Danau Sentarum, Denyut Alam Kapuas Hulu

Udara malam itu dingin, angin berembus menyapu wajah dan rambut, langit tenang dan berbintang. Namun, perairan luas yang membentang itu tak bisa diterka hanya dengan gejala alam yang sekilas. Ia menyimpan banyak rahasia yang tak habis dikenyam hanya dengan satu desiran perasaan.

Selepas Maghrib, Jum’at (9/3), rombongan kami sampai di Lanjak, Kecamatan Batang Lupar, setelah menempuh perjalanan darat sekitar dua jam dari Putussibau, Ibu Kota Kabupaten Kapuas Hulu. Tujuan kami adalah Desa Semalah, Kecamatan Selimbau, Kabupaten Kapuas Hulu yang berada di tepi Sungai Leboyan. Untuk mencapai desa tersebut, kami harus menempuh perjalanan air selama dua jam lagi menggunakan speed boat melewati danau utama di kawasan Taman Nasional Danau Sentarum (TNDS).

Jumadi (35) tampak tenang mengemudikan speed boat. Di pertemuan dua arus sungai ia menyapa beberapa pekerja yang membongkar pupuk untuk perkebunan kelapa sawit. “Saat berada di danau, jangan berkata sembarangan,” katanya mengingatkan.

Ketika sampai di perairan utama itulah speed boat yang kami tumpangi berhenti. Mesinnya mati sekejap. Tanpa deru mesin speed boat, suasana begitu tenang, atau barangkali mencekam; tergantung bagaimana masing-masing di antara kami menghayati desiran alam waktu itu.

Keheningan itu hanya sekilas saja. Speed boat yang kami tumpangi kembali melesat begitu mesin kapal dapat dihidupkan. Satu jam kemudian rombongan kami telah tiba di desa tujuan, mengakhiri kesepian yang mendera di sepanjang perjalanan. Sambutan yang hangat dari masyarakat begitu kontras dengan suasana di tengah hamparan air yang seolah tanpa tepi.

Danau Floodplain

Taman Nasional Danau Sentarum (TNDS) berada di wilayah Kabupaten Kapuas Hulu, Provinsi Kalimantan Barat. Secara administratif, kawasan ini meliputi 7 (tujuh) kecamatan, yaitu Kecamatan Batang Lupar, Kecamatan Badau, Kecamatan Embau, Kecamatan Bunut Hilir, Kecamatan Suhaid, Kecamatan Selimbau, dan Kecamatan Semitau. TNDS adalah salah satu ekosistem hamparan banjir (floodplain) paling luas di Indonesia dengan luasan 132.000 ha.

Danau Sentarum merupakan percabangan dari banyak sungai. Ketika musim kemarau, danau hanya berupa daratan, sebaliknya jika musim penghujan tiba akan menjadi danau. Hal ini diceritakan oleh Hamzah, warga Semelah yang biasa dipanggil Pak Emo, bahwa ketika danau kering, air Sungai Leboyan yang luas itu hanya seluas sampan kecil saja yang biasa dipakai untuk mencari ikan.

Bulan Maret ini curah hujan masih tinggi. Air sungai melimpah. Di seberang Sungai Leboyan membentang hutan yang oleh Pak Emo disebut sebagai Hutan Pusaka. Menurut cerita, pada zaman dahulu Sungai Laboyan penuh dengan buaya. Tidak ada yang berani mandi di sungai seperti saat ini. “Sekarang buaya jarang muncul ke permukaan, mungkin karena takut dengan suara mesin boat. Daerah yang masih banyak dihuni buaya adalah di Meliau 7, kawasan yang merupakan wilayah adat masyarakat Dayak Iban,” katanya.

Danau Sentarum yang ditetapkan sebagai Taman Nasional pada 1999 ini memiliki karakteristik yang berbeda dari danau-danau pada umumnya. Dalam artikel “Sentarum, Danau Luas Kami (1)” (National Geographic TRAVELLER Vol. II No. 03, Maret-April 2010, hal 38-39) disebutkan bahwa  sekitar 10 bulan dalam setahun, Danau Sentarum digenangi dua sungai utama—Sungai Tawang yang terhubung ke hulu Kapuas, dan Sungai Labiyan-Leboyan—menjadi hamparan lahan basah seluas lebih dari 120.000 ha sedalam 6–14 meter. Dikelilingi 4 pegunungan—Lanjak, Muller, Madi, dan Kelingkang—kawasan cekung datar ini menjadi menara air bagi Kalimantan Barat.

Sentarum bukan danau dengan cekungan besar di muka bumi yang terisi air (tawar, garam, mineral vulkanik) seperti batasan danau pada umumnya. Oleh karenanya, UNESCO menetapkannya sebagai ramsar site, lebak lebung, alias hutan rawa tergenang. Kawasan ini pada musim kemarau menunjukkan perbedaan yang mencolok. Kawasan danau di musim kemarau menjadi hamparan luas tanah kering, menampakkan aliran-aliran sungai terdalam dengan aliran sempit, dan muncul “danau sejati”, genangan air kurang dari 1 ha yang disebut kerinan.

Mitos Masyarakat

Melalui Pak Emo, generasi yang mewakili golongan tua, banyak cerita yang disampaikan—informasi-informasi yang barangkali akan terkubur seiring dengan mengikisnya budaya tutur di kalangan masyarakat. Ia bercerita bahwa Hutan Pusaka berstatus sebagai hutan larangan. Orang-orang tua dulu melarang untuk menebang kayu di kawasan tersebut.

Sungai Leboyan, diterangkan pula olehnya, asal mulanya bernama Sungai Labiyan—dari kata labi-labi (sejenis kura-kura). Karena pengucapan yang berulang-ulang dari generasi ke generasi, kemudian terjadi salah pengucapan.

Namun, bukan berarti cerita tentang Sentarum sepenuhnya lenyap dari generasi muda. Tomi, misalnya, menceritakan mengenai suara burung yang berkicau sepanjang malam. Menurutnya, burung dengan suara sendu itu terus berkicau karena merindukan bulan. Memang, suara burung yang sahut-menyahut di malam hari seperti suara lolongan yang tak putus-putus, laiknya memanggil seorang tercinta yang pergi karena ditarik menuju bulan, tetapi ia tak kuasa untuk berlari menyongsongnya.

Mitos lain yang hidup mengenai Danau Sentarum adalah tidak boleh berkata sembarangan ketika melintas di atasnya. Anwar (28) bercerita bahwa suatu ketika ada orang yang tersesat ketika melintas di atas danau karena berkata sembarangan. “Perahu yang ditumpanginya muter-muter di danau selama 4 jam. Padahal, pengemudinya sudah hafal betul jalan melalui danau,” ungkapnya.

Cerita-cerita yang masih hidup di masyarakat merupakan hal positif untuk menjaga kelestarian Danau Sentarum. Dengan berbagai karakter budaya yang berbeda (setidaknya ada Suku Melayu dan Suku Dayak Iban-Tamambaloh), Sentarum memiliki filter budaya untuk sekadar mengurangi laju kerusakan. Selain kearifan lokal yang sebisa mungkin dipertahankan, masyarakat Sentarum juga menggelar festival budaya yang digelar setiap tahun—dikenal dengan Festival Danau Sentarum-Betung Kerihun—yang dipusatkan di Lanjak, Kecamatan Batang Lupar (Taman Nasional Betung Kerihun merupakan taman nasional lain yang berada di Kapuas Hulu).

Titik Sentral

TNDS menjadi titik sentral tidak hanya bagi Kapuas Hulu, tetapi juga bagi kelestarian alam di seluruh Kalimantan Barat. Peran terpentingnya adalah fungsi hidrologi yang menjadi kantong air (menyerap 25% air Kapuas saat musim hujan dan saat musim kemarau menyumbang 50% air bagi Sungai Kapuas).

TNDS, menurut data dari Dinas Kehutanan Kapuas Hulu dan GIZ Jerman, merupakan habitat flora bagi 675 spesies yang tergolong dalam 97 familia. Dari jumlah tersebut, 33 jenis merupakan jenis endemik dan 10 jenis merupakan jenis baru. Sedangkan untuk fauna, TNDS memiliki 265 jenis ikan air tawar, mulai dari yang terkecil sekitar 1 cm yaitu ikan linut (Sundalax cf. Microps) sampai ikan tapah (Wallago leeri) yang bisa mencapai ukuran 2 meter. Jenis ikan konsumsi seperti ikan toman, lais, belida, jelawat, pati, dan sebagainya. Sedangkan ikan hias misalnya ikan ulanguli (Botia macracantho) dan ikan siluk merah super atau yang biasa disebut ikan arwana (Scleropages formosus).

TNDS juga memiliki 310 jenis burung (termasuk jenis burung bangau hutan rawa/Ciconia stormi yang tergolong langka), 31 jenis reptil (buaya katak atau buaya rabin/Crocodylus raninus yang di Asia dinyatakan punah 150 tahun lalu masih ditemukan di kawasan ini), sedangkan mamalia langka sekitar 23 jenis, di antaranya orang utan (Pongo pygmaeus) dan macan dahan (Neofelis nebulosa).

Begitu melimpahnya jenis ikan, masyarakat TNDS menggantungkan hidup sebagai nelayan. Selain itu, TNDS dikenal sebagai surga bagi para pemancing. Selain eksotisme alam yang luar biasa, salah satu alasan TNDS menjadi andalan pariwisata bagi Kapuas Hulu adalah terkenalnya TNDS sebagai tempat pemancingan (air tawar) alam terbaik di Indonesia. Pada 10–12 Mei 2017, stasiun televisi NHK Jepang bahkan mengadakan syuting program acara “Monster Fish Around the World” di Dusun Meliau, Desa Mensiau, Kecamatan Batang Lupar yang beranggotakan 7 orang warga Jepang dan 1 orang warga Malaysia. Monster Fish yang dimaksud kemungkinan besar adalah ikan tapah yang bisa mencapai ukuran 2 meter. Selain penghasil ikan air tawar, TNDS juga merupakan penghasil madu alami terbaik di Kalimantan Barat.

Meskipun peran TNDS yang vital bagi Kapuas Hulu dan Provinsi Kalimantan Barat, tampaknya pelestarian TNDS belum menjadi prioritas kebijakan bagi Kapuas Hulu, alih-alih lebih terfokus pada promosi wisatanya.

Tanpa kebijakan yang mengatur perilaku penangkapan ikan dan wisata memancing, TNDS terancam mengalami over fishing. Namun, itu bukanlah ancaman terbesar. Beberapa perusahaan, menurut keterangan beberapa tokoh masyarakat, pernah mengadakan pembalakan liar besar-besaran di TNDS. Meskipun saat ini telah berhenti, masih saja ditemui kapal-kapal pengangkut kayu yang beroperasi mengambil kayu-kayu bekas tebangan. Menurut Tomi, efek yang dirasakan masyarakat adalah mereka kesulitan mendapatkan kayu untuk membuat rumah. Selain itu, banyak satwa yang terancam, salah satunya macan dahan yang ditemukan tewas dan bertambah sulitnya menemukan orang utan di alam liar. “Orang utan sekarang ini sudah menjadi seperti mitos. Anak-anak muda di kampung ini jarang yang sudah pernah melihat,” ujar Tomi.

Ancaman lainnya berasal dari perkebunan kelapa sawit. Menurut Tomi, pupuk dari sawit mencemari air sungai dan danau sehingga tangkapan ikan menjadi sedikit. Simon Mayok (62), warga dari Desa Nanga Kantuk, Kecamatan Empanang menyatakan bahwa pencemaran air akibat sawit mempengaruhi pula kelakuan binatang. Ia bercerita bahwa buaya menjadi agresif setelah masuknya perkebunan kelapa sawit secara besar-besaran di Kapuas Hulu. “Dulu Buaya jarang yang menyerang manusia. Sekarang ini ikan-ikan semakin sedikit karena pencemaran air. Akibatnya, buaya yang kelaparan menyerang manusia,” ujar Simon. Namun, terang Tomi, perkebunan sawit di kawasan TNDS sudah tidak ada lagi karena terjadi penolakan oleh masyarakat.

TNDS merupakan surga bagi banyak kehidupan. Ia menyediakan eksotisme alam yang menakjubkan, membekali manusia dengan hasil alam yang melimpah untuk kelanjutan kehidupan, serta menyediakan rumah bagi ribuan flora dan fauna yang berdiam di dalamnya. Keasrian alamnya selalu terbuka untuk dicecap pesona keindahannya. Sungguh, sangat disayangkan jika kelestariannya mesti tergadaikan untuk sekadar geliat perekonomian ataupun iklim pariwisata. Karena, kerusakan terhadap TNDS akan berakibat pada terancamnya denyut alam di bumi Uncak Kapuas.

Kapuas Hulu, 15 Maret 2018

Arif Rahman
Latest posts by Arif Rahman (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!