Rumah keluarga guru sederhana, di sebuah kota yang bising. Di ruang keluarga, ada meja (tulis atau makan), dengan satu-dua kursi, ada kursi tamu, ada kursi goyang (kursi malas) milik Eyang, dengan meja kecil di sampingnya, ada rak buku. Juga ada kursi makan anak kecil setinggi meja makan orang dewasa, yang telah dibuang sandaran dan pengaman di sekelilingnya.
001 Emak : Jangan tergesa makan, Naak, sakit lambung kau nanti, sabar.
Kalau lambungmu sampai rusak, huh, repotlah engkau.
002 Ayah : Luka di mana si Syamsul, Adi?
003 Adi : Di lambung, Ayah.
004 Emak : Benar, lambung, kalau kau tak bisa pelan makan, lambungmu
yang kena.
005 Ayah : Di mana ia kena?
006 Emak : Ya di lambung kan, Ayah, dia makan cepat-cepat masak kena
di kepala?!
007 Adi : Di depan RSUP.
008 Emak : Mengapa harus ke RSUP? Makanlah normal, pelan-pelan, tak
perlu RSUP. Atau kau mau disuapi lagi, duduk di kursimu ini?
009 Ayah : Hati-hati Adi, mereka tak punya hati.
010 Adi : Ya, Ayah, Adi hati-hati.
011 Emak : Kok ayahnya saja yang didengar, kalian bicara apa?
Emak bilang, makanlah pelahan, jangan gedubrakan seperti
dikejar setan. Bukan hati-hati. Kalau kau makan ikan, berduri,
baru kau harus berhati-hati. Kau dengar kata Emak?
012 Adi : Adi dengar, Mak…
013 Emak : Atau kau mau disuapi lagi, boleh. Duduk di kursimu ini, kursi balita.
( Adi tersenyum sambil manggut-manggut/mengangguk-angguk )
Ini kursi bar, sangat kuat. Lihat, Emak bisa duduk di sini.
Dulu bila kau makan kita pasang sandaran dan kuncinya. Kau tak bisa pergi.
014 Adi : Iya, Mak..
015 Ayah : Dia selalu menurut apa kata orang tua.
016 Emak : Tentu saja, dia anakku!!
017 Ayah : Kita serahkan kepada Yang Maha Kuasa, minta yang terbaik, agar
anak kita selalu mendapat Lindungan dan Tuntunan-Nya, Amien.
018 Emak : Tetapi kalau orang tuanya tak berbuat sesuatu, akan jadi apa
setiap anak muda negeri ini? Semua akan diserahkan begitu
saja kepada nasib.., nasib sebagai anak zaman?!
019 Ayah : Berpikirlah yang baik-baik. Bila sejak awal sudah berpikir buruk,
ya terjadilah buah pikiran itu! Tetapi kalau selalu berpikir yang
terbaik, yang terbaik juga yang akan menjadi.
020 Emak : Nah, semua lelaki akhirnya sama, suka jadi dosen untuk istrinya.
Dahulu ibuku bosan mendapat petuah ayahku, sekarang giliranku.
021 Adi : Mak, Adi berangkat dulu.
022 Ayah : Berangkatlah, Nak.
023 Emak : Dia minta izin kepadaku, emaknya, kenapa Ayah yang kasih izin?!
Sini, Nak!
( Adi mendekat )
024 Emak : Anakku mau ke mana, Sayang?
025 Adi : Kampus, Mak.
026 Emak : Kampus, ooo? Jadi anakku semata wayang mau ke kampus?
027 Adi : Kan setiap hari, Mak. Adi berangkat dulu, yaaa….
028 Emak : Sebentar, Nak. Mau apa sih anakku ke kampus?
029 Adi : Ke kampus ya ke kampus, Mak.., tiap hari Adi ke kampus.
030 Emak : Ke kampus ya ke kampus, Mak.., tentu saja, Sayang.., Mak juga
tidak melarang.
031 Adi : Terima kasih, Mak. (cium tangan)
Adi pergi dulu, Ayah. (cium tangan)
( Saat Adi di tengah ruangan menuju pintu keluar )
032 Emak : Adiii….
033 Adi : Ya, Mak..
034 Emak : Ada kuliah hari ini ?
( Adi diam, tidak menjawab )
Ada kuliah hari ini, Adi…?!
035 Adi : Tidak, Mak.
036 Emak : Tidak ada kuliah hari ini, ya, ya. Emak tahu mahasiswa punya
banyak kegiatan di kampus, ya belajar, ya pacaran.
037 Adi : Adi tidak pacaran, Mak.
038 Emak : Sayang sekali. Emak senang kalau kau pacaran, Anakku.
039 Adi : Adi belum punya pacar, Mak…
040 Emak : Sayang sekali. Emak bangga kalau kau punya pacar.
041 Ayah : Sudahlah, Mak, biarkan Adi pergi..
042 Emak : Siapa yang tidak akan membiarkan Adi pergi? Tentu saja anakku boleh pergi,
aku kan tidak akan membuatnya bodoh seperti katak dalam tempurung.
Keluarlah, Nak, pergilah ke mana saja kau suka.
Carilah ilmu dan pengalaman sebanyak-banyaknya, karena pengalaman itu mahal harganya.
043 Adi : Iya, Mak. Adi pergi dulu ya, Mak.
044 Emak : Tetapi, bolehkah Emak bertanya, Anakku?
045 Ayah : Kau mau bertanya apa lagi..?!
046 Emak : Aku emaknya bukan..? Boleh tidak aku bertanya ?!
047 Adi : Tentu saja Mak, silakan Emak bertanya.
048 Ayah : Jangan aneh-aneh kau, Mak.
049 Emak : Siapa yang mau aneh-aneh, sama anaknya sendiri masak mau
aneh-aneh?!
050 Ayah : Siapa tidak kenal kamu, kau kan istriku.
051 Emak : Tentu saja aku istrimu. Engkau kan suamiku. (mesra, penuh arti)
052 Ayah : Sudah-sudah-sudah. Cepat, kau mau bertanya apa?!
053 Emak : Aku tidak bertanya kepadamu, suamiku. Aku mau bertanya
kepada anakku.
054 Ayah : Yayayaya! ( mulutnya komat-kamit tanpa suara )
055 Emak : Yayayaya! Maafkan emak dan ayahmu ya, Nak…
056 Adi : Tak apa-apa Mak, Adi sudah terbiasa..
057 Emak : (kepada Ayah) Kau lihat ?! Anakmu sampai terbiasa dengan kelakuanmu.
Setiap kali aku mau bicara kau selalu memotongnya !
058 Ayah : Dia itu terbiasa dengan kelakuanmu, mana mau ngerti kamu !
059 Emak : Kau tak pernah mau mengaku salah, bisanya hanya menyalahkan.
060 Adi : Permisi, Mak, Adi berangkat dulu, ya..
061 Emak : Sini-sini, Nak, kau kan belum menjawab pertanyaan Emak… Tadi
Adi bilang hari ini tidak ada kuliah, benar tidak?
062 Adi : Benar Mak, Adi hari ini tidak ada kuliah.
063 Emak : Juga tidak ada janji harus menghadap profesor?
064 Adi : Menghadap dosen? Tidak, Mak.
065 Emak : Tidak ada ujian atau ujian ulangan..?
066 Ayah : Maaaak.., anakmu terlambat!
067 Adi : Tidak, tidak ada ujian, Mak.
068 Emak : Nah, Anakku sayang. Boleh kan emakmu bertanya, kalau di
kampus benar tidak ada kuliah, tidak ada acara pacaran, maukah
anakku menemani emakmu di rumah ?
069 Ayah : Emak!!!
070 Emak : Ada apa, Ayah?!
071 Ayah : Ada-ada saja kau ini! Anakmu itu punya tugas di kampus!
072 Emak : Tentu saja anakku punya tugas di kampus, dia kan mahasiswa!
Tapi hari ini dia tidak ada kuliah, apa salahnya menemani
emaknya di rumah?
073 Ayah : Kau tidak tahu, Mak , selain kuliah, mahasiswa itu tugasnya
banyak. Jangan kau samakan dengan sekolahmu dulu, eSDe.
074 Emak : Enak saja, eSDe. Kau anggap istrimu ini tolol apa, hai, Suami!
Tentu aku tahu sekolah universitas beda dengan sekolah lain.
075 Ayah : Nah, kalau kamu tahu, biarkan sekarang anakmu pergi!
076 Emak : Dasar laki-laki, maunya menang sendiri! Anakmu hari ini tidak
ada kuliah, apa salahnya menemani emaknya di rumah?!
077 Ayah : Biar tidak ada kuliah, banyak tugas mahasiswa, Maak!
078 Emak : Apa tugasnya, apa kesibukannya?! Katakan, apa?!
( Diam. Ayah dan Adi tak bisa menjawab. Bungkam. )
079 Emak : Kok diam? Tadi berkoar-koar, sekarang ditanya, diam. Huh!
080 Adi : Adi pamit Mak, Adi ditunggu teman-teman.
081 Emak : Kalau tak ada kuliah, kenapa tidak menemani Emak di rumah?
082 Adi : Kapan-kapan Adi akan menemani Emak di rumah, Adi janji.
083 Emak : Begitulah, teman-teman selalu kau dahulukan. Emakmu sendiri
hanya kau suapi janji. Kapan sih Emak pernah minta kepadamu
untuk menemani Emak di rumah?!
084 Adi : Tidak tahu. Belum pernah, Mak.
085 Emak : Nah, belum pernah kan?! Sejak SMP kau keluyuran saja, Emak
belum pernah minta kau temani di rumah. Sekarang, temanilah !
086 Adi : Adi tak bisa Mak, sekarang. Adi ditunggu teman-teman…
087 Emak : Apa peduliku engkau ditunggu teman-temanmu?!
088 Ayah : Mak !!
089 Emak : Kenapa, Ayah? Kenapa?! Tidak bolehkah aku, emaknya, yang
mengandungnya sembilan bulan, mengeluarkannya dari rahimku
dengan kesakitan, menyusuinya, merawatnya, membesarkannya,
tidak bolehkah aku sedikit menuntut hakku sebagai ibu?!
090 Ayah : Siapa yang mengatakan tidak boleh, Mak. Tetapi tidak sekarang.
Dia bisa kehilangan teman-temannya. Dia ditunggu kehadirannya
di kampus saat ini.
091 Emak : Aku tidak peduli.
092 Ayah : Mak! Kau tidak boleh egois seperti itu.
Apakah kau mau disebut sebagai ibu yang menguasai hidup anaknya!!
093 Emak : Aku tidak peduli!!!
094 Ayah : Bijaksanalah, Mak, bijaksanalah..
095 Emak : Aku tidak peduli, aku tidak peduli, aku tidak peduli..!
Aku tidak peduli orang mau bilang apa!
096 Ayah : Sudahlah, Mak, jangan kau lebih-lebihkan. Kau tak kasihan
dengan anakmu?! Dia ditunggu teman-temannya, Mak……
097 Emak : Siapa tidak kasihan kepadanya, siapa?! Ayah sendiri yang tidak
kasihan kepadanya. Aku bukan hanya kasihan kepadanya, aku
amat sayang kepadanya. Justru itulah!
098 Ayah : Justru itulah kau harus selalu memilikinya, tak bisa jauh darinya?!
099 Emak : Setan!! Ada setan ya dalam diri Ayah?! Perempuan secengeng
itukah aku?! Tidak hanya sekarang, tidak hanya hari ini, setiap
hari dia tak pernah ada di rumah. Apa aku pernah melarang?
( menggeleng-gelengkan kepalanya sambil bertolak pinggang )
Tetapi hari ini, aku minta hari ini, ia di rumah, apakah salah? Aku
lakukan ini demi keselamatannya, aku mencoba melindunginya!
100 Ayah : Jangan berlebihan, Mak, jangan didramatisir, yang normal saja!
101 Emak : Dengarkan, hai, kalian berdua, dengarkan…..! Kalian anggap perempuan apa aku ini ?!
Perempuan tolol, dogol, konyol?! Meski kalian tak pernah membicarakannya di depanku, meski Adi tak pernah terus-terang kepadaku, aku tahu, kalian berdua, bapak dan anak, sama-sama hobi demonstrasi! Apa aku buta, bodoh, tak tahu anak dan suami semuanya demonstraaan?!
102 Ayah : Maafkan kami, Mak, Ayah tak mau menyusahkanmu.
103 Adi : Maafkan Adi, Mak, Adi takut Emak marah, lalu sakit.
104 Emak : Seenak kalian sendiri meminta maaf, kenapa tidak terus-terang?!
105 Ayah : Demonstrasi kan lebih urusan lelaki, untuk apa kita bicarakan?!
106 Emak : Ya, buat kalian demonstrasi urusan lelaki, pahlawan-pahlawan manis yang le…zzat sekali.
Tetapi kalau ada yang terluka, masih tetap hanya urusan lelaki?! Perempuan juga yang kelabakan! Lagi pula demonstran perempuan ikut bertumbangan, masih berani bilang demonstrasi urusan lelaki, huh!! Bagaimana kalau aparat anti demonstran bertindak brutal, aku tak rela !! Apalagi bila anak semata wayangku ini ikut kena!
107 Adi : Adi selalu hati-hati, Mak.
108 Emak : Dalam demonstrasi bagaimana bisa kau hati-hati?! Bila terjadi
kekacauan, siapa saja bisa celaka, hati-hati tak ada gunanya.
109 Ayah : Asal tidak keras melawan keras, kekacauan bisa dihindari.
110 Emak : Siapa bilang kekacauan bisa dihindari kalau pengikutnya banyak?
Bertambah banyak yang ikut demo, bertambah mudah jadi kaco…!
( Menuju kursi goyang Eyang )
Apa kalian lupa Bapak, Eyang? Ada yang bilang kakekmu jatuh
terdorong Adi, tapi ada yang bilang digelandang, ditendang, di—.
Yang jelas, kakekmu tak pernah lagi duduk di kursi ini..!
111 Ayah : Bapak bandel, nekat. Aku sudah bilang agar Bapak di rumah saja,
tak usah ikut demo, Bapak berangkat juga.
112 Emak : Apa bedanya dengan kalian sekarang? Apa bedanya?!
113 Adi : Beda, Mak, kami memperjuangkan masalah prinsip, babat kongkalikong pilar trias politika,
babat mafia BBM, mafia beras, mafia daging, mafia gula, mafia minyak goreng, mafia garam, mafia bawang, semua mafia karena semua ada mafianya. Babat kartel penyulap harga yang menyengsarakan rakyat. Kakek dahulu kan hanya demo untuk perbaikan nasib pensiunan!!!
114 Emak : Apanya yang beda, demo ya demo, tak ada bedanya! Kau pikir
tanpa orang-orang tua negara ini ada?! Jangan merasa berjasa!
115 Adi : Ya beda, Mak, kami memperjuangkan cita-cita, sangat mendasar,
fundamental. Cita-cita aksi kami memperbaiki semuanya.
116 Emak : Mau besar, mau kecil, demo ya demo, sama saja.
117 Ayah : Emakmu benar, Adi, demo itu ekspresi kebuntuan komunikasi,
antara pimpinan dan yang dipimpin. Besar atau kecil ya sama
saja, demo ya demo. Kalo pimpinan bijak, demo kecil cepat
direspons, ditanggapi dengan serius, demo cepat selesai.
118 Emak : Ayahmu benar, Adi, pimpinan bijak tak akan membiarkan suatu
masalah berlarut-larut, hingga ruwet, bundet, sulit dibuka lagi,
kepentingan dan kepentingan saling berebut, minta didahulukan!
119 Ayah : Emakmu benar Adi, “kricikan jadi grojogan”, pepatah bijak leluhur
kita, gemericik air selokan menjadi gemuruh banjir bandang,
menerjang-terjang apa saja, yang di depan semua penghalang.
Pimpinan tuli dan buta cenderung memilih Si Banjir Bandang.
120 Emak : Ayahmu benar, Adi, orang tak akan berdemo kalau telinga para
pimpinan bersih dan sehat, higienis, siap dan mampu mendengar.
Buat apa demo kalau pimpinan memperhatikan aspirasi bawahan,
memutuskan kebijakan penuh kebijaksanaan?!
121 Ayah : Emakmu benar, Adi, demonstrasi itu melelahkan.Tapi kalau
pimpinan bebal, bertelinga tebal, hanya suara manis si jelita yang
terdengar, para demonstran terpaksa menggulung lengan bajunya
122 Emak : Ayahmu benar, Adi, menjadi pimpinan tidak gampang. Bukan karena bisa menang!
Taktik memenangkan pemilihan jelas beda dengan kemampuan menjalankan kepemimpinan.
123 Ayah : Emakmu benar, Adi, entah kantor jawatan, entah perusahaan,
Pemda, pemerintah pusat atau BUMN, semua wajib didemo bila
sarana komunikasi antara atasan dan bawahan dikorupsi. Tidak
hanya uang yang dikorupsi, hak-hak wong cilik justru paling kerep
ditilep, di-ingkari. Sedang kewajiban mereka sebagai pimpinan disulap,
yang tersisa haknya saja. Tanggung jawab, jelas dikorupsi.
124 Emak : Ayahmu benar, Adi, orang setua kakekmu, tujuh-puluh-tujuh tahun,
bekas pejuang, diso-dog begitu saja! Bersama pensiunan yang lain ia demonstrasi,
diusir disuruh pergi, diusir dianggap tak berarti, dan Kakek pun murka,
dengan mengacungkan Bintang Gerilya miliknya ia maju, tak peduli gertak dan tendang.
Ia pun tumbang!
125 Ayah : Emakmu benar, Adi, mereka miskin rasa peduli. Jangankan orang biasa, janda pahlawan
digusur dari rumahnya. Janda tua, tanpa daya, meski dahulu ikut berjuang bersama suami,
tapi martabatnya hanya sebagai pelengkap, pelengkap penderita. “Surr-gusur”, kata mereka,
“Janda pahlawan tidak produktif, rumah bekas pahlawan dibutuhkan mereka yang masih aktif!
126 Emak : Ayahmu benar, Adi, masa depan bangsa diperdagangkan. Lihat
uang kuliahmu. Naik terus, bagai biji kacang ajaib menggapai istana Jin Langit.
Untuk siapa sekolah itu? Untuk seluruh rakyat bukan?
Mengapa mahal, seharusnya gratis, benar-benar gratis.
127 Ayah : Emakmu benar, Adi, terlalu banyak kebijakan yang kurang bijak.
Terlalu banyak yang harus didemonstrasi. Pemimpin kurang peka,
tak mampu menjaring aspirasi warga.
Ironis kan, banyak hal dibenahi, lebih tepat baru dibenahi, ya, setelah didemonstrasi.
128 Emak : Ayahmu benar, Adi, setiap hari harus ada yang demonstrasi.
129 Ayah : Emakmu benar, Adi, setiap hari orang terpaksa demonstrasi.
( Adi bengong memperhatikan Ayah dan Emaknya yang melamun dan bicara
sendiri- sendiri, pandangannya jauh entah ke mana.)
130 Emak : Ayahmu benar, Adi, kita memang harus demonstrasi.
131 Ayah : Emakmu benar, Adi, kita wajib demonstrasi.
132 Emak : Ayahmu benar Adi..
133 Adi : Anakmu benar, Mak, Yah, anakmu benar..
Adi harus ke kampus sekarang…, mau bikin demonstrasi.
( Emak kaget, seperti disadarkan )
134 Emak : Jangan kau lakukan itu, Nak, jangan!
135 Ayah : Mak, ada apa?!
136 Emak : Anak semata wayang, aku tak mau dia pergi!
137 Adi : Mak, Adi ditunggu, Mak, Adi punya tanggung jawab.
138 Emak : Aku tak peduli..
139 Ayah : Mak, tak boleh kau begitu. Kamu mau anakmu dimusuhi teman-
temannya?!
140 Emak : Tentu saja tidak. Tetapi aku tak mau dia celaka!
141 Ayah : Siapa yang bilang dia akan celaka. Jangan menakuti apa yang
belum tentu terjadi.
142 Emak : ‘Belum tentu terjadi tak beda dengan belum tentu tidak terjadi’!!
143 Ayah : Bukankah ada doa, doa untuk memohon agar tidak terjadi.
144 Adi : Biarkan Adi pergi, Mak, Adi tak enak hati.
145 Emak : Sama dengan Emak, Anakku, Emak juga tak enak hati..
146 Adi : Beda kan, Mak, Adi tak enak hati kepada teman-teman sesama
demonstran, dikira meninggalkan mereka.
147 Emak : Memang beda anakku, tak enak hati Emak karena sejak Emak
bangun tidur hanya engkau yang ada dalam kepalaku, hanya anak
semata wayang Emak yang tampak di mataku.
148 Ayah : Mak, kau keterlaluan, Mak, hentikan mengada-ada !
149 Emak : Kau kira istrimu ini hanya bisa mengada-ada?! Engkau lelaki
keterlaluan, istri sendiri tidak dipercaya! Berapa lama anakmu
ikut demo, berapa lama? Apakah hari ini demo Adi yang pertama,
tidak bukan? Apa pernah aku melarang Adi pergi sebelumnya?
Tidak bukan… Tetapi hari Ini aku tak bisa membiarkannya pergi.
Biarpun ia akan dibenci teman-temannya, ia tetap harus tinggal
di rumah, menemani aku, emaknya !
( Ayah hanya bisa bertolak pinggang sambil geleng-geleng kepala )
150 Adi : Emak tahu kan, Dodok, sahabat Adi, hilang. Entah bagaimana
nasibnya, mungkin ikut ditahan. Tetapi kata penghubung kami,
Dodok tidak ada dalam daftar tahanan. Kami harus berjuang,
menuntut agar teman-teman yang ditahan dibebaskan. Tujuh belas
orang yang hilang, kurang dari sepuluh yang konon ada dalam
daftar tahanan. Ke mana mereka?!
151 Emak : Yang di rumah sakit berapa orang?
152 Adi : Sebelas orang. Termasuk Syamsul, tetapi belum sadarkan diri.
153 Emak : Dan hari ini yang hilang akan tambah satu lagi, NO demonstrasi!
154 Ayah : Jangan bicara begitu, Mak, itu tidak adil, kau rampas hak
perkembangan Adi. Biarkan dia membela teman-temannya.
155 Emak : Dan siapa yang akan membela hakku sebagai emaknya?!
Tidak ada! Kecuali aku sendiri, aku tak mau anakku hilang!!
Sebagai ibu aku dikaruniai firasat yang harus diperhatikan.
156 Adi : Emak tidak akan kehilangan Adi, Mak, percayalah! Adi akan
berhati-hati. Untuk menenangkan hati Emak, hari ini Adi tidak
akan ikut demonstrasi. Tetapi Adi tetap harus ke posko!
157 Ayah : Lepas, Mak, anakmu sudah berjanji hanya akan di posko demo,
lepaskan dia pergi, toh dia tak akan ikut demonstrasi.
( Emak termenung diam, berjalan bolak-balik, resah-gelisah )
158 Adi : Boleh, Mak? Boleh Adi pergi?
159 Emak : Kalau kau bersikeras dan tak mau diingatkan, ya terserah..
160 Adi : Terima kasih ya, Mak, Emak mau mengerti.
( Adi mencium emaknya, tetapi Emak diam tak bergerak saat kedua pipinya
dicium anaknya, seolah ia tidak merasa, pandangannya jauh ke depan )
161 Ayah : Cepat ambil barang-barangmu, sebelum Emak berubah pikiran.
( Adi cepat masuk kamarnya dan keluar sudah membawa perlengkapannya,
ransel di punggung, serta gulungan poster, berjalan cepat menuju ke pintu
keluar. Tetapi saat mau melewati emaknya pelahan sekali ia melangkah )
162 Emak : Berhenti kau di situ, Anakku, biarkan emakmu memandangimu
Lepas tasmu dan letakkan bawaanmu itu. ( Adi menurut ) Hhmm,
Anak yang gagah, cakap pula wajahnya. Coba berputar, Nak,
lhoo.., jangan terlalu cepat. Pelan-pelan saja, Emak biar bisa
memandangimu. Benar-benar cakap anak kita, Ayah.
163 Ayah : Sudah, sudaah, Adi sudah telat, Maak..
164 Emak : Konyol bener aku punya suami ini.. Dibilang kita punya anak
cakep, iiih, ngomel-ngomel saja dia! Hawanya marah melulu.
165 Adi : Boleh Adi berangkat sekarang, Mak?
( Emak berdiri dari duduknya, menghampiri anaknya, memegang kepalanya lalu
mencium keningnya, Ayah mendekati kursi makan Adi dan mendudukinya. )
166 Emak : Sekarang pergilah, Anakku.
( Adi mengangguk berterima kasih, mencium tangan emaknya, lalu mendekati
ayahnya untuk mencium tangannya. )
167 Emak : Eeeee, Ayah, Ayah.., jangan duduk di kursi anakku.
168 Ayah : Adi juga anakku..
169 Emak : Tetapi engkau tak mengandungnya. Aku yang membawanya
ke sana kemari dalam kandunganku, sembilan bulan lamanya.
Ini kursiku sekarang.
( Ayah mengalah, turun dari kursi makan Adi. Emak naik lagi dan duduk di kursi itu. Setelah mengangkat bawaannya Adi beranjak pergi. )
170 Adi : Adi berangkat dulu, Mak, Yaah.
171 Emak dan Ayah : ( KOOR ) Ya, Nak, hati-hati ya..
( Adi berjalan menuju pintu keluar. TETAPI saat Adi baru berjalan beberapa
langkah terdengar pintu digedor pakai benda keras (kayu). Semua terkejut.
Emak meloncat turun dari kursi Adi, lalu menuntun anaknya masuk ke kamar
untuk bersembunyi. Terdengar lagi gedoran di pintu, kayu dipukul kayu. )
172 Emak : Siapa, ya? ( Tak ada jawaban. )
Siapa yang mengetuk pintu? ( Tak ada jawaban, gedoran lagi. )
Siapa yang mengetuk pintu?! ( Suara Emak keras, jengkel. )
( Pintu diketuk lagi, pakai tangan. Ayah yang sudah di dekat pintu membukanya,
masuklah Arman, teman Adi, berjalan terpincang dibantu kruk kayu. )
173 Ayah : Saudara mencari siapa ?!
174 Arman : Maaf paman, bibi, saya Arman.., Adi ada?
175 Adi : Kau mengetuk pintu seperti orang gila, ada apa? !
176 Arman : Adi harus bersembunyi, lebih cepat lebih baik.
177 Emak : Apa kau bilang, Nak Arman?
178 Arman : Adi dicari orang bi, berbahaya, sebaiknya Adi bersembunyi.
179 Emak : Siapa yang mencari?
180 Ayah : Siapa lagi to Mak, kalau Nak Arman sudah bilang itu berbahaya!
181 Emak : Firasat tak pernah dusta! Hari ini Adi harus di rumah saja!!
182 Adi : Tidak bisa, Mak, Adi tetap harus pergi. Teman-teman butuh Adi.
183 Emak : Kau mau masuk perangkap dan hilang, lenyap tanpa jejak?!
184 Arman : Berbahaya, Adi, selain dicari aparat kau dicari kelompok radikal.
185 Adi : Apa maksudmu kelompok radikal? Kelompokmu bukan?!
186 Arman : Lupakan yang lalu Adi, tadi malam posko radikal dibakar orang.
Ada yang mengaku melihat kamu di tempat kejadian..
187 Adi : Kurang ajar. Siapa yang mengaku itu Arman?! Kamu?!
188 Arman : Apa maksudmu, Adi?! Posko mengirim pesan agar kau hati-hati.
189 Adi : Posko yang mana?! Posko-mu, posko radikal?!
190 Arman : Kau jangan sembarangan, Adi! Kau pikir aku seburuk itu, mau
menjerumuskan kamu ke dalam jebakan?!
191 Adi : Mengapa tidak, Arman?! Siapa yang melaporkan Indra sebarkan
buku terlarang kalau bukan kamu?!
192 Arman : Kau pikir intel belum membuntuti Indra, dia sendiri terlalu berani!
193 Adi : Kau benar, seharusnya dia lebih berhati-hati, terutama karena ada
kamu di dekatnya!
194 Arman : Kau jangan berlagak pahlawan, Adi. Kakiku ini kena apa?! Kena
molotov yang kau lempar bukan.
195 Adi : Apa kau bilang?!
196 Arman : Semua kawan tahu, kaki ini kena molotov lemparanmu!
197 Emak : Benarkah, Nak?!
198 Adi : Tidak, Mak! Satu kali pun belum pernah Adi memegang molotov.
199 Arman : Kulit tangan belum pernah memegang ya, kalau dilapisi kantung
plastik sudah sering melempar kan!
200 Emak : Tidak, Arman, Adi tak bakal bohong kepada Bibi, aku, emaknya.
201 Adi : Engkau kemari bukan menyampaikan pesan agar aku waspada.
Engkau kemari menuntun mereka agar tahu rumahku! Begitu?!
202 Emak : Celaka! Benar begitu, Arman?!
( Arman diam tak menjawab )
203 Ayah : Benar begitu, Arman?!
204 Arman : Tidak, Paman, aku datang sendiri, tetapi kalau ada yang diam-diam mengikuti aku,
mana aku tahu.
205 Adi : Huh, diam-diam mengikutimu?!
206 Ayah : Celaka..!
207 Emak : Aduuuh, gimana ini?!
208 Ayah : Hhmmm…
( Ketukan keras di pintu. …. Keempat orang kaget, diam tak berani bersuara.
Adi, Emak dan Ayah memandang marah ke Arman.
Ketukan datang lagi.., Arman semakin mengkeret di bawah pandangan
galak, namun keempat orang Itu tetap diam, tak ada yang berani bersuara
Ketukan datang lagi, tetap sunyi, dan
Ketukan datang lagi, sunyi. )
209 suara dari luar pintu : Emak Adi.., ini aku, buka, dong. Aku tahu ada
orang di dalam, buka dong, Sayang.
210 Adi : Itu Makmimi.., hmm.
211 Emak : Ya Tuhan, Armaaan, kau menakuti Bibi..!
212 Ayah : Alhamdulillaaah..
213 Suara dari luar pintu : Emak Adiii…
214 Emak : Aku datang.. ( membukakan pintu )
215 Makmimi : Banyak orang di sini! Ada apa aku mengetuk dibiarkaaan saja?
216 Emak : Arman datang memperingatkan Adi, Adi dicari orang..!
217 Makmimi : Adi dicari orang?! Memang kenapa kalau dicari orang?
218 Adi : Adi ikut demonstrasi, Makmimi..
219 Makmimi : Ah.., kau ikut demonstrasi, Nak.., pantas dicari!
Banyak yang ditahan, banyak yang hilang, hati-hati, Adi!
220 Adi : Iya, Makmimi, Adi mau ke posko sekarang.
221 Emak : Tak usahlah, Naaak. ( sambil berjalan menuju kamarnya )
222 Adi : Adi harus membicarakannya dengan kawan-kawan Mak, kalau
benar Adi dicari dan dituduh membakar posko radikal, Adi terpaksa
izin dulu, demo dari belakang saja, organisasi!
223 Emak : ( dari kamarnya ) Jangan, Nak, berbahaya! Tulis surat saja!
224 Ayah : Perjuangan harus dilaksanakan dengan pintar. Panglima Besar
Jenderal Soedirman pun menghindar, agar tak ditangkap Belanda.
Dengan menghindar itu bukan berarti Soedirman melarikan diri,
tidak! Perang Soedirman perang gerilya. Muncul hancurkan musuh,
kemudian lenyap, menghilang bagai setan. Bila kelewat
besar risikonya, meninggalkan pos perjuangan lebih bijaksana.
225 Makmimi : Benar! Keberanian bukan berarti berani nekat, maju tanpa takut.
Keberanian adalah berani berpikir benar. Berani bertindak benar.
226 Adi : Kami tahu, Makmimi. Demonstrasi bukan aksi ngawur tanpa pertimbangan.
Demonstrasi bukan gerakan nekat tanpa pemikiran
mendalam, tanpa perumusan masalah, tanpa cita-cita perjuangan.
227 Ayah : Maka jangan biarkan dirimu konyol, tertangkap atau hilang.
Sedang hewan pakai akal.
228 Makmimi : Adi dituduh membakar posko radikal. Punya siapa itu posko
radikal? Mengapa ada posko radikal segala ?!
229 Adi : Mereka juga mahasiswa. Mereka mau perubahan cepat dan
menyeluruh….
230 Ayah : Mana bisa perubahan menyeluruh, mau cepat lagi?! Bila satu
departemen jadi sarang korupsi, apakah departemen itu harus
langsung dibumihanguskan untuk membangun yang baru?! Itu
tak beda dengan revolusi Kamboja….
231 Emak : ( dari dalam kamarnya ) Kamboja?!
232 Ayah : Raja Sihanouk disingkirkan. Dahulu Khieu Samphan, Pol Pot,
Ieng Sary, orang-orang pinter lulusan Eropa, memimpin negeri
sambil bermimpi. Uang ditiadakan, sekolah dibubarkan, warga
berpendidikan ditebas, dihabisi tak bersisa. Entah mau bikin
masyarakat utopia macam apa. Dua juta lebih nyawa dibantai.
233 Adi : Ngeriii…! Masyarakat model apa yang dibayangkan?!
Kau tahu, Arman…..?!
( Arman diam saja, pura-pura tidak mendengar )
Saat kami katakan perubahan cepat dan menyeluruh itu tidak
mungkin, mereka marah. Lalu mereka meninggalkan kami.
234 Makmimi : Dan Adi sekarang dicari, dituduh membakar posko mereka?!
235 Ayah : Adu domba, jelas adu domba! Ada yang kewalahan…..
236 Makmimi : Jangan mau diadu domba, kayak anak bodoh saja……
237 Adi : Kami jelas tidak, tetapi teman-teman masih sering berkelahi, malah
melawan teman sendiri. Saudara satu perguruan, sahabat satu
fakultas, saling tawuran. Jurusan Teh Manis lawan jurusan Teh
Tawar. Tambah celaka dengan adanya kelompok radikal.
238 Ayah : Seperti kanak-kanak, manja dan tidak dewasa. Bila suka tawuran
dengan teman sendiri, orang tertawa. Tinggal diadu domba saja.
239 Emak : ( dari dalam kamar ) Emak malu bila kau tawuran, Adi, jangan
ngaku anak Emak bila kau suka tawuran…..!
240 Ayah : Berkelahilah secara kesatria, satu lawan satu, tanpa senjata. Main
keroyokan, main senjata, itu bukan berkelahi namanya. Itu upaya
pembunuhan! Apa benar, memang maunya membunuh orang?
Benarkah temanmu, sesama pelajar, sesama mahasiswa, yang
sedang kau musuhi itu patut dibunuh? Bima yang gagah perkasa
dan sakti mandraguna, bila kalah bertempur tak malu mengakui
kekalahannya… Itulah watak kesatria Nusantara. Embeeeek….,
aku kalah Kresna Jlitheng kakangku, embeek…. ( suara kambing)
241 Emak : ( keluar dari kamar dengan perlengkapan, ransel dan jaket )
Huh, sandiwara….
242 Ayah : Itu wayang, bukan sandiwara, ngaco !
243 Emak : Anakmu mana mengerti, cari contoh yang mereka pahami….
Anak-anak hanya tahu Batman, Superman, Power Ranger….
244 Adi : Itu harus kami demo, Mak, mengapa hanya dongeng dan mitologi
bangsa lain yang diperkenalkan kepada kami?
246 Makmimi : Kartun Gatutkaca sudah ada….
247 Adi : Tidak cukup. Kisah wayang itu pelajaran budi pekerti, dibutuhkan
sepanjang zaman. Nilainya abadi, selalu aktual. Kita harus
memanfaatkan buku pintar warisan leluhur itu sebagai materi
pendidikan. Tak ada di situ tawuran model keroyokan…!
248 Makmimi : Pintar anakmu, Emak Adi……
249 Emak : Alhamdulillaaaah………
250 Ayah : Engkau benar, nilai-nilai luhur warisan leluhur semestinya tetap
terjaga. Miyamoto Musashi, kesatria pedang Bushido, ilmunya
hidup hingga kini, bahkan dimanfaatkan untuk kegiatan ekonomi!
251 Adi : Miyamoto Musashi memang luar biasa. Benarkah budaya kita
sekadar kasur tua, mandeg tak berguna?! Benarkah budaya
modern menjawab kebutuhan kita untuk hidup bahagia? Separuh
lebih penduduk bumi hidup di bawah garis kemiskinan.
252 Ayah : Budaya modern tak mampu mengendalikan keserakahan manusia.
253 Emak : Haruskah budaya modern didemonstrasi…?
254 Ayah : Mungkin. Namun penduduk kita sudah telanjur seperempat miliar
jumlahnya. Penyediaan logistik dan perumahan tak bisa lagi diatur
dengan tata cara leluhur kita di masa lalu. Tak bisa kita sekarang
hidup tanpa computer, tanpa handphone, dan tak mungkin lagi kita
hidup dalam gelap, tanpa lampu Edison, Neon, tanpa listrik.
255 Adi : Peradaban dan kebudayaan tak mungkin didemonstrasi. Dan kita
Tidak mencari kemenangan…
256 Ayah : Bukan kemenangan kelompok yang dicari, bukan kemenangan
partai politik. Demonstrasi untuk kemenangan tokoh-tokoh partai
memalukan. Politik uang dan suap menjijikkan. Kita demonstrasi
untuk keadilan dan kesejahteraan umat manusia.
257 Adi : Untuk kemenangan peri kemanusiaan! Itulah sebabnya Zionis
Israel harus terus kita demo. Kejahatan bangsa yang tak layak
disebut sebagai bangsa manusia itu kelewatan, membantai warga
Palestina secara keji dan biadab. Apa yang dilakukan bangsa
Israeli hanya dilakukan binatang buas atas mangsanya. Bukan
kelakuan hamba Allah yang disebut manusia!!
258 Arman : Perjuangan kemanusiaan bukan hanya terhadap Israel, Adi,
selain itu rakyat Israel banyak yang menentang aksi politik brutal
pemimpin mereka sendiri, para Zionis itu!!
259 Adi : Benar.. Kita juga harus memperjuangkan diutamakannya
akal sehat. Karena akal sehat selalu memihak kemanusiaan. Dan
para penentang kemanusiaan, seperti koruptor, manipulator, dan
semacamnya, jelas anti akal sehat. Anti pikiran waras.
260 Ayah : Pikiran waras harus diutamakan. Bagi semua saja, eksekutif,
legislatif, judikatif, polisi, tentara, guru, pengusaha, siapa saja…
261 Adi : Semangatnya menyehatkan kehidupan berbangsa dan bernegara
Tak boleh ada politik uang, tanpa rekayasa. Demonstrasi harus
diupayakan selalu konstruktif, membangun, bukan merusak, destruktif.
Demo anarkis yang destruktif menyakiti bangsa!!
262 Emak : Indah sekali bila para pemenang pemilihan tidak sibuk mengeruk
keuntungan, berupaya mengembalikan modal yang telah mereka
keluarkan. Seharusnya mereka langsung memikirkan rakyatnya.
263 Ayah : Benar, Mak, sistim pemilihan harus segera dibenahi, politik uang
jangan sampai merajalela. Negara bisa bangkrut karenanya.
264 Emak : Ayah, jaga Adi. Dia tak boleh pergi. Kami pergi sebentar.
265 Ayah : Adi harus segera bersembunyi……!
266 Emak : Benar, kau harus segera bersembunyi, Anak manis. Besok kita
antar anak semata wayang ke…….…
267 Ayah : Mak….!
( Ayah memberi tanda Emak menyuruhnya diam, sambil menunjuk dengan mata
ke arah Arman )
268 Arman : Paman, bibi, Adi…, Arman pamit dulu ya….
269 Adi : Baik. Terima kasih kunjunganmu, Arman…..
( Adi membukakan pintu dan membiarkan Arman keluar. Adi ikut keluar
sebentar, setelah Arman jauh, Adi masuk lagi )
270 Emak : Sudah tak dengar suara kita lagi dia, Nak ?
271 Adi : Sudah jauh, Mak. Aku tak bisa memercayainya!
272 Ayah : Firasatku, kau harus sangat berhati-hati dengannya.
273 Makmimi : Ada apa, tampaknya dia dendam kepadamu, Adi ?!
274 Emak : Kami takut Arman datang dengan sengaja untuk menunjukkan di
mana rumah Adi.
275 Makmimi : Uh, tidak elok itu! Kau harus segera bersembunyi Adi, lebih
cepat lebih baik!
276 Emak : Ayo, Makmimi, kita berangkat…..
( Emak mengangkat ransel bawaannya. )
277 Adi : Mak, aku ke kampus bentar, ya…. Kasihan teman-teman….
278 Emak : Adiiii, kau sudah berjanji tak akan pergi bukan….. Apa kau
akan menipu emakmu….?
279 Adi : Sebentar saja tak boleh, Mak……?
( Emak menggelengkan kepalanya, kemudian mendekati Ayah untuk berbisik,
lalu berjalan cepat menuju ke pintu dan melangkah keluar )
280 Ayah : Jangan khawatir, Mak, tapi kau mau ke mana….? Mak…..!
281 Adi : Waaah…., Adi tak boleh pergi, harus menemani Emak di rumah
Sekarang Emak malah pergi….! Mau ke mana sih, Yaah….?
282 Ayah : ( mengangkat bahu tanda tak tahu ) Ayah tak tahu…..
( Emak sudah keluar pintu, Makmimi sedang mengumpulkan bunga-bunga yang
dibawanya, yang jatuh ke lantai, )
283 Adi : Makmimi, mau ke mana sih…?
284 Ayah : Arisan di mana Makmimi…?
285 Makmimi : ( sambil ke luar ruangan ) Kok arisan, to….., bukan arisan….
286 Adi : Habis mau ke mana, Makmimi…..?
( Makmimi yang sudah ke luar ruangan masuk lagi untuk menjawab
pertanyaan Adi. )
287 Makmimi : Emakmu tak bilang……?
( Adi menjawab dengan gelengan kepala )
288 Makmimi : kita mau……………… demonstrasi !
( Makmimi lenyap, Ayah dan Adi saling berpandangan, terpana.)
T A M A T
Yogyakarta, 17 Agustus 2016
Hak cipta naskah ini ada pada penulis
izin pementasan ditujukan kepada penulis
dengan membayar royalti sebanyak 15 % dari seluruh Anggaran Pentas Anda
minimal sebanyak ongkos pembayar sekali makan malam
penulis sekeluarga,
seharga tiga bungkus Nasi Rames atau Nasi Rendang Padang
lengkap dengan tiga gelas Wedang Teh panas
hubungi gehaesa@yahoo.co.id, atau ono.cahyo@gmail.com
- Kau Bakar Shinta Istrimu, Aku……. - 24 January 2020
- DEMONsTRAN; Drama Satu Babak Genthong HSA - 26 May 2017