DreadOut (2019); Muatan Lokal yang Tercebur Lubang

Alih wahana dari game ke film bukan jadi barang baru yang ditawarkan oleh para produser kepada khalayak pencinta film. Dengan target penonton tak lain para gamer, produser berharap meraup pundi-pundi dari mereka plus tambahan sedikit penonton baru yang tertarik karena faktor lain semisal aktor atau sutradara. Para gamer yang tahu ketika game-nya dibuat menjadi film, berharap lebih banyak dari apa yang para produser tawarkan. Harapan mereka senada: merasakan sensasi yang sama saat menonton film seperti halnya saat memainkan game. Sayangnya, sensasi seperti itu belum bisa diwujudkan sehingga film tersebut tidak bertahan lama atau mendapat rating baik.

DreadOut termasuk hal yang nekat dilakukan oleh produser dengan menggandeng sutradara/produser Kimo Stamboel—sutradara Rumah Dara, The Night Comes for Us (TNCFU), dan Killers—untuk menjadikan game indie lokal yang mendapat respons positif dari para gamer tanah air maupun luar negeri ini, diangkat ke layar lebar.

Kenekatan yang perlu diapresiasi namun hasilnya tidak mendapat sensasi.

Bisa dibilang, kesuksesan game DreadOut didongkrak oleh salah satu artis Youtube, Pewdiepie, yang memainkannya juga pengerjaan dengan sistem crowdfunding atau urunan—sesuatu yang jarang dilakukan mengingat industri game negara kita tidak sebesar negara lain. Game ini tidak menjual sesuatu yang baru. Bisa dikatakan mirip Fatal Frame, bahkan bisa dibilang versi copy paste. Yang membuat DreadOut berbeda hanyalah konten “lokal”-nya.

Penulis saat duduk di dalam studio bioskop yang baru dibangun di kotanya, belum pernah menyentuh game DreadOut meski ia dengan bangga menyebut dirinya seorang gamer. Namun, apa yang membuat penulis rela menonton film ini saat premiere selain mencoba bioskop baru?

Kalau jawabannya Hannah Al Rashid sih hampir benar, tapi faktor sutradara membuat penulis harus nyaman melihat penampilan Hannah yang sekelibat saja dan bertahan dengan alur cerita penuh lubang. Harus dituliskan bahwa Kimo gagal membawa suasana horor yang penuh darah.

Mungkin ia tahu kalau DreadOut versi game tidak mengeluarkan darah seperti yang ia tampilkan di sebagian besar karyanya, semisal TNCFU yang ditulis di sebuah artikel telah menghabiskan sepuluh ribu galon darah palsu. Bahkan jika dibandingkan dengan Sebelum Iblis Menjemput, DreadOut bisa dibilang proyek iseng nekat. Development-nya kacau dan cacat. Setting yang sederhana; dunia nyata dan dimensi lain bisa dibilang sekadar tempelan. Yang lebih parah? Pakaian seragam yang dikenakan Linda si tokoh utama, tidak menggunakan emblem OSIS sementara seragam Jessica, temannya, ada. Yang jauh lebih parah? Karakter, latar belakang, jalan cerita, serta fungsi Hannah Al Rashid.

Dari awal langsung diberi adegan pemanggilan arwah melalui bacaan yang penulis dengar menggunakan bahasa Sunda. Lantas ada informasi di dalam cerita, yang ia baca adalah tulisan Sanskrit. Entah misinformasi atau penulis yang salah lihat dan dengar, hal tersebut tetap saja tidak menguak misteri siapa yang mati di awal, kenapa setan berkebaya merah yang tampil di poster tidak terlalu mengerikan, buat apa nama Hannah Al Rashid ditampilkan di poster, ponsel yang digunakan Linda mereknya apa sebab tahan banting, bisa membunuh setan-setan dan baterainya tahan lama meski tenggelam berkali-kali dan yang utama: memangnya zaman sekarang cewek-cewek SMA masih gemar memakai kaus kaki selutut?

Bukannya era Dian Sastro di AADC sudah lewat?

Lubang-lubang di dalam alur cerita tidak ditambal dan dibiarkan menganga dan hitam layaknya gambaran film ini tentang portal ke dimensi lain sehingga yang dihadirkan hanyalah sekumpulan anak muda khas film horor; sok berani, pemimpin, penakut, bitchy, pintar, kalem, cantik, tidak punya latar belakang kuat, serta pemain yang tidak pernah penulis ketahui pernah bermain apa—kecuali karakter cowok blasteran sok berani yang pernah penulis lihat menjadi presenter tayangan sepak bola di salah satu televisi swasta—yang terjebak di tempat horor atas kemauan mereka sendiri lalu dikejar-kejar iblis menakutkan dan berhasil bertahan dengan twist seadanya. Seakan-akan gambaran karakter Linda dan teman-temannya yang berulang kali tercebur lubang portal sama seperti logika yang ditawarkan film ini.

Penulis ingin membandingkan dengan Sebelum Iblis Menjemput namun tentu saja, DreadOut hanyalah kemasan lain sebuah waralaba yang ingin dijual dengan kemasan beda. Di luarnya saja, produk ini dikemas baik namun dalamnya hanyalah sebuah cerita dengan kearifan lokal yang dipaksa dan hambar.

Mungkin keluhan ini akan terwakilkan oleh reaksi gamer di trailer awal yang mengatakan kalau karakter Linda tidak seperti di dalam game terlebih dalam porsi bentuk tubuhnya. Penulis tidak menyalahkan hal ini dan tidak mau meluruskan sebab pertikaian dan komentar semacam ini sudah ada sejak era Tomb Raider versi Angelina Jolie muncul.

Produser dan sutradara punya visi sendiri seperti apa Linda yang ia harapkan, namun yang ditampilkan adalah seorang cewek SMA yang harus kerja setelah pulang sekolah, dimarahi guru karena nilainya jelek bukan karena tidak memakai emblem OSIS di seragamnya, diajak ke tempat horor karena dipaksa oleh teman-temannya yang mencari viral—sungguh klise, lantas ia ternyata berada di tempat masa lalunya yang kelam, di sana ia punya kekuatan force ala Jedi dan kekuatan tersebut disalurkan oleh gawai pintar yang terus-terusan ia pegang dan nyalakan tanpa tujuan di dimensi lain yang efek flash-nya bisa mengusir setan daripada bacaan Ayat Kursi meski ia harus dicekik dan teriak lebih dulu baru sadar kalau gawai pintarnya punya kekuatan hebat, dilanjutkan dia harus mendapatkan kenyataan bahwa temannya ada yang berkhianat dan berharap di akhir tidak akan lagi lanjutan dari film ini.

Mungkin apa yang Anda baca barusan adalah ringkasan singkat film ini tanpa mengurangi spoiler dari kenikmatan yang ditampilkan sutradara saat mengambil gambar setiap adegan. Kesampingkan efek horor baik suara dan jump scare-nya. Karena penulis yakin yang dijual di sini bukan waralaba DreadOut sebagai sebuah nama produk melainkan bahwa kesanggupan konten lokal untuk bertahan, melejit, sekaligus bersaing di global agar para kreator negara ini terus berkarya dan tidak bergantung pada negara apalagi menjual nama Hannah Al Rashid di poster filmnya.

Jacob Julian

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!