Dedek Roro Fitria, Mbok Ayok Umrah Saja

roro fitria

Jelang mangkat umrah gini, saya bukannya mikirin flight nyaris 10 jam yang membosankan, proses imigrasi Jeddah yang simple asal bisa huwa huma hum, smoking area yang selalu sesak dijejali ragam ras manusia, lalu ngendon di bus selama 6 jam menuju Madinah. Saya justru kepikiran sangat sama Dedek Roro Fitria. Suer, berat sekali saya meninggalkan tanah air dalam keadaan Dedek Roro down begitu. Harap maklum, kakak yang baik selalu penuh sentuhan jiwa mencemaskan kebaikan dedek-dedek gemesnya, kan?

Itu RA memang telek, kok. Huh! Begitu saya ngumpat dalam hati. Oh bukan, pisuhan saya ndak ada urusannya sama profesinya sebagai marketing lendir-lendir sesaat. Itu biar dia sendiri yang ngurus. Saya ini menjadi muak sama RA lantaran telah membuat Dedek Roro mengalami “destruksi semesta” (kata Sigmund Freud, seperti dikutip Peter Beilharz), alias pilu bertalu lara.

Percayalah, Dedek Roro, tiada yang lebih tabah dari hujan di dada saya melihat keadaanmu kini. Jika Dedek terluka, saya telah sangat berdarah. Jika Dedek berurai air mata, saya telah bersimbah nestapa. Jika Dedek down, saya telah control a del.

Saya, beserta kakak-kakak civitas medsos, sangat merindukan wajah semringah Dedek Roro kembali seperti sedia kala:  mosting apalah-apalah begitu, yang kemilau-kemilaulah begitu, yang nggak-nggak mungkin bangetlah begitu. Adakah jepretan sunrise yang lebih menakjubkan dibanding posting wajah dedek gemes di depan Ferrari merah dengan tangan digelendoti Hermes dan buku-buku tabungan bermiliaran?

Ndak ada! Itulah cermin paling tulus betapa saya sangat merindukan Dedek Roro kembali menjadi seperti yang dikenal selama ini. Dedek Roro yang begitu mistik-makrifat menjawab wawancara dengan gaya suwung:

“Ini ada berlian Swarovski karya Elvira Syarief, lumayan sih tapi paling mahal perhiasannya, karena impor. Ini kalungnya Rp. 1 miliar. Gelangya satu set Rp. 400 juta, untuk ceown-nya Rp. 300 juta. Kuku semuanya full set Rp. 5 juta, sepatu Rp. 90 juta. Kalau baju ada tiga yang dipakai, ada yang Rp. 50 juta, ada juga yang Rp. 75 juta. Jadi kostum dan aksesorinya kira-kira Rp. 6 miliar.”

Dan, saya tahu, punahnya keceriaan Dedek Roro ini hanya akibat ulah bodoh RA. Ya wajar to kita semua jadi gedek sama dia. Terutama ya-iyalah saya sebagai kakak fil-ukhtiyah dedek-dedek gemes itu.

Saya nyebut RA itu bodoh, lagi-lagi, bukan karena profesinya, Bung! Bukan! Sebagai marketing papan atas, ia menjadi begitu bodoh lantaran kok ya ndak memilih diam aja gitu. Ini malah ngumbar-ngumbar wadhi a.k.a list-bookingan-artis.

Entah apa maksudnya dia jadi nyinyir begitu. Apakah itu sebagai iktikad keinsafannya agar kelak diringankan hukumannya oleh para hakim atau sekadar cari sensasi di depan kakak-kakak polisi agar disetarakan dengan Snewden lalu mendapatkan suaka syariat dari otoritas religius yang ngaramin langgam perkutut karena kadung jatuh hati pada unta.

Entahlah. Yang pasti saya akan selalu menyebut RA ini bodoh! Andai dulu dia nyantri, atau bergaul sama santri-santri macam Kak Muchlis dan Kak Rusdi, pastilah dia akan tahu maqalah Arab ini: as-sukunu salamun (diam itu menyelamatkan).

Nah, kan?

Kurang bukti apa lagi sih di negeri ini tentang validitas maqalah sakti ini? Apa coba yang nggak bisa tenggelam dari ingatan khalayak luas, seolah tak pernah ada kejadian-kejadian mengharu-biru itu, dengan teknik diam ini?

Jurnalis Udin, ilang. Widji Thukul, tenggelam. Munir, entah pula. Korban-korban Trisakti, lenyap. Gendutnya rekening Bang BG, wassalam. Pekik ibu-ibu Rembang, weladhalah. Kurang bukti apa lagi sih, RA?

Saya haqqul yaqin, andai RA tahu maqalah diam ini, lalu menerapkannya dengan lentik gemulai, niscaya Dedek Roro takkan tiba-tiba jadi terpanggil gundah-gulana gitu. Dedek Roro takkan terpanggil capek-capek untuk bikin press conference ke sana-sini dan nandangi kantor polisi untuk minta klarifikasi langsung sama RA tentang inisial RF yang membuat nuraninya terpanggil untuk menyimpulkan sendiri menunjuk pada dirinya sendiri.

Bayangkan lho kepedihan hati itu!

Hanya saking makrifatnya Dedek Roro ini (kita tahulah namanya level makrifat itu memiliki sensitivitas psiko-spiritual yang tak berukur lagi), inisial RF aja begitu hunjam ke relung hatinya, mengusik megah hidupnya. Betapa pekanya, kan?

Sayangnya, saya tak mungkin lagi sempat menemui Dedek Roro. Ya karena injury time umrah tadi. Jika sempat ketemu, akan saya persembahkan belaian yang paling meneduhkan hatinya, dengan suara ter-Irwan di balik telinganya, “Dedek Gemes, ilmu makrifatmu mbokya jangan diterapin pada inisial RF itu. Levelmu jauh di atas RA, sebab kamu ini luar biasa mahal. RF itu kan bisa menunjuk siapa saja, dari Rurotul Fayun sampai Ravifah Fe. Lagian, kalaupun RF itu adalah Roro Fitria, ya kenapa to, Dek? Lebih baik ayok umrah bareng saja. Kita bermakrifat di Jabal Rahmah, tempat suanya Adam dan Hawa yang terpisah 400 tahun setelah dijatuhkan dari surga, lalu pulang ke hotel bersama. Soal buku nikah sebagai syarat nginep di hotel Makkah,  ah gampanglah, ntar saya tanya Dedek gemes BS ya.”

Tapi apa daya? Ini hanya sisa andaian. Saya tak ada waktu benar untuk menjumpainya. Ya sudah, saya doakan saja ya, Dek RF, semoga kamu segera baik-baik lagi, laris-laris lagi, sebab kami selalu merindukan postingan-postingan makrifatud dunya-mu.

Sumber gambar: detik.com

Edi AH Iyubenu

Comments

  1. Syla Reply

    Barang kali klo umroh hartanya ilang di gondol rampok wakkkkk

    Tuh gk berani pergi jauh nyebrang laut artinya pesugihannya takut ngilang 🙂

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!