Di Mana Penulis Buku Komedi Indonesia

Seorang manusia membutuhkan banyak tawa dalam hidupnya. Bukan oleh karena menurut beberapa peneliti random di universitas terkenal dan dikutip dengan dahsyat oleh situs-situs yang traffic pengunjungnya tinggi, tertawa itu sebagai bentuk lain olahraga atau tertawa itu menjadi bentuk komunikasi lain manusia sehingga kita diharuskan banyak tertawa dalam satu hari agar lebih “manusiawi”, melainkan karena sudah berada dalam darurat tertawa.

Pernahkah Anda menghitung jumlah tawa dalam satu hari? Paling mudahnya sih; berapa jumlah kata wkwkwk yang Anda tulis di chat/kolom komentar hari ini? Apakah angka itu melebihi jumlah “tanda seru” yang Anda berikan di setiap kalimat yang Anda tulis?

Jika tertawa memang menyehatkan karena bisa melepaskan stres yang menumpuk, apakah sekarang Indonesia kekurangan bahan untuk tertawa? Terutama di bagian literasinya.

Ke mana buku-buku komedi yang bagus saat ini bisa ditemukan? Apa karena dunia nyata sudah terlalu menyedihkan untuk dijalani sehingga kita tidak perlu buku-buku komedi lagi (sebab ada penelitian mengatakan bahwa cara memicu tawa paling gampang adalah membuat hidup kita atau orang lain menyedihkan)?

Di mana para penulis 101 SMS Humor Terlucu itu kini? Apakah mereka punya kehidupan yang baik-baik saja? Sanggup membayar pajak tahunan yang angkanya semakin aneh tiap tahun? Apakah mereka lupa mereka harusnya menulis buku 101 Chat WA/Line/KakaoTalk Humor Terlucu di saat toko buku hanya diisi sastra serius dan serbuan buku cetak dari platform menulis yang “cuma” mencari jutaan pembaca daring saja dan lelucon bapak-bapak yang kian hari yang di-share di jejaring sosial semakin garing dan receh? Apakah hanya perasaan penulis saja bahwa saat ini toko buku tidak meletakkan rak buku komedi lagi dan digantikan oleh rak buku lainnya?

Pertanyaan-pertanyaan itu semakin bertambah jika Anda melihat geliat komedi Indonesia cenderung berubah beberapa tahun terakhir. Sebelum stand-up comedy menggempur negara ini, buku-buku bertema komedi banyak bertebaran walau tidak sebanyak yang bergenre roman. Penulisnya banyak. Jelas saja tak mungkin tidak disebut adalah buku dari RD yang menginspirasi ribuan anak muda untuk menulis komedi. Padahal jika ditengok dengan teliti, buku pertamanya yang berinisial KJ—yang juga telah difilmkan dengan nama yang sama, sangat tidak mengindahkan kaidah EBI. Ya mungkin karena editor penerbit buku tersebut memang sengaja berbuat demikian apalagi buku tersebut dari postingan blognya sehingga terkesan copy paste saja. Mungkin buku ini juga yang membuat kesan para penulis pemula di luar sana tidak mau mempelajari tata bahasa yang benar karena mereka punya pembelaan bahwa tulisan mereka hanya untuk generasi mereka. Generasi alay.

Namun yang tak boleh dipandang sebelah mata, RD mendorong orang-orang untuk menulis seperti dia. Sehingga dulu banyak tulisan—terutama di blog, yang ke-RD-RD-an. Sehingga ada sebuah stigma, jika blogmu tak seperti tulisan RD, pengunjungnya akan kalah dari situs bokep. Bahkan penulis sempat melihat sebuah buku yang menggunakan tagline: Buku komedi ala RD.

Hingga kini, RD telah menulis banyak buku, dan bukunya yang paling baru, terbit bulan Februari kemarin. Ini yang penulis pikirkan: bahwa penulis termasuk orang yang menghormati RD sebagai penulis dan komedian yang baik, tapi kualitas tulisan RD setiap muncul buku baru, dimulai dari MMJ hingga yang terbaru UUL mengalami penurunan hingga dari yang biasa menjadi payah sekali. Mungkin semua energi RD telah habis untuk menjadi juri di ajang pencarian bakat stand-up comedy, menulis, berperan sekaligus menyutradarai film dengan berbagai genre sampai akhirnya energi yang ia tuangkan ke dalam buku—yang katanya jendela dunia, makin kacau. Separah inikah dunia literasi komedi Indonesia?

Penulis juga sempat merasakan masa ketika buku-buku komedi bermunculan karena akun twitter yang bertema pocong galau menerbitkan buku. Euforia buku komedi serupa kemudian bermunculan namun seperti halnya ombak di tepian pantai, ada yang sampai ke bibir pantai dengan penuh kenangan sempurna, ada yang berbelok menjauh menuju samudra yang hampa. Setipe dengan pocong galau, buku komedi diangkat dari blog juga banyak dicari. Mulai dari penulis blog yang kini tiap malam Minggu meramaikan twitter dengan ajang pencarian jodoh, juga bloger kribo yang kini entah ke mana—karena penulis cuma punya satu bukunya saja, juga bloger-bloger lucu lain yang ikut terkena imbas dan kemungkinan besar kini mereka jadi budak korporat yang menunggu invoice tiap bulannya.

Susah menemukan emas jika banyak orang yang mencari. Mungkin yang ditemukan hanyalah batu kerikil atau sampai kotoran. Itulah sistem pasar—secara sederhana, di mana jika banyak barang yang ditawarkan tapi kualitasnya tidak ada. Termasuk ketika era penulis tidak kesulitan menemukan buku-buku komedi sebelum era stand-up comedy mengambil alih. Di era ini, masyarakat negara yang daya bacanya rendah menjadi semakin rendah sebab komedi yang ditawarkan di stand-up comedy tidak berhubungan dengan dunia literasi meski penggiatnya sendiri diwajibkan menulis. Beberapa penerbit mencetak tulisan-tulisan para komik menjadi buku sehingga kini genre komedi semakin berwarna. Ada penulis buku komedi dari bloger, penulis novel komedi, penulis dari stand-up comedy, hingga penulis komedi religi di mana orang-orang masih bisa menerima, tidak seperti masyarakat hari ini yang mungkin akan segera mempersekusi penulis dan menyuruhnya pindah ke Burkina Faso atau Wakanda. Tetap saja, banyak genre akan membuat pembaca semakin kaya akan bahan bacaan, tapi apakah semua tulisan itu bagus dan membuat tertawa, itu lain soal.

Seperti yang penulis rasakan ketika membaca buku dari komika KP yang berjudul TKMTS—yang juga telah diangkat buku dan kini komikanya sendiri sepertinya lebih sering nampang di beberapa kanal YouTube ketimbang memperbaiki tulisan dan komedinya, karena buku tersebut hanya sebuah kerikil dari ribuan emas yang tertimbun.

Penulis juga masih ingat kalau beberapa buku bergenre komedi yang berasal dari bloger dan stand-up comedy mempunyai istilahnya sendiri yang cukup terkenal yaitu personal literatur—yang disingkat menjadi perlit, karena kebanyakan materi dari buku ini berdasarkan dari kisah nyata. Ya mungkin penerbit ogah menyebut genre tersebut menjadi sebuah memoar komedi—atau disingkat memedi, karena tidak menarik minat baca anak muda yang membelinya.

Perkembangan literasi komedi semakin sedikit. Beberapa buku bergenre komedi yang muncul di toko buku besar, kini mulai dikuasai oleh beberapa artis komik strip yang sudah punya fandom-nya sendiri sehingga susah untuk menarik pembaca awam yang ke toko buku untuk membeli buku komedi karena dia adalah seorang fans komedi. Untuk ranah sastra sendiri, penulis hanya menemukan penyair arusutama JP yang kerap menggunakan unsur komedi di setiap bait-bait puisinya. Puisi komedi atau entahlah mungkin penulis salah—yang biasa disebut puisi mbeling, sekiranya adalah jalan awal agar banyak buku sastra yang komedi. Atau apakah masyarakat masih menganggap kata sastra adalah setinggi-tingginya aliran buku sehingga membaca sastra adalah puncak tertinggi eksistensi seorang pembaca dan peresensi di goodreads?

Jika rendahnya literasi komedi merupakan fase yang biasa ditemukan karena toko buku dan penerbit hanya melayani kesukaan masyarakat—di mana kini masyarakat kebanyakan kurang sekali tertawa dan hanya menyebarkan kebencian serta kepalsuan, tampaknya para penulis komedi kelak akan menjadi politisi remeh yang suara dan pikirannya tak pernah lagi akan didengarkan oleh orang-orang. Bukankah sekarang sudah banyak yang begitu?

Karena kebijakan undang-undang yang mereka buat hanyalah sebuah setup. Lalu di manakah punchline-nya?

Jacob Julian

Comments

  1. Rio Reply

    Mungkin saatnya menulis buku “101 Obrolan di Zoom Terlucu “, “Mati Ketawa Ala Google Meet” atau “Teka-teki Gokil di Chat Telegram”

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!