumah, bahkan menganggap pernikahan dini ini biasa saja.
***
Pagi ini, saat matahari baru menyelesaikan seperempat perjalanannya, aku duduk beralaskan pasir kuning kecokelatan di bawah pohon kelapa yang tumbuh paling dekat dengan bibir pantai, menunggu Kak Mahmud yang sejak dua hari lalu menjaring ikan di pulau seberang. Dia, sepupuku yang usianya tujuh tahun lebih tua dariku. Kak Mahmud diasuh oleh orang tuaku sejak dia berusia lima tahun, karena mereka tak kunjung mendapat keturunan.
Angin tak henti meniup ujung kerudungku. Mataku memicing memandang laut biru dan tiga pulau kecil yang berderet di hadapanku bergantian ketika samar-samar terdengar deru mesin. Di kejauhan tampak perahu dengan layar tergulung berlari memotong ombak menuju ke arahku. Itu perahu yang ditumpangi Kak Mahmud dan teman-teman nelayannya yang lain. Sepotong senyum kecil tersungging di bibirku.
Sekitar lima belas menit berlalu, seseorang melempar jangkar dari sebuah perahu bercat hijau dan putih yang baru saja tiba. Kulihat Kak Mahmud turun dari perahu, lalu berjalan di air laut keruh yang mencapai perutnya dengan jala di bahu kiri dan kantong besar dari bahan nilon di tangan kanannya.
“Gimana, Kak, dapat banyak?” tanyaku, setelah Kak Mahmud menapakkan kakinya di pasir yang basah tercium ombak, sembari meraih kantong yang berisi beberapa ekor ikan berukuran sedang dan udang-udang kecil sisa hasil melautnya. Biasanya, hasil tangkapan Kak Mahmud langsung dijual ke pengepul sebelum pulang, dan dia menyisakan beberapa ekor untuk dijadikan lauk kami sekeluarga.
“Lumayan buat tambahan tabunganku untuk biaya kamu masuk pesantren nanti,” kata Kak Mahmud dengan wajah semringah, lalu memindahkan jala yang dipanggulnya ke bahu kanan.
Sontak aku teringat ucapan Bapak tadi malam yang berniat menikahkanku. “Cakna Eppak, engko’ alake bei, tak usah asakola pole.”[6]
Seketika, Kak Mahmud menarik pandangannya dari kantong berwarna hijau tua berbau amis dan menancapkannya ke sepasang mataku yang dipagari bulu mata hitam. Air mukanya berubah. Namun, buru-buru diukirnya lagi senyum kecil di wajahnya yang tampak sangat lelah. “Dhina dhaggi’ engko’ se acaca’a ka Eppak. Mara mole.”[7]
Aku berjalan di belakang Kak Mahmud. Kaus dan celana pendek usang yang dikenakannya basah. Tetesan air menghinggapi kedua betisnya yang cokelat gelap karena hampir setiap hari terpapar panas matahari. Telapak kakinya melangkah tanpa alas di permukaan tanah yang cokelat kemerahan. Pasir-pasir halus melekat di sela-sela rambutnya yang basah oleh keringat yang bercampur air laut. Tangan kanannya mencengkeram gulungan jala. Kak Mahmud adalah pekerja keras, seperti Bapak. Namun, berbeda dengan Bapak, dia ingin aku melanjutkan sekolah di kota.
***
Sore ini, aku merapikan jala Kak Mahmud yang dijemur sejak tadi siang di halaman. Bau amis, aroma yang sangat akrab dengan indra penciumanku, menyeruak dari jala, dan sebagian melekat di kulit tangan. Di dekatku, beberapa ekor ayam peliharaan Emak hilir mudik sambil mematuk tanah dan sesekali berkokok pelan. Barisan pohon kelapa yang tumbuh gagah mengelilingi rumahku tak henti menari bersama angin pantai. Seolah mereka memang ditakdirkan untuk meliuk sepanjang hari, sepanjang malam.
Bapak dan Kak Mahmud duduk di teras rumah. Mereka membicarakan banyak hal; tentang ombak di selatan Pulau Poteran kemarin, harga ikan yang tak ada perubahan sejak beberapa bulan lalu, dan lobster hasil tangkapan Kak Mahmud yang terjual ratusan ribu lebih murah dari harga aslinya karena mati sebelum sampai di tangan pengepul.
Perbincangan itu terhenti saat Bapak menyapa salah seorang tetangga yang melintas di depan pagar rumah kami yang terbuat dari potongan bambu dan hanya setinggi dada orang dewasa.
Beberapa menit berselang, terdengar suara korek api dinyalakan, kemudian disusul dengan suara pelan Kak Mahmud, “Pak, bagaimana kalau setelah lulus nanti Fat didaftarkan ke madrasah aliyah di kota?”
“Buat apa, toh nanti dia nggak akan jauh-jauh dari dapur dan menjemur jala kayak gitu,” ujar Bapak datar.
“Fat gi’ ngodha, Pak! Tinggal mak asakola e ponduk gellu.”[8]
“Sekolah dan mondok itu butuh biaya besar. Lebih baik dia kujodohkan dan menikah saja,” sergah Bapak.
“Fat harus melanjutkan sekolah. Aku akan bekerja dan membiayai semuanya. Bila ampon lulus, kaula se abinia Fat.[9] Aku mau Fat jadi istriku, Pak!”
———
[1] Fat, kamu sudah besar.
[2] Mengupas kulit kacang.
[3] Anaknya Ahmad yang lebih muda darimu sudah mau menikah bulan depan, Fat.
[4] Merajut bagian jala yang sobek dengan senar atau tali yang bahannya sama dengan jala tersebut.
[5] Mencari nafkah dari laut.
[6] Kata Bapak, aku mending nikah saja, nggak usah sekolah lagi.
[7] Biar nanti aku yang bicara ke Bapak. Ayo pulang.
[8] Fat masih muda. Biarkan dia sekolah di pondok dulu.
[9] Kalau sudah lulus, aku yang akan menikahi Fat.
- 12 Oktober 2016; Beberapa Jam Setelah Mantan Kekasihku Berusia 31 Tahun - 12 October 2016
- Mala dan Seseorang dari Selangor - 5 October 2016
- Cinta yang Lain - 1 May 2016
Prily Carla Marita
Penulisan kata yang menggunakan bahasa madura, tidak sesuai dengan ejaan bahasa madura yang baik dan benar. Mungkin di tulisan-tulisan berikutnya bisa sesuai 🙂
fajar
Bukannya bahasa madura di setiap daerah yang mayoritas suku madura itu berbeda ya, terus patokan yang benar yang mana? 🙂
Prily Carla Marita
Mungkin memang demikian. Namun, dalam pembelajaran bahasa madura sudah ada materi mengenai penulisan dan pembacaan bahasa madura yang tepat dan benar sesuai dengan surat balai bahasa Surabaya, tanggal 10 Maret 2004 nomer 57/F.8.9/F.1/2004 bahkan ada pembaruan pada tahun 2011.