Dakir

Dakir; cerita Pendek Ken Hanggara - BASABASI.CO
pinimg.com

Pabrik sarung itu berdiri sejak zaman Belanda. Di belakang pabrik berdiri rumah-rumah penduduk dengan petak kebun yang ditanami berbagai kebutuhan pokok seperti singkong, ketela, cabai, kemangi, dan berbagai sayur-mayur. Kebanyakan warga di sini mencari nafkah dengan cara itu: bercocok tanam. Tidak ada sawah, karena tanah milik warga sejak tahun 1990-an dibeli sekelompok pendatang dari Jakarta. Kini, di kawasan tersebut, berjarak sekira dua ratus meter dari pabrik ke arah selatan, terdapat kompleks perumahan elite tempat Chris dan orang tuanya tinggal.

Chris membaca sejarah desa ini dari seorang berkepala plontos yang kemudian jadi sahabat karibnya. Dakir, begitulah orang menyebut nama pemuda itu. Kependekan dari Mudakir. Ia tidak punya bapak dan ibu karena mereka minggat dan tidak pernah balik. Dulu kakek dan neneknya PKI.

“Kakekku mati disembelih di depan bapakku,” begitu kata Dakir pada Chris, ketika dua sahabat itu pertama kali saling berjabat tangan.

Chris tidak mempersoalkan apakah Dakir anak komunis, atau apa si botak itu anak alien, atau bahkan anak setan paling busuk di neraka jahanam. Dakir terlalu baik untuk dibenci. Lagi pula, ia sahabat yang setia dan mau berkorban demi menjaga persahabatan. Tak peduli pengorbanan paling absurd sekalipun.

Menurut keterangan Dakir, pabrik sarung itu berdiri bukan tanpa masalah. Ada tak kurang dari sepuluh warga tewas di tangan kumpeni, karena menolak berdirinya pabrik tersebut, entah apa alasannya. Ia dengar semua dari sang ibu, yang mendengar ceritanya dari sang nenek. Pabrik itu tutup satu dekade sebelum para pendatang dari Jakarta mulai mendirikan rumah dan sekarang tidak ada yang pernah masuk ke bangunan tuanya, kecuali komplotan pencoleng dan sesekali orang gila. Bangunan bekas pabrik itu dihuni banyak sekali hantu.

“Tidak ada yang terlalu penting soal pabrik itu. Dan jika kamu ingin tahu hal-hal yang jauh lebih penting, mari kita pergi ke belakang pabrik,” kata Dakir dengan ekspresi khasnya yang setengah lugu namun dingin.

Dakir tinggal di perumahan kumuh di belakang pabrik sarung. Sehari-hari ia bukan cuma menanam singkong dan sayur-mayur atau apa pun di kebun untuk dijual di pasar dan uangnya dibelikan kebutuhan pokok lain (sebenarnya hasil bercocok tanam lebih sering dimakan sendiri karena menjual semua itu di pasar kadang menghabiskan banyak waktu), tetapi juga berburu burung dan menjerat biawak untuk dijual ke warung Mas Wibowo, penjual sate nyambik yang terkenal enak.

Ketika Chris pertama pindah kemari, mereka masih bayi, jadi belum kenal. Mereka berkenalan berapa hari setelah orang tua Dakir minggat, tepatnya ketika keduanya umur delapan tahun (sama-sama delapan menurut Dakir, tapi Chris tidak yakin ia sepantaran, karena bahkan jika duduk berjejeran dan dipotret, wajah keduanya terlihat seperti kakak dan adik kelas yang selisih empat tahun).

Waktu itu Dakir tidak tahu bapak ibunya minggat. Suatu malam ia tahu bapaknya ingin membeli rumah bagus seperti yang ada di kompleks elite. Ibunya juga ingin, tapi mereka tidak punya uang. Mereka lalu berbisik-bisik sepanjang sisa malam. Dakir tidak tahan. Ia mengantuk karena masih kecil dan ia juga tidak biasa begadang. Ketika hari sudah subuh, ia bangun dan di rumah tidak ada siapa-siapa.

Dakir menangis dan mencari ke sana kemari kedua orang tuanya. Ia menyeberangi sisi belakang pabrik, batas antara rumah-rumah kumuh dan kompleks hunian orang kaya itu. Di depan pabrik, sebelum mencapai perumahan elite, ada danau tempat orang biasa mancing. Di sisi danau, ada tembok setinggi dua meter yang tidak pernah disentuh siapa pun, karena tidak ada yang menarik. Orang-orang di kawasan kumuh lugu minta ampun. Sekalipun tidak dipagari, mereka tidak bakal masuk wilayah yang bukan miliknya.

Dakir kecil sampai di tepi danau itu dan terus berjalan mengitari sisi danau hingga mencapai tembok. Tidak jauh, karena danau itu tidak terlalu besar. Mungkin tepatnya itu bukan disebut danau, melainkan genangan air seluas beberapa puluh meter saja.

Di sana ia berhenti dan berpikir, “Rumah orang-orang kaya menelan bapak ibuku.”

Anak itu memanjat tembok tersebut dengan menumpuk beberapa kursi bekas yang dibuang orang sembarangan di tepi danau. Di sanalah Chris bertemu Dakir. Waktu itu, anak orang kaya ini sedang mengejar layangan putus.

Chris mulanya takut waktu tahu kakek Dakir mati disembelih orang. Tentu saja ia tidak tahu kenapa kakek teman barunya ini mati dengan cara seburuk itu. Ia juga tidak tahu kenapa si kepala plontos ini tahu-tahu bicara soal kakeknya yang disembelih pada zaman dulu kala gara-gara disebut PKI, padahal mereka baru kenalan. Ketika akhirnya ia tahu kenapa Dakir linglung dan gusar, mereka sama-sama mencari bapak ibu Dakir di kawasan elite dan pulang tanpa hasil. Orang tua Dakir resmi minggat hari itu. Sampai kini Chris tidak lupa bagaimana ekspresi Dakir ketika pulang. Ia seperti seseorang yang membawa dendam di setiap langkahnya.

Chris tidak bertanya pada orang tuanya soal keanehan pada diri sahabat barunya, yang mendadak berhenti menangis dan menatap tajam ke depan seakan dendam pada kedua orang tuanya tidak pernah sembuh, karena takut dilarang bermain di luar, padahal Dakir pintar memanjat pohon. Dengan Dakir, Chris main layang-layang dengan tenang. Ia belajar bagaimana senarnya tidak gampang putus. Dakir, meski kelihatan agak bodoh dan dekil, memiliki ragam ilmu antik yang tidak Chris miliki. Sejak itu mereka berdua menjalin persahabatan.

Karena tidak punya orang tua, Dakir tidak sekolah. Sekadar bisa baca tulis, baginya cukup. Dan satu lagi: berhitung. Dakir bisa melakukan penghitungan dasar untuk makan, itu patut disyukuri.

Katanya, ketika ia dewasa, “Dunia ini tidak ada gunanya. Nanti juga semua mati dan jadi hantu. Mungkin disembelih seperti kakekku. Mungkin ditabrak truk seperti Lik Karman. Kamu tidak tahu pamanku yang itu. Rajin banget ibadah, tapi matinya gepeng seperti tempe.”

Latar belakang keduanya yang beda tidak membuat Chris putus asa, meski kadang tidak nyambung juga obrolannya dengan Dakir. Misalnya, ia bicara sepak bola, tetapi temannya bicara soal jenglot. Chris bicara soal permainan baru yang disebut Tamiya, temannya itu malah bicara soal jelangkung.

Suatu kali, bersama beberapa bocah lain dari kompleks elite dan kumuh, si kepala plontos membawa benda semacam boneka dari kayu. “Ini jelangkung. Kamu bisa minta buku komik,” kata Dakir.

Waktu itu Chris ingin komik, tetapi oleh orang tua dilarang, karena nilainya anjlok gara-gara sering main ke luar bersama Dakir. Ia tidak tahu cara kerja boneka jelangkung. Seonggok boneka rombeng bisa memberinya buku komik? Boneka itu saja tidak laku dijual. Boneka itu tidak bisa bicara dan terbuat dari kayu busuk, tapi Dakir melenggang santai diikuti para bocah. Chris tidak ingin pulang dan memutuskan ikut.

Mereka jauh-jauh hari telah membuat lubang rahasia di tembok pembatas tadi, jadi tidak perlu memanjat rintangan setinggi dua meter jika ingin bertemu. Begitu tiba di tepi danau, Dakir bilang, barang siapa tidak berani melihat hantu, lebih baik tidak usah ikut. Ia bakal membawa mereka ke pabrik sarung.

Chris ingat betul kejadian ini. Dari tujuh bocah, cuma dia dan seorang lagi yang tak pulang. Anak-anak lain kabur karena takut. Bocah itu bernama Jeni, anak seorang polisi yang tinggal di kompleks elite, tetangga jarak empat rumah dengan Chris. Jeni pemain sepak bola tersohor di SD Kusuma, yang juga merupakan sekolah Chris ketika itu. Kalau berkelahi selalu menang. Badannya besar seperti siswa SMA. Mereka berbaris menuju pabrik sarung menjelang maghrib. Dalam hati Chris berharap, sebelum mencapai sana, ia sudah lebih dulu dipanggil Mama. Tapi, Mama tak pernah tahu ia suka bermain di sini, di seberang tembok perumahan. Mama pasti tak menyangka ia pergi ke pabrik itu.

Yang Chris ingat tidak terlalu mengerikan. Hanya saja, ia masih bocah. Delapan tahun. Wajar kalau kantung kemih tidak bekerja sesuai aturan sehingga setiba di rumah, ia berbau pesing dan ditertawakan beberapa bocah yang tidak tahu kejadian di pabrik sarung. Boneka kayu itu bergerak-gerak begitu ganas dan kuat, dalam cengkeraman Jeni. Anak polisi itu ketakutan, Chris ketakutan, tetapi tidak bagi Dakir.

Si plontos tenang, menyodorkan kertas serta spidol untuk diikatkan pada boneka. Boneka itu menulis.

Dakir tersenyum.

Chris dan Jeni terkencing-kencing.

Beberapa bulan ke depan, mereka tidak mendapatkan uang untuk beli komik, tetapi Chris tahu, petang itu, di teras pabrik tersebut, bukan hanya ada mereka bertiga di sana.

“Sesuatu yang lain, yang mungkin menelan bapak ibuku, ada di sana,” kata Dakir, seakan-akan ia lebih tua dua belas tahun dari usia aslinya. []

Gempol, 11 Oktober 2016

 

Ken Hanggara
Latest posts by Ken Hanggara (see all)

Comments

  1. Riepe Reply

    saya tidak mengerti… tapi mas ken selalu khas dengan cara penuturannya…

  2. Retno Nurul Reply

    Bingung endingnya jdi mksdunya itu arwah yg bunuh?

  3. Fayruz Fay Reply

    kasian dakil,

  4. prety boy Reply

    Suka sekali ceritanya…:) .. bang ken suka bikin cerita yg endingnya ta gantung yaa?? Awesome deehh… 🙂

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!