Senajan omahmu alas
Pikirmu ra pati cerdas
Penting urip biso tuku beras
Uripmu panen rekoso
Rono rene kebak cubo
Nelongso tapi so mangan sego
Mau diam-diam horny sekalipun, kelas menengah kita akan tetap menyinyiri Dek Uut Selly dengan labelisasi “pabrik-susu” dan “bokong-mutakabbir”. Kaum feminis pun niscaya tak pernah sudi untuk tidak seturut mengolok: menguarkan teori-teori feminisme-progresif Julia Kristeva hingga dalil-dalil aurat, jilbab, hijab, zina (bagi kaum akhi/ukhti). Demi marwah perempuan, begitu muaranya. Padahal, mau menggunakan analisis ilmiah dan spiritual apa juga, semua kritisi itu tak pernah disitir dalam “Kelayung-layung”. Apalagi “Kimcil Kepolen”. Apalagi “Jaran Goyang”.
Begitulah watak bengis (sebagian?) kelas menengah kita. Selalu tampil gahar kritis-progresif padahal lebih sering malas membaca ketimbang menulis status; sok membela kaum Hawa padahal genit; sok jijik pada biduanita-biduanita dangdut koplo padahal melotot di dalam kamar.
Jika memang niatnya adalah merayakan keadilan, seyogianya kelas menengah juga memberlakukan prinsip yang sama kepada para biduanita: “adil sejak dalam pikiran”. Bila kepada komunisme dan feminisme memperlihatkan pembelaan yang luar biasa atas nama kemanusiaan, lantas kenapa jadi seketika insecure kepada Dek Uut, dkk.?
Bukankah akan lebih produktif bagi marwah kemanusiaan itu bila kritisi pada Dek Uut dikemas dalam bentuk edukasi-edukasi egalitarianisme ketimbang nyinyiran pabrik susu yang kita tahu sepenuhnya given, tertakdirkan?
Bukankah mestinya memang begitu fitrah kaum terdidik progresif-dinamis kelas menengah dalam perjuangan menjadikan dunia ini semakin adiluhung?
Tentu kita semua tahu fitrah tersebut, mengakuinya, tetapi memanglah tahu tidak berarti melakukan. Kaum kelas menengah jelas tahu bahwa apa-apa yang dangkal pada akhirnya hanya akan menjadi nyinyiran tiada guna, termasuk dalam “menangani” para biduanita itu.
Begini pembuktiannya.
Kelas menengah yang tahunya dangdut koplo hanya Dek Nella Kharisma kini karena ia makin kerap melihatnya tampil di tivi jelas salah ontologi—wajar berikutnya sesat epistemologi—ketika gegabah menyimpulkan bahwa Dek Uut, Dek Jovanka, Dek Farantika, atau Dek Ratna adalah bitchy. Menjijikkan! Memalukan! Melacurkan marwah kaum Hawa! Lalu mereka menjungkalkan genre dangdut koplo ke semak-semak hina lagi dina.
Ini jelas sesat ontologi, sesat epistemologi.
Mari singkirkan dulu risiko horny di hadapan performance mereka yang sanggup membetot perhatian paling purba animal instinct kita. Kita fokus dulu pada satu hal saja: “filsafat proses”.
Adalah Alfred North Whitehead yang mengenalkan terma tersebut. Intinya, Whitehead menyatakan bahwa segala sesuatu akan selalu bergerak dan kemudian terbentuk dalam mekanisme proses. A dan B bersekutu dalam suatu proses maka bisa jadi C atau Z. Ia mengistilahkan titik temu proses itu sebagai nexus: sebuah jaring, atau sistem jejaring, yang lahir dari keterikatan-keterikatan antarelemen yang kemudian melahirkan hal yang baru. Bisa berpola “dialog” atau bahkan “integrasi”.
Jika ingin fair, para kelas menengah semestinya tahu benar sejarah “filsafat proses” yang telah diarungi Dek Nella hingga menjadi seperti yang Anda puja di tivi sekarang—nanti haruslah diterapkan juga kepada Dek Uut, dkk.-nya. Suaranya yang bening, gaya busananya yang smart, dandanannya yang elegan, plus goyangannya yang simpel-artsy, keseluruhannya tidaklah given dari langit. Performance demikian telah berproses sedemikian rupa melalui suatu “interaksi-nexus” (hal-hal yang meliputinya-dijalaninya), lalu jadi ciri khasnya sekarang. Dan dari buahnya inilah para kelas menengah menyaksikannya kini.
Menurut riwayat Gunawan Tri Atmodjo, Dek Nella yang dulunya selalu ditampilkan di awal pentas dengan membawakan satu atau dua lagu sebagai “anak bawang” tidaklah jauh berbeda muasalnya dibanding para pedangdut koplo lainnya. Dek Nella jelas bukanlah siapa-siapa saat masa “filsafat proses” itu di hadapan bintang-biduanita yang tampil di penghujung pentas. Misal Eni Sagita.
Di lagu “Jaran Goyang” dan “Tak Eenteni Tekamu”, misal, Dek Nella juga memakai katok-jin-sobek macam yang dipakai Dek Uut, Dek Jovanka, Dek Farantika, Dek Rita Tawon, dan Dek Ratna.
Lalu Dek Nella berproses sedemikian rupa dengan mengembangkan karakter khasnya, yang menyempal dari gaya panggung teman-temannya. Ini merupakan sebuah mekanisme proses Dek Nella yang tidak banyak diketahui oleh para kelas menengah.
Saya lantas membayangkan, sosok-sosok biduanita yang telah “menguniversal” macam Dek Nella dan Dek Via Vallen inilah yang nantinya akan mengantarkan lagu-lagu koplo berdentuman dari mobil-mobil mahal milik kelas menengah dan atas. Menonton konser dangdut koplo di ballroom hotel bintang lima lantas menjadi fenomena baru musik nasional kita.
Tentu, Dek Nella tak bisa sendirian untuk mendulang apresiasi kelas menengah itu. Selain bersama Dek Via Vallen, dangdut koplo sangat membutuhkan support dari Dek Uut, Dek Jovanka, Dek Farantika, Dek Ratna, dan adek-adek lainnya: para biduanita yang telah mengalami “filsafat proses” tersebut.
Persoalannya, siapa influencer perubahan yang lazimnya diawaki para kelas menengah yang akan menggerakkan proses biduanita-biduanita tersebut?
Saya kira skema influencing ini urgen didedikasikan oleh para kelas menengah demi menanjakkan dangdut koplo ke jenjang kemanusiaan yang bermartabat—sebutlah demikian. Sayangnya, sepanjang laju sejarah, tabiat mayoritas kelas menengah kita terlampau disibukkan oleh marwah-ideal agama, politik, feminisme, anak, sekolah, pertanian, desa, hutan, laut, dan negara belaka!
Para pedangdut koplo macam Dek Jovanka, Dek Farantika, Dek Ratna, dan adek-adek lainnya luput dari proyeksi kritisisme intelektual kita. Penyebabnya sangat jelas: dangdut koplo dianggap kasta rendahan sejak dalam pikiran. Persis dengan dianggap rendahnya kasta karya-karya populer oleh para kritikus yang berjubel teori.
Inilah fakta tabiat kelas menengah kita.
Jika selalu demikian kondisinya, lantas siapa sebenarnya yang mesti dibangkitkan terlebih dahulu agar mengalami pencerahan demi tegaknya keadilan dan kemanusiaan?
Kenyataannya, kita memang terlampau kerap memekikkan keadilan sembari berbuat tidak adil.
Blandongan, 16 September 2017
- Memahami Peta Syariat, Ushul Fiqh, dan Fiqh Dengan Sederhana - 28 October 2019
- Kembalikan Segala Perbedaan kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya Saw. - 30 September 2019
- Memahami Kompleksitas Maqashid al-Syariah - 16 September 2019