“Setiap praktik yang mencipta sesuatu yang baru adalah pratik gelak-tawa.”
Julia Kristeva
Mestinya, iklan sebuah minuman sudah lebih dari cukup buat kita untuk merasa malu: “Apa pun makanannya, minumannya intoleran.” Mau kanan atau kiri, liberalis atau tradisionalis, komunis atau agamis, perokok atau bukan, Jonruis atau Iqbalis, PKSPiyungan atau JIL, kenyataannya semua kita berkecenderungan kuat untuk selalu menjedulkan tabiat yang sama: intoleran.
Inilah masa di mana anomali dirayakan dengan gegap gempita oleh semua pihak, dengan mengibarkan bendera religius atau humanis (menyeolahkan keduanya berlawanan), ditopang wacana-wacana yang selalu siap beradu banteng, padahal sejatinya keduanya bersekutu dalam satu hal: intoleransi. Kubu pengusung religius menyeret-nyeret nama agung Tuhan, sembari di detik yang sama membasmi otoritas kemanusiaan (seolah Tuhan anti-humanisme); kubu di sebelahnya yang rasionalis-liberalis menghujat kubu religius, sembari di detik yang sama membabat pesona sakralitas Tuhan (seolah kemanusiaan tak bersumber dari ketuhanan).
Mereka lalu tak pernah bisa duduk semeja untuk ngopi dan tertawa, selayaknya sesama manusia yang niscaya hanya selalu kuasa untuk selalu bergumul dengan relativitas, pluralitas, dan rasionalitas; bukan Kebenaran dan Realitas. Sekali lagi, semestinya mereka sangat bisa untuk bersama dalam common sense intoleransi itu.
Teramat banyak contoh kasus yang bisa dibuhulkan di sini. LGBT, misal. Kaum religius yang kurang ngopi sontak memekik keras bahwa merekalah pengundang laknat Tuhan serupa yang telah menimpa umat Nabi Luth. Di sebelahnya, di waktu yang sama, kubu penjunjung humanisme membalas sergapan itu dengan menyodorkan teori nature, thin ethic, lalu selanjutnya apa lagi bila bukan humanisme universal ala Kantian.
Mereka pun bertikai begitu heroiknya dalam bara adu-hebat dan adu-benar padahal keduanya sama-sama terjebak di gua gelap intoleran di masa yang sama; padahal keduanya sama-sama sedang mewartakan relativitas dan pluralitas wacana, yang dipongahi sebagai Kebenaran dan Realitas.
Lain lagi cerita rokok. Yang satu menyerang kaum perokok sebagai kelompok manusia bebal, tak tahu diri, dan fakir ilmu kesehatan, bahkan dipertajam lagi dengan ayat “larangan merusak tubuh” kendati ayat dimaksud sama-sekali tak memuat diksi “dukhkhan” (rokok) atau “tadhkhin” (merokok); berbanding terbalik dengan penyangkalan keras mereka pada diksi “matsna wa tsulatsa wa ruba’a” (dua, tiga, atau empat) yang notabene ada dalam ayat poligami. Di sisi lain, kaum perokok menyodorkan undang-undang perlindungan hak merokok, kontribusi cukai tembakau, sangkalan riset kesehatan tentang tembakau, hingga khittah publik untuk saling menghormati.
Keduanya pun berlaga tanpa pernah berniat untuk mengibarkan bendera perdamaian lantaran sama-sama bebal intoleran; sama-sama pemarah atas nama Kebenaran dan Realitas.
Nasib demokrasi dan khilafah pun berada di tikungan yang sama kerasnya. Atas nama ayat politik dalam Alqur’an (yang lagi-lagi bersifat dzanniyah dalalah), sejarah kepemimpinan Nabi Muhammad di Madinah (yang secara tekstual sangat moderat sebagaimana tercermin dalam Piagam Madinah, utamanya pasal 20-30), plus kejayaan kekaisaran Islam sejak Umayah, Abbasiyah, dan utamanya Ustmaniyah Turki, lalu Pancasila diobok-obok sebagai musuh Allah dan Rasul-Nya sehingga wajarlah di negeri ini selalu penuh musibah.
Di sisi lain, di detik yang sama, kaum rasionalis cum liberalis menyangkal klaim-klaim tradisional-teokratik itu sebagai pendangkalan moral-ethic ayat-ayat politik Alqur’an, kegagalan membedakan Rasul sebagai Nabi dan pemimpin msyarakat Madinah, plus sejarah pengangkatan Khulafa’ur Rasyidin yang tidak baku, hingga kritik sistem monarki yang penuh borok di tangan penguasa-penguasa dinasti Islam masa lalu.
Keduanya pun terus bergulat ala ring Octagon UFC; ada yang mengklaim lawannya sebagai liberalis-terlaknat-anti-agama dan di sebelahnya ada yang mencutat lawannya sebagai delusif-kolokan-syndrome. Aslinya, keduanya sama-sama sedang menebalkan hati dan pikiran untuk berintoleran; padahal keduanya tahu yang mereka cetuskan dan perjuangkan sama-sama wacana yang relatif dan karenanya wajar pluralis.
Apa yang sebenarnya kita perjuangkan selama ini, utamanya di jagat pseudo-viral ini, senyatanya tak lebih dari sebongkah kebebalan dan kepongahan manusia gara-gara membaptis diri sebagai “wakil Tuhan”, dan bahkan sering lebih sok kuasa dari-Nya.
Dari perspektif wacana keislaman, kita alpa bahwa Alqur’an adalah kitab kemanusiaan. Puncak piramida dari tema-tema ayat Alqur’an mengajarkan tentang kebaikan kemanusiaan, tanpa kecuali, yang tentu saja berasas pada toleransi. Semua laku sejarah kerasulan Muhammad tentu saja berpayung pada puncak piramida ruh Alqur’an itu. Begitupun yang diperagakan para Khulafa’ur Rasyidin hingga para imam mazhab yang keluasan ilmunya dan kecintaannya pada Islam bagai samudera di hadapan kita yang sekadar butiran pasir pantai yang tak sadar dirinya sekadar sebutir pasir pantai.
Dari perspektif ideologi-ideologi humanisme kontemporer, kita pun sama alpanya untuk mengingat selalu bahwa segala capaian nalar filosofis yang berjubah mazhab salaf Rasionalisme, Empirisisme, Rasionalisme-Empiris, hingga mazhab Modernisme, dan Postmodernisme ala Mazhab Frankfurt (di dalamnya bersemayam liberalisme) berorientasi untuk melebihmajukan peradaban dan kemanusiaan. Bila di waktu yang sama capaian aliran nalar-filosofis itu tak menyemburatkan cahaya orientasi itu, lalu untuk apa ia dijunjung?
Cobalah kita tanya kepada Julia Kristeva di sini; mengapa hal-hal baru memiliki kecenderungan pada tabiat untuk ditertawakan? Atau, bolehlah kita tanya pada Muhammad Abduh, guru Muhammad Rasyid Ridha; mengapa ajaran asli senantiasa berbeda dengan ulah pengikutnya?
Ke manakah spirit kita untuk gemar tertawa (ala Kristeva) dan spirit kita untuk tidak mendakukan diri sebagai “asli” (ala Abduh)?
Ini semua ternyata akibat dapur! Iya, dapurku, dapurmu, dan dapurnya!
Kita lalai untuk selalu mengingat bahwa dapurku bukanlah dapurmu; dapurmu bukanlah dapurnya; yang mestinya ia selalu kita simpan di bagian dalam dari setiap rumah. Saat dapur diangkut ke ruang tamu, sejak saat itulah asap-asap pengapnya menyesaki rumah kita, jiwa kita, dan rumah-rumah orang lain, jiwa-jiwa kita dan jiwa-jiwa orang lain. Orang-orang yang pengap tentu saja akan gampang mendelik, memekik, dan intoleran.
Maka nikmat dapur manakah yang masih hendak kau dustakan akibat melalaikan khittah dapurmu? Iya, dapurmu!
Jogja, 31 Agustus 2015
- Memahami Peta Syariat, Ushul Fiqh, dan Fiqh Dengan Sederhana - 28 October 2019
- Kembalikan Segala Perbedaan kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya Saw. - 30 September 2019
- Memahami Kompleksitas Maqashid al-Syariah - 16 September 2019