Dongeng Tanah Jawa

mandasia

Judul: Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi

Penulis: Yusi Avianto Pareanom

Penerbit: Banana

Cetakan: I, Maret 2016

Tebal : 450 halaman

Lupakan Babad Tanah Jawa anggitan para pujangga keraton kerajaan-kerajaan yang pernah ada di tanah Jawa. Sebab kita sedang menghadapi sebuah babad yang lain tentang raja-raja dan pangeran di tanah yang sama. Inilah dongeng Mandasia Si Pencuri Daging Sapi, ditulis oleh Yusi Avianto Pareanom, seorang pujangga kekinian, mantan pewarta dari sebuah majalah berita yang terbit saban minggu, Tempo.

Dongeng Mandasia Si Pencuri Daging Sapi memang menceritakan tentang para raja dan pangeran di tanah Jawa. Tetapi soal keseruan dongeng ini tampaknya mengungguli karya sejarah para pujangga keraton Jawa yang agung itu. Bukan hanya deskripsi adegan seks dan pernik-pernik kulinernya yang membikin pembaca ngiler saja bawaannya, pengen makan (baik makan daging mentah maupun yang sudah diolah), tetapi juga alur, konflik, dan tentu saja unsur dramatiknya yang menakjubkan. Kita seperti menonton film kolosal yang digarap dengan ketelitian cerita maksimal.

Menakjubkan sebenarnya kurang menggambarkan perasaan kita sebagai pembaca. Bagaimanakah Anda menjelaskan perasaan ketika menaiki roll coaster? Begitulah kira-kira. Sebagaimana dongeng, Yusi menganggit kisah ini bersih dari hasrat memberi wejangan apalagi pretensi untuk mengoreksi sejarah raja-raja kerajaan di Jawa. Yusi sungguh-sungguh mendongeng, memberi kesenangan kepada pembaca yang sangat dihormatinya.

Bentuk penghormatan itu adalah ia menjalin kisahnya dengan penggunaan bahasa yang sedap, metafor-metafor yang segar, dan tentu saja penggambaran karakter-karakternya yang sangat hidup, berdarah daging, yang membuat pembaca percaya mereka sungguh-sungguh manusia. Bukan jin, setan, atau malaikat. Sehingga kita seakan bisa menyentuh dan menempelengnya sekaligus. Mereka tidak sepenuhnya jahat, tidak pula seluruhnya baik. Seperti kita-kita ini. Memiliki kewarasan dan kegilaannya sendiri.

Dongeng berpusat pada Sungu Lembu. Tokoh ini yang mewakili pengarang menarasikan kisah. Ia seorang pangeran dari kerajaan gurem Banjaran Waru yang merawat dendam membara untuk menebas kepala Watugunung, sanga raja Kerajaan Gilingwesi yang memiliki 13 pasang putra kembar. Namun, ketika punya kesempatan membalaskan dendam kepada Raja Watugunung, hati Sungu Lembu malah luruh. Pangeran kerajaan taklukan itu kehilangan alasan melampiaskan dendam yang dipeliharanya bertahun-tahun melewati berlembar-lembar peristiwa.

Kesempatan itu datang manakala Raja Watugunung bersama seluruh anak-anak dan prajuritnya mengalami kekalahan dalam peperangan menaklukkan kerajaan Gerbang Agung di negeri Atas Angin. Prajurit Gilingwesi tinggal sisa-sisa dan Raja Watugunung menderita banyak luka. Alih-alih memenggal kepala Watugunung, Sungu Lembu mengerjakan permintaan musuh besarnya itu menuliskan kisah perang penaklukan yang berakhir gagal itu untuk kelak disampaikan kepada permaisurinya, Dewi Sinta.

Raja Gilingwesi ternyata tidak sekejam dan haus kekuasaan seperti yang dibayangkan Sungu Lembu. Penyerbuannya jauh-jauh ke negeri Atas Angin lebih karena dorongan sang permaisuri Dewi Sinta, sekaligus ingin menyatukan putra-putranya yang berseteru berebut posisi pangeran mahkota untuk menggantikan ayah mereka. Raden Mandasia yang memiliki kegemaran ganjil mencuri daging sapi yang semula ingin dijadikan alat Sungu Lembu untuk bertemu Gilingwesi, justru memberinya banyak pelajaran tentang kekuasaan yang membuat orang dungu dan rakus. Dialah pangeran yang memiliki pandangan berbeda dengan saudara-saudaranya. Ia berupaya mencegah peperangan yang hanya akan memakan banyak korban yang tak perlu. Orang sekarang akan menyebut Raden Mandasia sebagai pangeran yang humanis, tanpa kehilangan kegemaran hedonisnya.

Politik kekuasaan

Konflik dongeng Mandasia Si Pencuri Daging Sapi dipicu oleh politik kekuasaan yang penuh intrik di dalam istana seperti yang lazim terjadi hingga zaman modern. Kerajaan Gilingwesi menyerbu kerajaan-kerajaan sekitarnya untuk perluasan kekuasaan dan penaklukan. Banjaran Waru sebelum diserbu lebih dulu menyatakan takluk. Raja Banjaran Waru Merak Abang memerintahkan seluruh rakyat dan kerabat istana mematuhi kebijakannya tunduk kepada Gilingwesi.

Tidak semua kerabat istana patuh. Salah satunya adalah Banyak Wetan, seorang perwira tinggi di Banjaran Waru yang tak lain paman Sungu Lembu. Mereka membuat gerakan bawah tanah untuk merebut kembali kedaulatan Banjaran Waru. Di dalamnya tergabung Nyai Manggis, pemilik losmen dan rumah pelacuran di Kotaraja Gilingwesi, yang banyak membiayai gerakan bawah tanah. Pola konflik serupa lazim terjadi dalam kisah-kisah kerajaan. Sandiwara Radio “Saur Sepuh” salah satu episodenya mengisahkan konflik serupa.

Yusi fasih sekali menyebutkan nama-nama masakan serta rempah dan cara mengolahnya. Tidak hanya masakan lokal tapi sepanjang petualangan Sungu Lembu dan Raden Mandasia ke negeri atas angin. Aneka jenis permainan yang dilakukan prajurit mengisi waktu di sela-sela persiapan berperang, seperti buzkazhi atau kupkari, sebuah permainan menyeret bangkai kambing. Bahkan ada pula permainan yang melibatkan praktik homoseksualitas, cerr-ke-cehh. Sekawanan prajurit berdiri membentuk lingkaran, setiap orang memegangi kelamin kawan di belakangnya masing-masing sebelum mereka saling menyemburit satu sama lain. (hal 382)

Yang agak aneh bagi saya adalah cara berpikir Sungu Lembu maupun Mandasia sangat modern. Mereka sangat rasional dalam bertindak. Mereka tidak begitu memercayai hal-hal klenik, mistik, dan sejenisnya. Tetapi ini bisa diabaikan karena sama sekali tak mengurangi kenikmatan membaca, termasuk makian “anjing” yang kelewat sering menyembur dari mulut Sungu Lembu. Setelah membaca buku ini Anda yang belum membaca Babad Tanah Jawa mungkin akan penasaran memburu kitab itu, atau melupakannya sama sekali.

Aris Kurniawan
Latest posts by Aris Kurniawan (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!