Beberapa hari lalu saya menonton ulang film The Godfather sebuah mahakarya legendaris yang bisa dikatakan belum ada tandingannya bahkan sampai sekarang dalam aspek dan unsur kefilman, film kriminal yang diadaptasi dari novel bestseller karya Mario Puzo yang terbit pada tahun 1969. Mario Puzo sendiri bertindak selaku penulis naskah bersama sutradara Francis Ford Coppola. Bukan hanya dikarenakan akting seorang Marlon Brando yang berperan sebagai Vito Corleone dan Al Pacino yang berperan sebagai Michael Corleone begitu mengagumkan dan mendekati sempurna, akan tetapi juga ide cerita yang coba disampaikan dalam film tersebut, bagaimana sebuah dendam dapat mengubah seorang Michael Corleone yang tadinya seorang yang lembut, disiplin, dan seorang calon perwira, seketika berubah menjadi iblis yang begitu kejam dan tidak segan-segan membantai seseorang akibat ayahnya Vito Corleone ditembak di pasar ketika hendak membeli jeruk.
Cerita seperti ini sudah begitu banyak dan sering berseliweran di dalam karya sastra, bahkan naskah Sunda kuno yang berjudul Para Putra Rama dan Rahwana berkutat dalam ide cerita tersebut. Naskah Para Putra Rama dan Rahwana tercatat dalam Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Jilid 4 Perpustakaan Nasional Republik Indonesia dengan nomor L 1102, tetapi sekarang disimpan di Museum Negeri Jawa Barat (Museum Sribaduga) di Bandung. Aditia Gunawan & Atep Kurnia menduga naskah ini berasal dari Kabuyutan Koleang di Jasinga, Bogor berdasarkan kedekatan nomor dengan naskah lain, yaitu Sanghyang Tatwa Ajnyana dan Pabyantaraan. Belakangan, Mamat Ruhimat menemukan fakta bahwa bagian lain dari naskah ini tercecer atau tertinggal di Kabuyutan Ciburuy berdasarkan kemiripan aksara yang digunakannya. Ia juga menemukan salinan lain dari naskah ini di tempat yang sama. Selain menyadur cerita dari khazanah sastra India, bentuk puisi Sunda pun menggunakan pola delapan suku kata pada setiap lariknya. Adapun bentuk lain dari puisi tersebut adalah sisindiran, sa’ir, pupuh, hingga yang lebih modern disebut sajak.
Para Putra Rama dan Rahwana mengisahkan masa setelah kekalahan Rahwana oleh Rama, Sita dikembalikan oleh Rahwana. Bermula dari Sombali yang mendapat gelagat buruk ketika bertapa di Gunung Kukulan. Atas firasatnya itu, ia kembali ke Lengkapura. Ketika tiba di Palasari, ia menemukan Ratu Manondari dan istri-istri raja lainnya, serta mantri Premana terbujur di kaki jasad Rahwana. Sombali bersedih dan menangis sekeras-kerasnya. Ia memandikan jasad-jasad itu dan menguburnya sebagaimana layaknya. Lalu ia menemukan bayi yang tergeletak di kaki Rahwana. Dia yakin bayi itu adalah putra sang raja, sebab saat Sombali masih tinggal di istana Lengkapura, sang ratu sedang mengandung. Bayi itu lahir dari luka ibunya, sebab mulutnya masih penuh darah. Sombali memandikan sang bayi dan membaringkannya dekat pusara ibunya, tetapi tiba-tiba bayi itu menangis. Sombali memutuskan untuk membawa bayi itu ke pertapaannya dan diberi nama Manabaya. Di pertapaan, Sombali merawat Manabaya dengan penuh kasih sayang.
150. ‘aduh,ila-ila teuing! Seuweu saha orok eta? Ruana cahamot montok. Deuh, mo burung seuweu tohaan, susuhunan/kedatun, 155. Ja bahayu eukeur bobot, basana di lengkapura. Mo buru (ng) biji ti raheut,ja ieu ngaheu (m) heun mokla,t(e)herna misawit peuji a(m)buna. (Para Putra Rama dan Rahwana).
Terjemahan bahasa Indonesia:
150. ‘aduh, betapa herannya! Anak siapa gerangan bayi itu? Tampak sintal dan montok. Oh, sudah pasti anak putri, junjungan kedaton, 155. Yang pada saat itu tengah hamil ketika di Lengkapura. Sudah pasti lahir dari lukanya, sebab mulutnya ini mengulum darah, lagi pula terlihat tali ari-ari ibunya. (Para Putra Rama dan Rahwana).
Kalimat “Mo buru (ng) biji ti raheut, ja ieu ngaheu (m) heun mokla”— “Sudah pasti lahir dari lukanya, sebab mulutnya ini mengulum darah” merupakan sebuah penggambaran estetis tentang sebuah dendam yang akan terus menyala secara abadi, “Bayi itu lahir dari luka ibunya, sebab mulutnya masih penuh darah.” Balas dendam telah menjadi bagian dari perilaku manusia hampir sepanjang kehidupan di Bumi. Sastra telah menggunakannya sepanjang sejarah, dari tragedi Yunani seperti trilogi Oresteia karya Aeschylus—di mana Orestes ingin membunuh ibunya untuk membalas dendam ayahnya—sampai Hamlet karya Shakespeare. Tak diragukan lagi, banyak di antara kita pernah membayangkan pembalasan dendam atau melabrak orang-orang yang telah melukai kita. Ketika balas dendam dilakukan, ada semacam kelegaan, mungkin hal ini pulalah yang membuat Manabayana menjadikan sebuah dendam alat pemicu dirinya agar kuat dan tak terkalahkan hingga pada akhirnya dapat sampai pada kelegaan tersebut dan membalaskan dendam keluarganya;
185. mo burung ieu wisesa, ja ieu bijil ti raheut. Sugan daek(a) mulang tamba, pipanghulu-tandangeun aing. Aing ngangaranan inya … (Para Putra Rama dan Rahwana)
845. supagi baring geus gede,dek maleskeun jurit patih. Rasakeun oge rasakeun ku urang Lengkawati ma,tanganya si Manabaya. 850. Hamo tiis angen aing,moma geus ngarejek inya. Aing teu burung wisesa,ja’aing bijil ti raheut. Sanggereus nyaur sakitu, (Para Putra Rama dan Rahwana)
Terjemahan ke bahasa Indonesia:
185. Sudah pasti kelak akan perkasa, karena dia ini lahir dari luka. Barangkali mau membalas budi, kelak menjadi pembesar kerajaan. Aku namai dia … (Para Putra Rama dan Rahwana).
845. kelak kemudian hari setelah dewasa, akan balas dendam menantang perang. Rasakanlah nanti akibatnya oleh orang-orang Lengkawati, kaki tangan Manabaya. 850. Hatiku tidak akan tenang, jika belum dapat menghancurkan mereka. Aku sudah pasti unggul, sebab aku lahir dari luka. Setelah demikian … (Para Putra Rama dan Rahwana).
Dalam ilmu psikologi, balas dendam merupakan sebuah pemicu emosional yang membangkitkan orang untuk bertindak. “Balas dendam adalah pengalaman yang sangat dapat dirasakan dalam kehidupan manusia, orang-orang dari setiap kalangan masyarakat paham tentang kemarahan yang membuat seseorang ingin menyakiti orang lain yang telah merugikan,” kata psikolog evolusioner, Michael McCullough, dari Universitas Miami, yang lebih dari satu dekade mempelajari tentang balas dendam dan pengampunan. Dalam studi lanjutan, David Chester dari Universitas Virginia Commonwealth pada awalnya mempelajari agresi tetapi dengan cepat menyadari bahwa sering kali ada banyak rangkaian insiden sebelum interaksi kekerasan terjadi, ia terkejut saat menemukan bahwa rasa sakit emosional berpadu dengan kesenangan. Artinya, ketika penolakan pada awalnya terasa menyakitkan, rasa sakit itu dengan cepat dapat ditutupi dengan kesenangan ketika diberi kesempatan untuk membalas dendam. Proses itu mengaktifkan daerah otak yang dikenal dengan nucleus accumbens, Chester menemukan bahwa orang yang diprovokasi berperilaku dengan agresif karena itu dapat bermanfaat secara hedonis. Tampaknya balas dendam bisa menjadi hal yang nikmat.
- Dendam Kesumat Manabaya - 20 July 2022