Dilema Standardisasi Pendidikan

Judul            : Sekolah Publik VS Sekolah Privat dalam Wacana Kekuasaan,

           Demokrasi dan Liberalisasi Pendidikan

Penulis         : Nanang Martono

Penerbit       : Pustaka Obor, Jakarta

Cetakan        : Februari 2017

Tebal             : 244 Halaman

ISBN              : 9786024334437

Upaya pemerintah menghilangkan diskriminasi sekolah swasta yang menjadi domain masyarakat selalu menemui jalan terjal. Alih-alih melakukan pemberdayaan terhadap semua sekolah swasta, justru yang terjadi adalah proses liberalisasi-privatisasi hingga lahir “hantu sandardisasi”. Standardisasi pendidikan melalui program akreditasi lima tahunan dari pemerintah terhadap kondisi sekolah yang sumber daya manusianya sangat beragam dan kondisi geografis kota-desa yang timpang adalah bentuk ketidakadilan.

Buku Sekolah Publik Vs Sekolah Privat dalam Wacana Kekuasaan, Demokrasi, dan Liberalisasi Pendidikan karya Nanang Martono ini mencoba merekam hikayat perjalanan kebijakan standardisasi antara sekolah swasta dan sekolah publik dengan wacana kekuasaan, demokrasi, dan liberalisasi pendidikan. Berdasarkan kajian penelitian dari dua tempat, yakni Purwokerto dan Kupang, ternyata kebijakan standardisasi itu jauh dari nilai keadilan.

Di NTT masih banyak daerah yang belum teraliri listrik. Sekolah yang menjadi tempat anak-anak mengubah nasib tak jauh beda dari kandang; beratapkan daun kering, berdinding bilik, dan beralaskan tanah. Anak-anak yang masuk ke sekolah itu banyak berasal dari siswa miskin. Para guru pun dilema untuk meminta siswanya membeli buku karena mereka kadang terpaksa tidak sarapan sebelum pergi ke sekolah dan sesekali bolos karena tak ada uang angkot (hlm. 108).

Dengan kondisi geografis yang beragam seperti itu pemerintah menggunakan standar tunggal untuk mengakreditasi sekolah dengan tetap mengacu pada delapan standar pendidikan BSNP, seperti standar kompetensi lulusan, standar isi, standar proses pendidikan, standar pendidikan dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan dan standar penilaian pendidikan.

Padahal, tidak semua sekolah setara. Sekolah dengan kualitas guru serba pas-pasan itu masih cukup banyak, terutama di luar Jawa. Data dari Kementrian Pendidikan menunjukkan bahwa masih banyak guru di wilayah Indonesia Timur (Maluku, Papua, Nusa Tenggara, Kalimantan, dan Sulawesi) belum menempuh pendidikan sarjana (hlm. 109). Kalau dibandingkan dengan beberapa sekolah negeri atau swasta favorit, maka tentu nilai akreditasinya akan kalah.

Hanya sekolah negeri dan sekolah swasta favorit yang akan mendapat nilai akreditasi bagus. Hasil akreditasi sekolah juga mempengaruhi nilai jual sekolah. Sekolah negeri atau swasta yang mendapat nilai akreditasi bagus tentu akan banyak rebutan para siswa. Seiring dengan peminat yang banyak, pihak sekolah juga memberikan “tarif” bayaran yang lebih mahal ketimbang sekolah-sekolah pinggiran lain. Tidak semua rakyat miskin mampu menjangkau sekolah negeri dan sekolah swasta yang favorit, selain alasan kuota, juga alasan uang pangkal yang mahal.

Kompetisi yang bermula tidak sehat itu mereduksi aspek magis pendidikan sebagai mobilitas sosial menjadi alat reproduksi sosial. Menurut Bourdieu, lembaga pendidikan memiliki peran penting dalam meningkatkan ketimpangan sosial (Bourdieu & Passeron, 1973). Ketimpangan ini tidak secara langsung menjadi penyebab reproduksi sosial. Hal ini dapat terjadi ketika sekolah yang terakreditasi hanya dapat diakses siswa kelas atas, sementara siswa miskin tidak mendapat keuntungan dari pendidikan yang berkualitas di sekolah yang terakreditasi (hlm. 18-19).

Privatisasi

Menurut hasil penelitian Nanang Martono, sebenarnya sejak reformasi kebijakan akreditasi sekolah sudah mulai berubah. Di banding era Orde Baru, ketika kewajiban akreditasi hanya berlaku pada sekolah swasta, tidak untuk sekolah negeri, mekanismenya juga tersentralisasi dari pusat, saat ini sudah menggunakan mekanisme evaluasi diri, serta perubahan status akreditasi, dulu status akreditasi untuk sekolah swasta “terdaftar”, “diakui”, dan “disamakan”, sekarang akreditasi ini menjadi tiga tingkat, yakni “A”, “B”, dan “C”.

Hierarki antara sekolah swasta dan negeri mulai bergeser seiring masuknya ragam pengaruh dalam dunia pendidikan, termasuk pengaruh aktor-aktor organisasi internasional, seperti IMF dan Bank Dunia (World Bank), serta beberapa efek kerja sama multilateral pada liberalisasi perdagangan dalam sektor pelayanan publik, termasuk sektor pendidikan. Pendidikan akan dikelola layaknya industri. Reformasi pendidikan pada akhirnya tergantung pada kekuatan modal di dalamnya. Tentu sekolah dengan modal yang tipis akan tersingkir dalam persaingan.

Maka tak heran dalam hasil penelitian Nanang Martono ini menegaskan bahwa jumlah sekolah swasta yang favorit dan tentu juga mahal di Indonesia telah meningkat. Ini adalah bentuk dari privatisasi pendidikan yang kemudian bisa berdampak pada liberalisasi pendidikan (hlm. 217). Kebijakan privatisasi pendidikan ini sangat identik dengan kebijakan desentralisasi pendidikan, tujuannya adalah mengubah peran pendidikan dari yang sebelumnya menjadi sektor publik menjadi domain swasta.

Sebagai kajian kritis, Nanang Martono juga mencoba membangun discourses ihwal pendidikan berkualitas menurut perspektif banyak aktor, meliputi pemerintah, sekolah, serta siswa dan orang tuanya. Uniknya, ragam aktor tersebut mempunyai perspektif berbeda tentang sekolah berkualitas. Itulah mengapa buku ini sangat penting bagi semua elemen: bagi pemerintah bisa mengambil manfaat tentang harapan pendidikan berkualitas menurut sekolah dan orang tua, bagi kepala sekolah buku ini bisa memberi masukan berharga tentang pendidikan berkualitas harapan masyarakat dan bagi pengamat dan pemerhati pendidikan buku ini mampu menambah wacana seputar pendidikan yang selalu berkelindan dengan politik dan kepentingan ekonomi.           

 

Najamuddin Muhammad
Latest posts by Najamuddin Muhammad (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!