Jika Anda tidak percaya bahwa suatu perubahan besar di masyarakat bisa terjadi hanya karena sebuah ciuman, maka bacalah kisah seorang pemuda berikut ini.
Namanya Salem, pemuda kusut yang setiap hari menggelandang di jalanan Desa Cikuya. Kausnya yang compang-camping, celana yang lusuh dan sobek, sampai kakinya yang tak mengenakan alas apa pun, membuatnya layak dikira sebagai orang gila, bahkan jika orang gila melihatnya, orang gila itu pasti menganggap dirinya waras dan Salemlah orang gila sejati yang telah sampai di tingkatan makrifat.
Namun jelas Salem bukan orang gila, setidaknya itu yang diketahui oleh penduduk Desa Cikuya. Ia hanya agak sulit diajak bicara, entah saraf mana yang terlepas dalam kepalanya sejak lahir, ia hanya bisa memahami perkataan yang diucapkan beberapa kali. Ia tidak tuli, tidak pula bisu, tapi memang begitulah, segalanya serba diproses sangat lambat, barangkali tuhan memberinya jatah isi otak yang sedikit sekali.
Salem baru dianggap sebagai orang gila jika sudah berada di luar wilayah desanya. Tepatnya di jalan raya Cisoka-Adiyasa. Setiap hari ia berjalan kaki sejauh lima kilometer menuju pasar. Salem—karena tidak gila—selalu membawa lembaran uang lusuh di sakunya, tapi jika ia berdiri untuk mencegat angkot, tak satu pun sopir angkot yang mau berhenti. Bahkan meskipun Salem melambai-lambaikan uang kertas di tangannya. Saat itulah, ia tahu bahwa di luar desanya, ia resmi dianggap orang gila. Dan parahnya, Salem sangat menjiwai perannya itu. Ia suka bersiul-siul, tertawa tolol kepada pembatas jalan, memanggil secara acak para pengendara motor, hingga menggumam tak keruan. Terkadang pula kencing di tiang listrik—meski ini bukan tabiat khusus orang gila. Segala tingkah laku itu membuatnya kuat berjalan sampai ke pasar. Telapak kakinya juga telah kebal terhadap panas matahari dan bebatuan.
Biasanya, Salem tiba di pasar menjelang siang. Bukan waktu yang pas karena umumnya pasar telah mulai sepi. Tapi itu bukan masalah bagi Salem, karena ia bukan hendak menjual atau membeli sesuatu. Keberadaannya di pasar telah dianggap biasa oleh pedagang. Jika Salem berhenti agak lama di suatu lapak, maka tahulah si pemilik lapak bahwa Salem hanya bisa beranjak setelah diberi uang. Salem memang tidak menadahkan tangan, tapi keberadaannya yang compang-camping tentu menjengkelkan karena bisa membuat para pembeli enggan singgah di situ. Tapi ada juga yang suka memakai tenaga Salem. Mandor beras terkadang memanggilnya untuk membantu kuli lain menurunkan karung-karung beras dari truk, Salem akan meringis ketika berjalan terbungkuk-bungkuk karena punggungnya tertindih karung beras. Dan untuk yang seperti ini, ia justru tidak dibayar sepeser pun, karena Salem selalu buru-buru pergi ketika badannya mulai kelelahan.
Salem kemudian lebih suka menghabiskan waktunya di tengah pasar, tepatnya di depan toilet umum yang menghadap ke persimpangan jalan. Itu tempat favoritnya. Dan di situ pula ia bisa sedikit dihargai sebagai manusia. Para tukang parkir dan tukang ojek sering mengajaknya bercanda. Terkadang Salem diajak main kartu dengan taruhan-taruhan kecil, dan uangnya akan habis tanpa ia sadari. Tukang parkir sangat menyukai Salem karena bisa menghibur hati mereka di tengah kejenuhan menjaga sepeda motor. Ketika mendengar suara pengamen yang memutar musik dangdut, Salem suka menari-nari hingga ke tengah jalan, membuat beberapa pengendara motor kaget tapi kemudian mencoba memaklumi.
Keberadaan Salem sejatinya tak diharapkan tapi toh tak merugikan. Setidaknya, ia tak pernah melakukan tindakan yang berbahaya seperti memukul, memecahkan kaca, atau meneror pedagang, sebagaimana preman pasar yang bengis semacam Fogi. Maka seperti sebuah tuntutan penceritaan, kita tinggalkan Salem sejenak dengan kegilaannya, dan beranjak dulu kepada sosok Fogi.
Fogi adalah preman berbadan kekar, rambutnya dipotong tipis seperti orang yang gagal masuk pendidikan tentara. Ia telah berkuasa selama lebih dari sepuluh tahun di Pasar Cisoka. Untuk lebih menekankan kekuasaanya, ia bahkan tak bisa disingkirkan oleh pergantian kapolsek dan kepala desa. Fogi memang akrab dengan penangkapan dan penjara, tapi itu seperti kamar kontrakan baginya. Petugas terkadang mengurung Fogi sebagai bentuk formalitas menjalankan hukum. Namun esok paginya Fogi sudah kembali ke pasar, menagih biaya lapak dan iuran keamanan bersama dua anak buahnya, Sapto dan Mimin. Sapto bertugas menggertak, Mimin bertugas di bagian pembukuan. Mimin mencatat mana saja pedagang yang belum bayar lapak, tapi tidak pernah mencatat mana yang sudah bayar. Sehingga sering kali belum genap setahun, sebuah lapak sudah dimintainya lagi. Mereka memang menagih tanpa kuitansi, pernah suatu kali seorang pedagang gorden meminta bukti kuitansi agar tak ditagih ulang, esoknya seisi lapaknya berserakan, kain-kain gordennya telah tercabik dan digunting tak keruan. Si pedagang gorden hanya bisa menangis, tapi itu tak membangkitkan solidaritas apa pun dari pedagang lainnya, kecuali dari pembeli yang tak tahu apa-apa. Teror Fogi seakan dianggap bagian lain dari takdir, belum lagi ketika menjelang Hari Raya, ada biaya tunjangan yang harus diberikan kepada Fogi, yang besarnya tergantung jenis lapak.
Siang itu, ketika Salem baru saja menghabiskan uangnya karena kalah bermain kartu dengan tukang parkir, muncullah Fogi dan dua anak buahnya yang baru saja membuat seorang pemilik lapak daging menangis karena jualannya diacak-acak, daging-dagingnya dilempar ke tempat pembuangan sampah. Melihat kedatangan Fogi, para tukang parkir menyingkir dan memberikan tempat duduk untuknya. Mereka sudah bisa mengenali perbedaan gelagat, kapan Fogi sedang bisa diajak bercanda dan kapan Fogi sedang sangat sensitif dengan wajah bengisnya.
Hari itu yang terpancar adalah gelagat yang kedua. Maka tukang parkir dan tukang ojek pun berpindah untuk mencari aman, kecuali Salem, yang tetap duduk sambil mengamati seorang pedagang balon.
“Heh, Tikus busuk, minggir,” kata Fogi yang segera duduk di sampingnya.
Salem yang sedang takjub pada balon-balon, tak mendengar panggilan itu.
“Budeg, ya.”
Kemudian Salem pun menoleh. Ada wajah Fogi di dekatnya, kepala Fogi yang bulat dan hanya ada sedikit rambut itu barangkali membawa Salem kepada dunia imajiner tentang bayang-bayang keindahan balon yang mengudara dengan begitu indah menawan…. Maka, terbawa suasana imajiner itu, tiba-tiba Salem pun mendekatkan mulutnya kepada balon itu….
Dan… cup, ia mencium pipi Fogi.
Perlu pembaca ketahui, sepanjang kariernya di dunia preman, Fogi terbiasa mendapat pukulan, hantaman, tendangan, hingga sayatan pisau dan letusan peluru, tapi preman senior itu tak pernah menduga akan ada serangan semacam ini. Ia tak punya kesempatan menangkis ciuman Salem yang selama ini dianggap sebagai orang gila. Ciuman itu mendarat seperti paku yang ditancapkan lalu langsung dicabut kembali. Mukanya langsung merah, percampuran antara erupsi kemarahan dan rasa malu. Padahal peristiwa itu tak sampai dua detik, tapi itu sudah cukup menjadi alasan meletusnya gunung berapi di kepala Fogi. Ia tahu beberapa orang jelas melihatnya, dan mencoba menahan tawa sebisa mungkin. Hal itu adalah aib yang bahkan tidak bisa ditukar dengan sembilan nyawa sekalipun, sebab ia yakin kejadian ini akan menjadi cerita yang melegenda.
Maka terjadilah yang terjadi. Salem, pemuda kurang waras bertubuh dekil, akhirnya dihajar habis-habisan oleh centeng pasar yang telah dipenjara belasan kali dan memenangkan lebih dari sepuluh pertarungan jalanan. Orang-orang pasar hanya terdiam ketika melihat Salem menjerit, mengaduh, menangis, meraung-raung, termasuk beberapa kali mendengar suara “krek” seperti urat yang patah.
Lima menit kemudian dua orang polisi datang, tidak melerai apa-apa karena segalanya sudah selesai. Bahkan meski segalanya belum selesai, polisi tetap hanya akan menunggu sampai segalanya benar-benar selesai. Mereka terlalu malas untuk membuang-buang tenaga melerai penganiayaan itu, mereka juga tak berbuat apa-apa ketika esok harinya (dan esok-esok selanjutnya) Salem tak terlihat lagi di mana pun, di tempat-tempat mana pun. Dan preman pasar itu, yang telah hancur harga dirinya karena ciuman mendadak, ternyata tetap tak bisa bangkit dari keterpurukan itu. Fogi juga menghilang entah ke mana.
Sejak saat itulah pasar justru menjadi lebih aman. Tak ada tagihan-tagihan liar, para pedagang merasa merdeka, bahkan mereka tak takut pada preman-preman ingusan yang mencoba menjadi pengganti Fogi. Pasar Cisoka menjadi lebih nyaman, aman, tertib, seperti slogan-slogan sebuah kota yang bahagia. Semua itu berkat Salem. Orang yang dianggap gila dan tak mampu berbuat apa-apa, ternyata bisa melakukan perubahan besar yang tak bisa dilakukan oleh kapolsek ataupun kepala desa. Hal itu menjadi satu-satunya jasa Salem, sekaligus jasanya yang terakhir, di dunia.***
- Pada Peperangan Terakhir - 30 August 2019
- Ciuman Revolusi - 8 March 2019
- “Tidak, Saya Sudah Dijemput.” - 12 February 2016
Anonymous
sederhana tapi dahsyat!
BILLAL
sederhana tapi dahsyat!
Khofivah
Pengorbanan yang sangat berdampak untuk banyak orang. Kerene
Anonymous
Cerita yang luar biasa Gila . . . . Dengan Sederhana
Moh khozah
Mantap…. Inspiratif
saii
good story ^-^
Anonymous
Keren banget
Apok yakusa
Sangat menginspirasi, mantap..
Terimakasih pada penulis,,
Rambu Prihatin
Just like butterfly effect. Keren.
Blodot
Hehe
Mas Penan
Terpilih … terbaik