Tentang buku:
Judul : Seperti Semut Hitam yang Berjalan di Atas Batu Hitam di Dalam Gelap Malam
Penulis : Anton Kurnia
Penerbit : Diva Press, Yogyakarta
Tebal : 128 halaman
Edisi : Pertama, Mei 2019
ISBN : 978-602-391-725-9
Mungkin tersebab kesibukan sebagai anggota Komite Buku Nasional (KBN), penerjemah banyak judul karya sastra dunia, dan menjalankan bisnis penerbitan buku miliknya, Anton Kurnia tak banyak tampil dalam kancah sastra, terutama menerbitkan cerpen di media massa. Terbukti, baru ada dua kumpulan cerpen tunggal Anton Kurnia yang hadir di ranah pembaca. Seperti Semut Hitam yang Berjalan di Atas Batu Hitam di Dalam Gelap Malam adalah buku kumpulan cerpen kedua Anton setelah Insomnia (2004). Dalam judul keduanya ini, hanya termaktub sembilan judul cerita dalam buku ini, yang dianggit dalam kurun 2005-2018. Namun dari sembilan cerita dalam buku ini, kita akan tahu kerajinan Anton menjahit cerita harus diapresiasi tinggi.
Seperti Semut ditulis dengan kesadaran penuh pada kepaduan sebuah narasi, efek melankolia, dan intertekstual yang membuat pembaca dapat membayangkan suasana saat masuk dalam dunia rekaan ini. Anton sebagai penulis tidak membuat cerpen-cerpennya sebagai media untuk melontarkan kritik atau menyuarakan ketidakadilan sebagaimana biasa sering dihadapi pada jebakan sastra. Anton mengisahkan aneka persoalan manusia berkaitan dengan asmara. Tokoh-tokoh dalam sembilan cerita ini sedang mengalami episode haru dalam urusan cinta.
Konon baru disebut sastra bila tema yang diungkap adalah perkara humanisme, sosial-politik, atau potret gelap sepotong sejarah. Perkara asmara dan warna melankolia kerap dianggap populer dan bukan kelas sastra. Banyak contohnya. Kemunculan Nh. Dini, Mariane Katoppo, Mira W, Marga T, suara-suara populer dan asmara hampir-hampir tak masuk dalam radar sastra dan perhatian Komite Buku Nasional. Buku ini hampir semuanya menyangkut asmara, patah hati, jatuh cinta. Mungkin dari segi pokok bahasan, cerita Anton terkesan sepele, murahan, dan tidak berkehendak memerkosa cerpen sebagai kuda tunggangan kritik. Biarlah cerita hadir sebagai cerita, mungkin demikian prinsip Anton saat menulis cerita. Namun, lagi-lagi kekuatan utama cerpen Anton adalah bangunan narasi dan ketukan yang indah disimak. Layaknya mendengarkan sebuah balada, cerpen-cerpen Anton bernyanyi dan merdu di telinga pembaca.
Kemerduan ini disokong oleh beragam lagu dan syair yang sengaja dimasukkan Anton sebagai penguat cerita. Magadir, lagu berbahasa Arab gubahan Pangeran Mohammad Abdullah al-Faisal dan Siraj Omar Tamblen itu tampil sebagai judul cerita dan tulang belakang cerita dengan judul yang sama. Lagu ini bukan ditempelkan Anton dalam narasinya, juga sebagai pengiring kerinduan tokoh dalam cerita, dua insan yang saling jatuh cinta namun tak bisa bersama.
Oh, Cinta, jiwaku musnah dihangus api yang kausulut di dalam diri. (hal.17)
Ratapan tokoh membuat alunan Magadir dan kemudian sepotong syair Abu Nawas tampil sebagai pengiring sebuah adegan melodrama. Bak kisah Laila-Majnun, Romeo-Juliet, kisah platonik tokoh perempuan aku dan kekasih yang dicintai harus pupus sebab si perempuan yang sudah bersuami. Rindulah dia, rindu yang menyiksaku hingga aku tak tahan lagi, biarlah aku mati. (hal.22)
Kehadiran musik dalam cerita yang seolah menjadi musik latar dalam sepotong adegan juga tampil dalam cerpen Seorang Perempuan dengan Tahilalat di Atas Bibirnya. Kali ini musik yang diputar adalah Nessun Dorma. Musik latar lain, Habanera, dipilih untuk mengiring kisah romantis namun tragis berjudul Kucing Telon.
Pengarang tak hanya menautkan cerita pada sepotong lagu atau gubahan musik sebagai latar. Judul cerpen yang kemudian dipilih untuk judul buku terkait dengan sebuah hadits.
Ikatan utama dalam cerpen ini adalah perkara cinta dan melodrama di sekitarnya. Bila demikian, maka judul yang paling dahsyat untuk dijadikan judul buku adalah judul cerita kedua, Cinta Semanis Racun. Kontradiksi antara manis dan racun semakin menghunjamkan lara-lara para tokoh dalam buku ini. Sayang, judul itu telah dipergunakan pada buku kumpulan cerpen terjamahan Anton Kurnia yang lain, Cinta Semanis Racun: 99 Cerita dari 9 Penjuru Dunia (2016). Jadilah judul harus dialihkan ke yang lain.
Bila demikian ikatan utamanya, maka satu cerpen dirasa kurang tepat pada posisinya, yakni Rumah Air. Meski ada sekilas percik romansa, namun porsi yang sedikit ini timpang bila disejajarkan dengan delapan cerpen lainnya. Apalagi bila dibandingkan dengan Ragusa misalkan.
Sastra di Indonesia kerap dianggap selalu “hanya” sebagai produk serius. Baru boleh disebut sastra bila mengupas tema politik, sosial, kearifan lokal, atau tragedi berdarah tiga generasi. Namun, bukankah tulisan yang disebut sastra adalah produk tulisan dan cerita? Maka bila fokus pada hal itu, apa saja bisa dituangkan sebagai tulisan sastra. Termasuk perkara romansa penuh melodrama. Dan buku ini telah membuktikannya.
Dalam sebuah penelitian, ketika mendengarkan lagu sedih otak kita akan diikat oleh kekuatan lirik. Sebaliknya, bila lagu gembira dan ceria dendangan musik lebih membius. Juga dengan cerita yang berkelindan dengan lagu dalam buku ini. Karena hampir sebagian besar adalah cerita yang sedih, maka kekuatan narasi yang membangun suasana jauh diutamakan. Latar musik yang mengiringi membuat kisah sedih, kepiluan, dan cinta platonis semakin menghunjam dan merasuk ke sanubari.
Merampungkan buku ini seperti menonton sebuah adegan sekaligus mendengarkan musik latar yang memperkuat kisah. Cerita dalam buku memang sendu, pilu, bak menelan racun. Tetapi kemasan dan narasinya manis dan membuat mabuk kepayang. Satu yang sangat mengganggu, yakni Anton terlalu sedikit menghidangkan cerita.
- Kejadian dan Kebajikan Manusia - 7 March 2020
- Kim Ji-yeong Adalah Kita - 27 November 2019
- Cinta Perkara Lokal, Kematian Interlokal - 26 October 2019