Mitos menjadi bagian dari penciptaan teks sastra modern. Tiga novelis Indonesia modern, Leila S. Chudori dengan novel Pulang (2013), Laksmi Pamuntjak dengan novel Amba (2012), dan Intan Paramaditha dengan novel Gentayangan (2017) memanfaatkan pula mitos. Leila S. Chudori memanfaatkan kisah Ekalaya dalam novelnya untuk memperkuat karakter tokoh yang tersingkir dari tanah air karena gejolak politik 1965. Laksmi Pamuntjak meminjam percintaan Amba dan Bisma dari Mahabharata untuk mencipta struktur narasi baru dalam konteks sosial budaya (politik) Indoneisa 1965. Intan Paramaditha melakukan defamiliarisasi terhadap berbagai mitos, seperti Cinderela, untuk mencipta kisah dengan tafsir baru dan berbagai degresi struktur narasi.
Untuk memaknai mitos dalam perkembangan sastra Indonesia modern, saya meminjam pandangan Levi-Strauss. Dalam penciptaan sastra modern, mitos mengalami perombakan penafsiran. Dalam pandangan Levi-Strauss, mitos bukan merupakan kisah-kisah yang suci atau wingit. Apa yang dipandang suci oleh suatu kelompok, ternyata dipandang biasa-biasa saja oleh kelompok yang lain. Oleh karena itu, mitos tidak lain adalah dongeng. Dongeng merupakan sebuah kisah atau cerita yang lahir dari hasil imajinasi manusia, dari khayalan manusia, walaupun unsur-unsur khayalan tersebut berasal dari apa yang ada dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan mitos inilah imajinasi ketiga novelis itu memperoleh kebebasannya yang mutlak, karena mengekspresikan realitas kehidupan manusia yang menyesakkan melalui mitos yang sudah dikenali masyarakatnya. Sebagaimana pandangan Freud, mitos pada dasarnya adalah ekspresi atau perwujudan dari unconscious, keinginan-keinginan yang tak disadari, yang sedikit banyak tidak konsisten, tidak sesuai, tidak klop, dengan kenyataan sehari-hari. Keinginan-keinginan yang tak disadari itulah yang memberi warna novel Leila S. Chudori, Laksmi Pamuntjak, dan terutama Intan Paramaditha dengan intensitas masing-masing.
/2/
Izinkan saya menyitir gagasan Goldmann tentang pengertian novel untuk menilai keunikan teks yang dicipta Leila S. Chudori, Laksmi Pamuntjak, dan Intan Paramaditha. Goldmann mendefinisikan novel sebagai cerita tentang suatu pencarian yang terdegradasi akan nilai-nilai yang otentik yang dilakukan oleh seorang hero yang problematik dalam sebuah dunia yang juga terdegradasi. Yang dimaksud dengan nilai-nilai yang otentik itu adalah nilai-nilai yang mengorganisasikan dunia novel secara keseluruhan, meskipun hanya secara implisit. Nilai-nilai itu hanya ada dalam kesadaran novelis, tidak dalam karakter-karakter sadar atau realitas yang konkret. Sehubungan dengan definisi Lukacs bahwa novel masih berpikir dalam batas-batas totalitas dalam dunia yang sudah tidak lagi mengandung hal itu, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan nilai-nilai yang otentik itu adalah totalitas kehidupan.
Dalam pembacaan saya, diperoleh kesan bahwa ketiga novel itu lebih dari sekadar renungan. Ketiga novel itu, meminjam pandangan Junus, lebih terasa sebagai suatu renungan, bukan lagi reaksi spontan. Ini selanjutnya menyebabkan ketiga novel tersebut tampak sebagai karya yang padat, padu dan seluruh unsurnya saling berintegrasi. Dengan menggunakan istilah Goldmann, ketiga novel itu memenuhi dua syarat yang kuat yaitu adanya unity (kesatuan, kepadatan) serta complexity (keragaman). Pengadaan jarak terhadap fakta konkret memungkinkan novel yang berhasil. Ketiga novel itu lebih merupakan hasil renungan totalitas kehidupan, meskipun masih tetap merupakan reaksi terhadap keadaan nyata yang wujud. Ia tidak tenggelam sebagai reaksi spontan.
Kalau saya mengikuti gagasan Goldman, akan sampai pada kesadaran bahwa Leila S. Chudori, Laksmi Pamuntjak, dan Intan Paramadhita mencipta novel sebagai transposisi ke dataran sastra dari kehidupan sehari-hari dalam masyarakat yang diciptakan oleh produksi pasar. Ada kesejajaran yang kuat antara bentuk literer novel dengan hubungan keseharian antarmanusia dengan komoditi pada umumnya atau, secara lebih luas, antara manusia dengan sesamanya dalam masyarakat pasar.
Dunia atau kosmos ketiga novelis—pola atau struktur atau organisme yang meliputi plot, tokoh, pandangan hidup, dan hegemoni kekuasaan—adalah unsur yang saya teliti, yang dapat saya bandingkan dengan kehidupan, atau jika saya menilai secara etika atau sosial. Kepatuhan terhadap kenyataan atau realitas tidak dapat saya ukur dari sejumlah ketepatan faktual tertentu atau dinilai dengan ukuran moral. Yang lebih tepat adalah melihat keseluruhan dunia fiksi, dibandingkan dengan dunia yang kita alami atau bayangkan. Biasanya dunia kita tidak sepadu dunia yang ditampilkan oleh para novelis. Kita memberi penilaian yang tinggi kepada ketiga novelis yang membangun dunia yang cakupannya cukup luas, atau, meskipun jangkauannya sempit, pembahasannya cukup mendalam dan mendasar. Kita juga suka jika skala atau hierarki unsur-unsur dalam dunia novelis tampak matang.
Dalam novel Pulang, Leila S. Chudori mengekspresikan kegetiran batin, kegersangan jiwa, tokoh gentayangan yang tak bisa pulang ke tanah air karena dominasi kekuasaan Orba. Dalam novel Amba, Laksmi Pamuntjak mengeskpresikan kegetiran batin, kegersangan jiwa, tokoh gentayangan yang bersusah payah menemukan lelaki yang dicintainya karena dibuang ke Pulau Buru, dalam dominasi kekuasaan Orba. Dalam novel Gentayangan, Intan Paramaditha mengekspresikan kegetiran batin, kegersangan jiwa, tokoh gentayangan ke negeri-negeri jauh, dalam dominasi kekuasaan—semacam “kutukan”, karena tanah air yang tak memberi kenyamanan hidup.
/3/
Di antara ketiga penulis novel itu, Intan Paramadithalah yang banyak melakukan eksplorasi defamiliarisasi mitos. Leila S. Chudori dan Laksmi Pamuntjak lebih cenderung melakukan defamiliarisasi mitos wayang untuk mempertegas karakterisasi tokoh. Mereka menyingkap dikotomi hegemoni kekuasaan antara tradisional dan modern yang tampak dalam konteks Orba. Keterikatanan dengan mitos membuat Leila S. Chudori dan Laksmi Pamuntjak menolak ideologi Orba yang mengasingkan para warga negaranya dari tanah air sebagai eksil (Pulang) dan hukuman atau buangan politik (Amba). Pada hakikatnya tokoh kedua novel itu juga gentayangan. Bedanya, dalam novel Pulang dan Amba, tokoh-tokoh novel itu melakukan gentayangan karena unsur dominasi kekuasaan pemerintah, dalam novel Gentayangan tokoh novel memperturutkan keinginan-keinginan dalam ketaksadaran.
Leila S. Chudori dan Laksmi Pamuntjak menggunakan mitos wayang sebagai sumber kritik politik kontemporer sekaligus menyatakan kritik secara tidak langsung tentang bagaimana kita mendefinisikan kecintaan pada tanah air. Tak ada batasan definisi yang jelas antara apa itu modern dan apa itu tradisional dalam dominasi kekuasaan Orba. Kisah-kisah wayang sering kali dibangun dalam dunia yang surealis dan absurd, menandai korelasi yang tegas antara sebab-akibat tampak tidak berkelindan, sementara dunia modern ialah sesuatu yang berdasarkan logika, akal, dan rasionalitas.
Lebih menarik lagi, saat saya berhadapan dengan pandangan Julia Kristeva terhadap karya-karya Intan Paramaditha. Melihat struktur novel Intan Paramaditha menunjukkan ciri yang paling umum diasosiasikan dengan defamiliarisasi. Novelnya dipenuhi dengan penyimpangan karakter tokoh, dan tidak menyodorkan arus yang terus bergerak. Ada kecenderungan yang menonjol untuk bermain dengan struktur cerita; pola-pola cerita melingkar, penutup cerita atau paparan-paparan tertentu ditunda dan tidak perlu disinggung kembali, kadang-kadang catatan akhir menjadi teks itu sendiri, dan beberapa bagian cerita tampak mencakup pengembangan plot alternatif.
/4/
Novel Gentayangan berkisah tentang kehidupan gadis kosmopolitan yang tercerabut dari akar kultur dan hegemoni kekuasaannya. Dalam pembacaan awal saya, muncul kesan bahwa novel Gentayangan tak mengikuti struktur narasi cerita asli mitos-mitos yang dijadikan hipogram. Intan Paramaditha menciptakan struktur narasi dan karakterisasi tokoh yang menyimpang dari cerita asli. Ia telah melakukan penyimpangan, yang menyebabkan novel mencapai negasi, oposisi, sinis, dan parodi mitos-mitos yang dijadikan pijakan kisah.
Kesan yang segera saya tangkap, dengan novel Gentayangan ini Intan Paramaditha melakukan defamiliarisasi, pembentukan unsur-unsur luar biasa dalam karya dengan melakukan beberapa perubahan terhadap teks yang telah dibaca seperti penyimpangan dari segi makna atau perubahan peranan watak teks-teks hipogram. Intan Paramadhita mengisahkan mitos Cinderela dalam konteks narasi yang menyimpang dari penuturan mitos aslinya. Bahkan Intan Paramaditha juga melakukan penyusupan-penyusupan intertekstualitas lintas genre teks yang tak terduga, untuk mencipta novel ini sebagai teks dengan berbagai tasir struktur narasi.
Membuka berbagai tafsir struktur narasi inilah yang dilakukan pembaca novel Intan Paramaditha. Ia lebih bertumpu pada kekuatan fantasi-fantasi tokoh, yang dalam dunia Budi Darma dinamakan “berkelebatan pikiran”. Intan Paramaditha bergairah mencipta berlapis-lapis mitos, berlapis-lapis kesadaran batin, menyingkap berlapis-lapis kebusukan karakter tokoh yang tersembunyi, dalam permainan motif, struktur cerita, dan keseluruhan kisah. Ia mencapai kompleksitas defamiliarisasi mitos, melampaui yang dilakukan Leila S. Chudori dan Laksmi Pamuntjak yang menggugat dominasi kekuasaan Orba.
- Sirep - 30 August 2024
- Fahmara Terapung di Laut Aegea - 13 January 2023
- Iblis Menjelma Senapan Berburu - 16 September 2022