Dua Cerita Pendek Mahbub Djunaidi

simpulsemarang.org

Mahbub adalah seorang maestro esai yang kelincahannya memainkan kata-kata susah ditandingi hingga kini. Dalam sejarah kepenulisan berbahasa Indonesia, ia pantas dikenang.

Membaca lagi esai-esai lamanya seperti mengenangkan suatu zaman di mana ide harus ditulis dengan cerdas, kritik penting dibungkus dengan kocak, dan sinisme perlu dibalut dengan kepiawaian menertawakan diri sendiri. Dalam segala hal ini, Mahbub adalah jagoannya.

Tak aneh, kalau suatu kali, Goenawan Mohammad (GM), mengaku cemburu dengan gaya menulis Mahbub, yang bisa membuat orang tersenyum dan tertawa, meski yang dibicarakannya soal teramat serius. Mahbub, kata GM, mampu menggunakan bahasa Indonesia dengan kecakapan seorang mime yang setingkat Marcel Marceau. Ia menggerakkan kata-kata dan kalimat dalam berbagai perumpamaan yang tidak pernah membosankan karena selalu tak terduga. GM mengemukakan hal itu ketika memberi pengantar kumpulan esai Mahbub Djunaidi bertajuk Kolom Demi Kolom (1986), yang sebelumnya pernah disiarkan Tempo.

Esai-esainya adalah kritik sosial yang tajam, namun tidak membuat orang yang dikritik menjadi marah. Gaya esainya yang renyah ini membuatnya sering dijuluki sebagai Art Buchwald-nya Indonesia. Esai-esainya yang tetap menarik dibaca hingga kini itu telah dikumpulkan di antaranya—selain Dari Kolom ke Kolom (1986)—Humor Jurnalistik (1986) dan Asal-Usul (1996).

Dalam suatu riwayat diceritakan bahwa awal karier Mahbub pada 1950an sebenarnya adalah sastrawan. Karyanya berupa cerpen, sajak, dan esai dimuat di majalah Siasat, Mimbar Indonesia, Kisah, Roman, dan Star Weekly.  Minatnya pada dunia tulis menulis dan kesusasteraan didapat sewaktu ia bersekolah di Madrasah Manba’ul Ulum di Solo, ketika salah seorang gurunya, Kiai Amir, sering memperkenalkannya pada karya-karya sastra dunia seperti Mark Twain, Karl May, Sutan Takdir Alisjahbana, dan lain-lain.

Bagaimana cerpen, sajak, dan esai yang ditulisnya di awal karier kepenulisannya tersebut, tentu sangat jarang orang yang tahu. Karena sudah lama sekali, tidak mudah untuk memperolehnya. Kecuali mereka yang hidup pada zaman itu, mungkin tidak ada yang tahu dan peduli bahwa Mahbub pernah menulis karya sastra. Dan ketidaktahuan ini menjadi penghalang untuk memahami sosoknya sebagai penulis.

Tanpa sengaja, ketika riset tentang kehidupan kebudayaan tahun 1950an, saya menemukan dua cerpennya: “Tanah Mati” dan “Sebuah Hati di Tanah Air”. Keduanya dimuat di majalah Kisah, masing-masing pada edisi No. 3 Thn IV Maret 1956 dan No. 6 Thn IV Juni 1956. Mungkin masih ada cerpen-cerpennya yang lain, baik yang dimuat di Kisah maupun di majalah lain. Entahlah! Tapi berdasar dua cerpen ini, saya ingin melihat awal proses kreatif Mahbub.

Pemuatan cerpennya di Kisah yang diasuh oleh H. B. Jassin, sebagai salah satu, jika bukan satu-satunya, majalah sastra berwibawa saat itu, telah menunjukkan kelas Mahbub sebagai (calon) penulis. Mahbub lahir di Jakarta, 27 Juli 1933, dengan demikian dua cerpen ini ditulis pada usia 20an, tidak lagi muda sebenarnya, tapi juga tidak terlalu tua, untuk menjadi seorang penulis.

Cerpen “Tanah Mati” berkisah tentang seorang istri (Nitra) yang telah divonis dokter mandul, tidak bisa hamil dan melahirkan anak. Malamnya, menjelang tidur, si istri mengalami kegundahan dan kegelisahan luar biasa. Menangis tak henti. Ia tidak bisa memejamkan mata, dan sekali dan sebentar bisa tertidur, ia segera mengigau dan kemudian terbangun lagi karena mimpi-mimpi buruk. Suaminya (Amri) yang sudah capek, mengantuk, tidak bisa menangkap apa yang dipikirkan istrinya, dan akhirnya terganggu dengan tingkah istrinya. Atas desakan suami, si istri kemudian terbuka mengenai apa yang mengganggu pikirannya setelah siang tadi ia mendengar diagnosis dokter bahwa ia mandul. Cerpen berakhir mengharukan ketika si suami berhasil meyakinkannya untuk tetap bersabar dan tidak putus harapan.

Cerpen “Sebuah Hati di Tanah Air” berkisah tentang kekecewaan bekas pejuang kemerdekaan (Hardjo) satu setengah dekade setelah kemerdekaan diproklamasikan. Hardjo dan istrinya (Surti) yang pernah menangis terharu di depan kelurahan ketika pertama kali merayakan proklamasi kemerdekaan, akhirnya sadar bahwa kemerdekaan yang turut ia perjuangkan tidak sejajar dengan perbaikan, apalagi peningkatan, ekonomi mereka. Mereka tetap hidup miskin dan menderita. Kini mereka mencoba harapan baru dengan pergi menyeberang pulau. Yang mereka punyai hanyalah cinta kasih yang tulus antarkeduanya dan harapan di tanah yang baru.

Cerita tentang istri yang mandul, dan ketakutan yang mengiringinya bukanlah topik yang istimewa. Bisa dikatakan bahwa ini bahkan topik yang klise, yang terus diulang-ulang dalam berbagai ekspresi hingga kini. Sedangkan cerita mengenai atau berlatar belakang perjuangan kemerdekaan, satu hingga dua tiga dekade setelah revolusi kemerdekaan terus menjadi kecenderungan sastra seperti terlihat dalam beberapa karya-karya penuh heroik dalam kumpulan dan novel seperti Laki-Laki dan Mesiu (Trisnojuwono, 1957), Pagar Kawat Berduri (Trisnuyowono, 1961), Pulang (Toha Mohtar, 1959) (Hujan Kepagian (Nugroho Notosusanto, 1955), Di Bawah Kaki Pak Dirman (Nasjah Djamin, 1967), Kejantanan di Sumbing (Subagio Sastrowardoyo, 1982), Keluarga Gerilya dan Sekali Peristiwa di Banten Selatan (Pramoedya) untuk menyebut beberapa cerpenis pada zamannya. Bedanya, jika para penulis itu adalah para milisi yang terlibat langsung dalam pertempuran, sedang Mahbub tidak. Cerpennya bahkan semacam pertanyaan dan gugatan terhadap makna hakiki kemerdekaan tersebut.

Lalu, di mana istimewanya dua cerita Mahbub ini?

Saya bisa menyelesaikan membaca kedua cerpen ini dengan ringan, nyaman, dan nikmat. Kenyataan bahwa lebih dari setengah abad yang lalu ditulis tapi masih tetap menarik dan indah untuk dibaca hingga sekarang ini menunjukkan bahwa kedua cerpen ini memiliki kualitas tersendiri. Tema bisa saja klise dan membusuk, tapi strategi literer yang diambil membuat sebuah tulisan akan bertahan lama.

Dua cerpen itu, bukan kebetulan, mengambil dua tokoh yang sama: sepasang suami istri. Pada cerpen pertama, peristiwa berlangsung di dalam kamar di sebuah rumah menjelang tidur malam. Pada cerpen kedua, kejadian berlangsung di atas geladak kapal yang sedang berlayar.

Mahbub membangun ceritanya dari dialog-dialog antara suami-istri, dialog yang sangat lancar, kuat dan hidup. Ketegangan-ketegangan berlangsung dalam sekian menit pembicaraan. Dari dialog itu terhampar permasalahan psikologis yang dialami kedua pasang suami-istri. Tetapi permasalahan itu bersifat universal, bisa dialami siapa saja. Cerpen ditutup dengan berakhirnya pembicaraan, tetapi sekaligus dengan itu juga dibentangkannya harapan baru.

Dialog-dialog itu berlangsung sendu dan romantik, yang dihiasai dengan lukisan suasana, yang berperan seperti ilustrasi musik dalam pertunjukan teater. Kadang diulang dan ditekankan, namun sama sekali tidak membuat jemu:

“Malam gelap betul” (kata Nitra)

“Gelap betul” (diulang Amri)

“Aku merindukan fadjar mas” (sambung Nitra) (TM)

Dialog ini begitu sangat sendu dan sederhana. Realistis sekali. Dan gaya seperti ini menjadi kekuatan Mahbub dalam kedua cerpen ini.

Tentu tidak bisa bersandar semata pada dialog-dialog itu saja. Di sela-selanya, Mahbub, menyisipkan lukisan suasana yang sangat hidup, yang menambah ketegangan-ketegangan yang dibangun oleh dialog-dialog itu. Dalam “Sebuah Hati di Tanah Air”, suasana malam, di sebuah geladak kapal yang sedang berlayar, dipaparkan begitu mencekam, dengan debur ombak, gelap, sepi, dan keterasingan yang mendalam. Suasana malam yang berbeda, tapi dengan kesepian yang sama menyayatnya, dilukiskan dengan menyala dalam “Tanah Mati.”

Akhirnya harus pula dilihat kekuatan metafora Mahbub, yang pada zamannya, tentu sangat orisinil dan baru. Metafora tumbuh tidak dalam kata, tetapi dalam kalimat. Perhatikan misalnya: “… dan terasa langit2 itu ikut2an pula menindih dadanja…” (TM); “…serasa djalan jang sepi mengerikan memanjang njata dipunggung suaminja” (TM). Dan metafora seperti ini, “Kau pasti berniat meninggalkanku! Jo, kau! Surti memekik, sehingga lehernja tampak lebih tegang semisal batang bambu.” (SHdTA) Metafora terakhir ini pasti akan mengingatkan kita pada kolom-kolomnya, dan dalam hal ini jelas, bahwa cerpennya ini permulaan dari perumpamaan unik dan lucu, serta tak jarang mengagetkan, yang sering dipakainya dalam kolom-kolomnya.

Dalam hal dialog-dialog ini, saya teringat cerpen “Seribu Kunang-kunang di Manhattan” karya Umar Kayam. Kekuatan cerpen ini terletak pada dialog-dialognya dan cerpen itu selesai dalam sepersekian menit dialog yang berlangsung antara Marno dan Jane. Itu benar dan saya setuju, tapi setelah membaca dua cerpen Mahbub ini, saya berpendapat bahwa Mahbub sudah lebih dahulu melakukannya. Juga dengan baik dan cemerlang.

Dari kedua cerpen ini, ia jelas akan menjadi penulis yang cemerlang di masa mendatang. Tapi entah mengapa Mahbub tidak meneruskan karier sastranya ini. Belakangan ia lebih mencurahkan dirinya pada kegiatan jurnalistik, organisasi dan politik, dengan puncak karier sebagai Ketua PWI dan anggota DPR. Pada tahun 1970an, ia pernah diundang ke TIM membicarakan sastra, bukan sebagai sastrawan, tetapi sebagai jurnalis dan politisi. Tetapi jejak sastranya jelas dalam kolom-kolomnya.

Karena itu pula, tidak mengherankan jika pada tahun 1975, namanya muncul lagi ketika mengumumkan novelnya Dari Hari Ke Hari (Pustaka Jaya, 1975). Novel ini berkisah tentang perang kemerdekaan dengan tokoh utama seorang anak kecil. “Anak kecil” dianggap sebagai metafora dari Indonesia, yang masih muda dan baru merdeka. Novel ini menyabet penghargaan dalam Sayembara Mengarang Roman Dewan Kesenian Jakarta tahun 1975.

Sepuluh tahun kemudian, tahun 1985 keluar lagi satu novelnya, Angin Musim, yang diterbitkan oleh Inti Idayu Press. Novel ini berisi suatu sindiran pada situasi social pada masa Orde Baru, ketika korupsi melanda Indonesia tanpa ada yang bisa mencegahnya. Yang menarik dari novel ini adalah tokohnya seekor kucing jalanan. Novel ini segera mengingatkan karya George Orwell The Animal Farm yang diterjemahkan Mahbub menjadi Binatangisme (1984). Dalam sejarah sastra Indonesia, inilah satu-satunya karya sastra yang menggunakan tokohnya seekor binatang.

Antara esai-esai dan karya-karya sastranya tampak sekali ada persentuhan dan perjumpaan yang akrab.

Hairus Salim HS
Latest posts by Hairus Salim HS (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!