Di masa kanak, kita sering menikmati dongeng dari orang tua kita sebagai pengalaman yang menakjubkan. Di sana batas antara fakta dan fiksi dilebur dalam kisah; tentang para pahlawan tak terkalahkan, binatang-binatang super cerdik, para putri berhati lembut yang bernasib malang, serta para makhluk supranatural dengan kekuatan dahsyat. Di sana pula gambaran tentang dunia ditampilkan dan diurai hingga terpatri dalam ingatan.
Demikianlah, dari masa Homer hingga saat ini, dongeng memiliki peran Promothean sebagai medium pencerahan. Dan bersama dengan itu, dongeng juga menjadi medium untuk membentuk nilai, sentimen, orientasi, dan cita rasa. Singkatnya, dongeng merupakan instrumen simbolik untuk melakukan rekayasa mental dan sosio-kultural.
Dalam masyrakat tradisional, dongeng bekerja berdasarkan master cerita berupa para tokoh dengan status dan peran yang telah ditentukan serta alur cerita dan tata cara pertunjukan yang telah ditetapkan. Meminjam istilah pewayangan, master cerita tersebut lazim disebut sebagai pakem. Pada master cerita itu, terproyeksi tatanan dunia ideal sebagai acuan hidup bagi masyarakat hingga akhirnya membentuk pola perilaku dan tindakan.
Dalam realitas masa kini, teknologi digital (terutama media sosial) telah menempatkan setiap orang menjadi pendogeng. Mereka bisa bercerita tentang segala hal, mulai aktivitas sehari-hari, kehidupan pribadi maupun umum, hingga isu-isu lokal, nasional maupun global. Berbeda dengan dongeng tradisional yang menampilkan dunia ideal (makrokosmos) sebagai acuan diri (mikrokosmos), dongeng manusia kontemporer justru menghadirkan diri sendiri (mikrokosmos) agar menjadi acuan dunia (maksrokosmos). Realitas inilah yang oleh Michael Foucault disebut sebagai fenomena “the culture of self ”.
Dalam masyarakat kita di masa sekarang, dua jenis dongeng tersebut hidup secara paralel dalam realitas. Kita masih mendengar kisah-kisah ajaib dan heroik dari dongeng-dongeng masa silam melalui cerita pewayangan, para legenda, puteri bejak bestari, dan binatang yang cerdik. Pada saat yang sama, kita juga mendengar sekaligus menjadi pelaku dari dongeng kontemporer di dunia maya. Melalui dongeng tradisional kita menemukan pusat acuan, pada dongeng yang kedua kita memosisikan diri sebagai acuan.
Perupa Samuel Indratma, yang akrab dijuluki “presiden mural Indonesia”, bermaksud mengeksplorasi dongeng dalam karya-karya grafis eksperimental yang bertajuk Nyoh di IndieArt House, Jogja. Secara harfiah, Nyoh dapat berarti “silakan”, “persembahan”, atau “pemberian”. Singkatnya, lewat pameran kali ini Samuel ingin menawarkan sebuah hadiah kepada masyarakat, khususnya para pencinta seni rupa dan literasi.
Sebagaimana dongeng tradisional, karya-karya Samuel merupakan narasi yang memiliki beberapa tokoh utama sebagai master cerita. Para tokoh tersebut muncul dari kanvas yang satu ke kanvas yang lain; kadang hilang di beberapa lukisan namun tiba-tiba muncul pada lukisan yang lain dengan status, peran, dan suasana yang berbeda. Cara kerjanya seperti bidang fraktal dalam fisika, bentuk bidang yang berlipat ganda dalam bentuk yang sama namun dengan ukuran yang berbeda.
Dongeng-dongeng tradisonal, dalam beberapa hal, berkerja dengan teknik fraktal di atas—tokoh-tokoh utama yang muncul dan menghilang dari lakon ke lakon. Hal yang membedakan adalah dalam karya-karya Samuel tidak terdapat master narasi atau pakem lakon yang ditetapkan sebagaimana dalam pewayangan dan dongeng tradisional lainnya. Samuel hanya memberi sejumlah tokoh cerita; adapun karakter dan pikiran tokoh serta jalan ceritanya dapat dibuat secara bebas oleh si seniman dan audiens yang menyaksikan.
Eksperimen Samuel tersebut merefleksikan masyarakat saat ini yang hidup dalam realitas paralel antara kosmologi tradisional yang teratur dan agung dengan kosmologi kontemporer yang profan dan partikular. Keduanya saling meniru dan menjelaskan di satu sisi, namun juga saling membantah dan menyimpangkan. Singkatnya, relasi keduanya mirip sebuah buku yang terus ditafsir lewat buku-buku lain hingga buku awal mula tak tampak lagi bentuk dan isinya dan kita hanya dapat menduga-duga lewat bayangan tokoh-tokohnya pada buku-buku yang kita baca.
Pada kanvas-kanvasnya, Samuel menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan dengan cara ditumpuk dan dijajar seperti tampilan tokoh-tokoh wayang pada layar kelir, namun komposisi dan konfigurasinya dibuat sedemikian rupa sehingga mampu menghadirkan tema dan nuansa tertentu. Misalnya adegan rumah tangga dengan anggota yang tidak lengkap, seorang kakek di tengah kerabat atau sejawatnya, juga figur hewan-hewan ajaib yang dilingkupi ornamen sebagai latar pembangun nuansa dan cerita.
Lukisan-lukisan tersebut dibuat oleh Samuel dengan teknik stensil, yaitu memproduksi dokumen dalam jumlah banyak berdasarkan tiruan master atau stencil sheet yang biasa terbuat dari plastik mika, kertas, atau kulit hewan. Jika hendak mencetak dalam dua warna atau lebih maka dibutuhkan kerja cetak sebanyak warna yang dinginkan. Uniknya, metode grafis stensilan ini tak jauh beda dengan metode kerja dongeng dalam melipatgandakan tokoh dan cerita. Dengan begitu, produksi narasi secara “fraktal” oleh Samuel merupakan keniscayaan dari pilihan teknis (produksi dokumen dalam stensil) sekaligus konseptual (produksi tokoh cerita dalam dongeng).
Karya-karya tersebut tampil dalam berbagai format dan ukuran. Pada dinding utama terdapat puluhan kanvas berukuran kecil, di mana tokoh-tokoh dongeng hadir dalam cerita dan nuansa yang berbeda-beda. Di depan lukisan tersebut, terdapat karya rupa yang ditampilkan dalam bentuk buku yang ditaruh pada meja partitur musik. Pada kanan kirinya diapit beberapa lukisan vertital. Presentasi karya tersebut membuat ruang pamer seperti sebuah konser naratif. Bedanya, konser kali ini bukan konser musik atau drama tetapi konser cerita yang berputar dalam berbagai pola dan suasana.
Pada setiap karyanya, Samuel sengaja tidak menyematkan judul agar lukisan-lukisanya dapat menjadi ruang terbuka bagi para audiens untuk membangun cerita sesuai referensi pengalaman sendiri-sendiri. Dengan cara itu, setiap kali menyaksikan lukisannya kita akan ikut memproduksi produksi narasi secara terus-menerus. Hasilnya adalah sebuah cerita universal yang tak berakhir. Rupanya cara kita hidup juga tidak jauh dari itu—sebuah mesin stensil yang menyetak peristiwa-peristiwa yang mirip dari waktu ke waktu, kendati dalam ruang dan tokoh-tokoh yang berbeda.
Dengan kerja yang amat efisien tersebut Samuel cukup berhasil menampilkan karya-karya yang unik dan menarik sebagai hadiah untuk masyarakat kontemporer yang haus akan cerita. Dalam Nyoh, dahaga cerita itu dapat terpenuhi lewat putara cerita tiada ujung, di mana sang perupa memberi kebebasan luas kepada audiens untuk membuat cerita sesuai selera, wawasan, dan kepentingan masing-masing.
Kita akan menyaksikan para tokoh diputar sedemikian rupa dalam berbagai cerita, seperti tanpa maksud, aturan, dan tujuan—sebagaimana realitas masa kini yang bergerak tanpa narasi besar yang memandu jalannya sejarah. Dalam realitas semacam itu, hal yang juga penting dilakukan bersama dongeng fraktal yang masif adalah adanya orientasi yang ditawarkan kepada audiens. Tujuannya agar teknik fraktal dongeng tidak hanya bersifat reproduktif tetapi juga produktif, dan sejarah akan terasa lebih segar berkat seni yang membawa semangat dan visi (bukan hanya cara-cara) yang baru.
- Mongso Rumongso: Refleksi Diri di Zaman Kontestasi - 13 December 2018
- Dongeng Samuel: Merajut Kosmologi Lewat Grafis Fraktal - 27 September 2018